Sebelas

61K 5.7K 157
                                    

Minggu pagi ini, Raka dan Vania sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Selama dua minggu terakhir, tugas domestik memang lebih banyak dikerjakan Raka. Dia memaklumi kesibukan istrinya sebagai mahasiswi baru yang masih tahap beradaptasi dengan lingkungan kampus. Malam kemarin, setelah Vania sudah mulai terbiasa dengan rutinitas kampus, dia mulai membagi tugas dengannya.

Saat pembagian tugas, Vania sempat mengeluh karena menurutnya tugas yang diberikan kepadanya lebih banyak ketimbang Raka. Gadis itu bertugas mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel dan juga menyetrika. Sementara Raka bagian memasak, membersihkan toilet dan menyiram taman yang kini sudah ditanami beberapa tanaman hias—yang dibeli laki-laki itu setelah dua hari menempati rumah ini.

"Saya, kan, masak dua kali, untuk sarapan dan makan malam. Jadi tugasnya sudah imbang, kan?" Raka mencoba mencari alasan saat Vania menunjukkan raut ketidaksetujuannya karena kebagian tugas yang lebih banyak. "Atau tugasnya ditukar saja?"
Vania buru-buru menggeleng. Dia sama sekali tidak bisa memasak. Masakan buatannya sudah pasti akan kacau. Dengan berat hati, dia terpaksa harus menerima tugas itu. Toh, bagian mencuci baju sudah ada mesin cuci. Itu pun tidak setiap hari. Menyetrika baju pun juga hanya dikerjakan saat hari libur saja.

Menjalankan tugas rumah tangga ternyata tak semudah yang dibayangkan Vania, apalagi ada tukang pengritik perfeksionis macam Raka. Sedari tadi hampir semua pekerjaan yang dikerjakannya selalu mendapat kritikan dari laki-laki itu.

"Lantai yang ada di bagian sudut-sudut ini masih kotor. Yang di bawah kursi sama meja juga masih kotor. Bagian ini kamu sapu nggak, sih?" komentar Raka saat Vania mengambil kain pel dan ember berisi cairan pembersih lantai. Vania mendengus sebal karena di sela-sela Raka memasak, bisa-bisanya laki-laki itu sempat mengecek kebersihan lantai yang baru disapunya.

Vania mendesah lelah jika mengingat komentar-komentar Raka yang selalu tidak puas dengan pekerjaannya. Selama ini, dia memang tidak pernah membantu mengerjakan urusan domestik. Bukan dia malas, tapi memang ibunya sendiri yang melarang. Toh, sudah ada asisten rumah tangga yang siap mengerjakannya. Tugas kamu hanya belajar, itu yang dikatakan ibunya tiap kali dia ingin membantu.

Setelah selesai tugas menyapu dan mengepel—diselingi dengan sarapan, kini dia sudah disibukkan dengan tumpukan baju yang harus diseterika. Dia memilih menyeterika baju di ruang tengah sembari menonton acara televisi agar pekerjaan yang satu ini terasa menyenangkan.

Tak jauh darinya, Raka duduk bersila di belakang meja berukuran segi empat. Laki-laki itu tampak menekuri laporan penjualan usaha kaus dakwah miliknya. Saat Vania melirik tadi, dia sempat membaca judul di bagian atas yang tercetak tebal.

"Oh, ya. Kamu sudah dapat guru iqra, belum?" tanya Raka memecah keheningan.

Vania menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan. “Belum. Kan aku udah bilang, seminggu kemarin kuliah lagi padat-padatnya. Aku juga belum ada bayangan, mau nyari akhwat yang mana buat dimintai tolong. Mungkin hari Senin atau Selasa baru nyari.”

Sudah ketiga kalinya Raka menanyakan hal yang sama. Raka pun tak segan menawarkan diri mengajari iqra, meskipun Vania tetap menolaknya. Bagi Vania, lebih baik berguru lewat aplikasi belajar iqra untuk sementara waktu sampai dia menemukan guru iqra.
"Daripada repot nyari guru, bukannya lebih baik berguru sama saya? Saya siap kok ngajarin kamu. Kamu nggak perlu khawatir karena saya nggak akan galak sama muridnya.”

Vania menyingkirkan mesin setrika ke pinggir dengan posisi tegak. Dia lantas menoleh ke arah Raka. "Akunya yang nggak mau. Lebih baik aku belajar sama orang lain ketimbang sama suami sendiri."

"Kenapa? Bukannya malah enak belajar sama suami sendiri?" tanya Rakamenatap Vania penasaran.

"Aku... hm... cuman ngerasa nggak nyaman aja belajar sama kamu, Ka," balas Vania lirih.

"Kenapa kamu malah nggak nyaman belajar  sama saya?"

Vania mendadak gugup. Dia buru-buru mengalihkan pandangan.

"Ya, karena ...." Vania menggigit ujung bibirnya pelan. Dia kesulitan mencari alasan. "Karena ... ya ... nggak nyaman aja."

Raka terdiam sejenak. Sebenarnya dia penasaran mengapa Vania justru tidak nyaman belajar dengannya. Bahkan, sejak dari awal Vania sudah menunjukkan ketidaknyamanannya. Entah karena alasan apa.

Raka mengangguk samar. "Terserah kamu sajalah kalau mau cari guru lain," putus laki-lakiitu pada akhirnya.

Sudah tujuh belas hari berlalu, hubungan keduanya kini perlahan mulai menghangat. Vania tidak lagi canggung jika berhadapan dengan Raka. Laki-laki itu juga tidak sedingin saat pertama kali mereka tinggal di rumah ini.

"Oh, ya. Biarpun kamu belum siap pakai jilbab, saya harap kamu bisajaga diri dari lawan jenis yang bukan mahram."

Gerakan Vania yang menggosok baju tiba-tiba terhenti. Dia pikir Raka tidak akan membahas soal perkenalannya dengan Genta Kamis lalu. Malam harinya, Raka hanya bersikap biasa saja. Karena tidak menunjukkan jika laki-laki itu marah dengannya, Vania merasa tidak perlu menerangkan soal perkenalan yang tidak sengaja itu.

Tanpa dinyana, Raka justru baru mengungkitnya hari ini.

Vania kembali menggeser mesin setrika ke samping kiri, lalu menegakkan agar baju yang disetrikanya tidak terbakar. "Aku sebelumnya nggak kenal sama Kak Genta. Kebetulan aja waktu itu dia nemu kartu perpusku yang jatuh. Makanya, habis ngembaliin itu, dia ngajak kenalan. Cuman sebatas itu, kok," terang Vania, berharap Raka tak salah paham dengannya.

“Saya tahu kamu nggak kenal sama dia," timpal Raka kalem. "Yang saya masalahkan itu pas kamu balas jabat tangan Genta. Saya harap ke depan hal seperti itu nggak sampai terjadi lagi.”

Vania mengernyit tidak paham. “Maksudnya gimana?”

Raka menghela napas panjang. “Dalam Islam kan ada aturan dan batasan bagaimana kita bergaul dengan lawan jenis yang bukan mahram. Seperti kamu jabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahram, itu juga ada larangannya.”

Vania mengerjapkan mata. Dia pernah mendengar itu, tapi karena pemahaman agamanya kurang, dia tidak terlalu memedulikannya. Menurutnya, sepanjang tidak sampai berpikir negatif, itu tidak masalah baginya.

Raka masih menatap Vania lekat. “Dalam sebuah hadits shahih bahkan dijelaskan, lebih baik ditusuk jarum besi di atas kepalanya ketimbang bersentuhan sama wanita yang nggak halal baginya."

Vania sedikit tercengang dengan penjelasan Raka barusan. Dia baru tahu hadits itu. Bahkan diibaratkan lebih baik ditusuk jarum besi di atas kepalanya daripada bersentuhan dengan yang bukan mahram.Terbayang sesakit apa rasanya. Seperih bagaimana lukanya. Nyawa pun mungkin akan melayang sesaat setelah jarum besi itu tertancap di atas kepalanya.

Ya, sefatal itu akibatnya. Namun, itu semua jauh lebih ringan ketimbang sengaja bersentuhan dengan yang bukan mahram.

Vania bergidik ngeri ketika membayangkan itu. Dalam hati dia berjanji, mulai hari ini dia akan menjaga dirinya meskipun sekadar bersalaman dengan yang bukan mahram. Walaupun belum berhijab, dia akan mulai berubah pelan-pelan.

"Mungkin pas awal-awal memang nggak mudah. Apalagi kalau kita hidup di tengah masyarakat atau lingkungan yang belum banyak yang paham soal itu. Tapi, sebenarnya adanya batasan pergaulan dalam Islam itu justru untuk menjaga kehormatan kita."

Vania mengangguk-angguk paham. Ya, mungkin tidak akan mudah memulainya. Tapi, dengan niat yang sungguh-sungguh, Allah pasti akan memudahkan jalannya.

Mata Raka kini beralih meneliti baju-baju yang sudah disetrika Vania. Baju-baju itu dilipat kurang rapi, lalu ditata ke atas. Laki-laki itu menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Vania. Terang saja, gerakan tubuh Raka yang mendekat ke arahnya ini membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

"Kok bajunya masih kusut?” tunjuk Raka pada baju yang ditata paling atas. Dia lantas memeriksa lipatan baju-baju di bawahnya. Tetap saja sama. Semua masih kusut. “Bukannya baju-baju yang ditata ini sudah kamu setrika?"

Vania meringis malu. "Emang ... udah," jawabnya begitu pelan.

Gadis itu kontan menegang ketika Raka mencondongkan tubuhnya semakin dekat. Dia menelan ludah lebih dalam. Aroma lemon segar menguar. Dari jarak sedekat ini, dia bisa mencium wangi sabun yang dipakai Raka.

“Memang kamu pasang suhunya berapa, sih?” tanya Raka sembari memeriksa tombol pengatur suhu. Dengusan pelan muncul kemudian setelah tahu jawabannya. “Pantas saja bajunya masih kusut, orang suhunya masih sutra," kata Raka melirik Vania sedikit kesal. Ternyata banyak hal yang tidak bisa dilakukan istrinya, bahkan untuk urusan remeh temeh sekalipun.

Tangan Raka lantas memutar tombol ke arah katun. "Kemeja yang disetrika ini jenis katun, jadi suhunya diatur ke arah katun."

Raka sedikit menjauh. Sementara Vania masih mematung. Dia memang sengaja mengatur suhunya ke arah yang paling rendah agar baju tidak sampai terbakar saat tengah lengah. Vania tidak ingin bernasib seperti tokoh perempuan dalam drama yang bajunya jadi bolong karena lupa menggeser mesin setrika.

"Buruan disetrika bajunya!"

Vania tergeragap. Cepat-cepat dia meraih gagang setrika. Lalu, menggosoknya asal.

Raka menghela napas pelan saat gerakan menyetrika Vania tampak kaku sekali, apalagi bagian baju yang disetrika tidak sesuai aturan. Harusnya kerah dulu yang disetrika, malah dia menyetrika bagian belakang kemeja.
"Sini, biar saya yang setrika dulu. Lihat cara saya menyetrika. Biar besok kamu bisa sendiri."

Vania hanya bisa pasrah saat Raka mengambil alih. Dia menyadari jika dirinya banyak kekurangan. Gerakan tangan Raka menyetrika pakaian membuat Vania takjub. Suaminya itu benar-benar cekatan mengerjakan tugas rumah tangga. Semasa kecil dulu, Raka memang senang membantu ibunya. Jika Vania main ke rumahnya, dia hanya bisa merecoki laki-laki itu.

Ah, betapa Vania merasa jauh dari Raka. Dia berharap Raka tidak menyesal menikahi perempuan sepertinya.

Tbc

***

Emang Raka suamiable. 😌

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang