Dua

78.8K 5.9K 77
                                    

Taksi putih itu melenggang memasuki halaman sebuah rumah ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Saat keluarga Vania keluar dari taksi, seorang pria tinggi berumur paruh baya sudah menyambut mereka dengan senyumnya yang lebar.

Mata Vania memindai ke sekitar. Rumah yang memadukan gaya Jawa dan modern itu tampak besar dan mewah. Rumah itu berlantai dua dengan balkon kecil di sisi kanan kiri. Di bagian depan ada serambi yang atapnya berbentuk joglo.

Aneka tanaman hias mulai dari bunga bougenville hingga palem kuning tumbuh subur di taman yang berada di sisi kanan halaman. Lampu taman berbentuk klasik dengan sinar kuning temaram itu seakan menyambut senja yang sebentar lagi akan datang.

"Padahal aku tadi mau jemput di bandara lho, Mas. Eh, malah pas aku telepon, ternyata sudah naik taksi," ujar Pambudi sembari menjabat tangan Setiawan lengkap dengan pelukan hangat. Setiawan memang sengaja tidak memberi kabar jika dia sudah sampai di Semarang karena tidak ingin merepotkan Pambudi. Keduanya saling tersenyum lebar. Meluapkan rasa rindu karena bertahun-tahun tidak pernah bertemu.

Vania dan Rahmawati hanya menatap haru keakraban dua sosok pria berbeda ukuran bentuk tubuh itu. Meski keduanya tampak asyik satu sama lain sampai mengabaikan keberadaan putri dan istrinya, Rahmawati bisa memaklumi mengingat sudah delapan tahun lamanya mereka tidak pernah bersua.

"Mbak Rahma!" Seseorang yang berseru memanggil namanya mengalihkan perhatian Rahmawati. Seorang wanita berhijab putih keluar dari serambi rumah.

"Sartika…!" seru Rahmawati bergegas menghambur ke arah Sartika. Mereka saling memeluk erat. "Kamu masih cantik aja, Sar. Sekarang juga pakai hijab tambah makin anggun," lanjutnya begitu melepas pelukan.

"Alhamdulillah, Mbak," balas Sartika tersenyum hangat. “Mbak Rahma juga masih cantik kayak dulu.”

“Tapi, body tetep melar ke samping.”

Mereka sontak berderai tawa. Vania hanya tersenyum tipis melihat keakraban keduanya. Senyumnya mendadak berubah canggung saat wanita berhijab itu menoleh ke arahnya.
Sartika terkesima untuk beberapa saat. Sosok gadis berkulit putih yang mengenakan atasan blus berlengan sesiku motif bunga warna-warni dengan celana jeans abu-abu itu benar-benar membuatnya pangling. Rambut pendek bergelombang yang dipercantik dengan bando rajut dan memperlihatkan poninya semakin menyempurnakan wajah ayu gadis itu.

“Ini... Vania?" Rasa takjub itu belum menghilang juga. “Masyaa Allah, sekarang kamu tambah cantik sekali,” pujinya seraya mendekati Vania.

Vania tersenyum kikuk. "Apa kabar, Tante?" tanyanya basa-basi sekadar mengurai kecanggungan.

Sartika tak menjawab pertanyaan Vania. Dia malah memeluk gadis itu erat. Sosok Vania mengingatkannya pada Ressa, putrinya yang telah tiada. Ressa seumuran dengan Vania. Mereka dulu merupakan teman sepermainan. Selepas kepergian Ressa, Vania justru semakin akrab dengan Raka. Meski teman kecilnya sudah meninggal dunia, Sartika tetap meminta gadis itu untuk bermain ke rumahnya.

"Kamu sekarang sudah tumbuh lebih tinggi, ya? Sama Mama sudah tinggian kamu," ucap Sartika setelah mengendurkan pelukannya.

"Tapi, tetep aja masih tinggian Tante," sungut Vania pura-pura cemberut.
Sartika memang tergolong tinggi untuk ukuran wanita. Vania hanya sebatas telinga Sartika. Padahal tinggi Vania sudah mencapai 158 cm.

"Assalamu'alaikum, Om.” Suara bass seseorang mencuri perhatian Vania.
Gadis itu sontak terpaku begitu tahu siapa si pemilik suara bass itu. Laki-laki muda yang mengenakan koko lengan panjang warna cokelat tua dengan celana bahan warna hitam itu benar-benar mengunci matanya. Laki-laki itulah yang selama ini dia cari di jagad sosial media. Sudah berulangkali Vania menelusuri semua situs jejaring sosial, tapi tetap saja tidak menemukan akunnya. Entah dia menggunakan nama yang berbeda atau memang tidak memiliki akun media sosial.

Delapan tahun tak bertemu, sosok laki-laki itu memang sudah berubah banyak. Tubuhnya tegap dan menjulang tinggi. Rahangnya sedikit lebih tegas dengan jenggot tipis tumbuh di bawah dagunya. Meski telah berubah banyak, jejak-jejak garis wajah seorang Raka di masa kecildulu seakan masih tertinggal di sana. Tulang hidung yang dulu lebih mancung dari teman sepermainannya itu kini tumbuh lurus. Lesung pipit di sebelah pipi kanan itu juga masih tercetak jelas ketika dia tengah tersenyum ke arah Setiawan.

"Ini Raka, ya?” Setelah menjawab salam, Setiawan masih memastikan lagi. “Ya, ampun. Saking pangling-nya Om sama kamu, Ka. Om sampai hampir nggak ngenalin kamu. Sekarang kamu tinggi sekali. Om cuman sebatas leher kamu doang.” Tawa Setiawan berderai ketika menyadari dirinya tampak pendek sekali ketika berhadapan dengan Raka. Pria tambun itu lantas menyambut uluran tangan Raka.

Raka hanya tersenyum lebar. Memperlihatkan kembali lesung pipit di pipi sebelah kanan. Dia lantas menyapa Rahmawati yang kini berada di sebelah suaminya. Raka mengucap salam sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Melihat pemandangan tak biasa itu membuat kening Vania sedikit berkerut. Bukannya dia heran dengan orang yang menolak bersalaman dengan lawan jenis. Dia hanya terkejut, Raka kini menjadi golongan seperti itu.

Tampaknya, Raka sudah berubah menjadi sosok yang lebih relijius. Tampilan laki-laki itu hampir sama dengan anak dari tetangga samping rumah yang menjadi aktivis dakwah di kampus. Apa Raka sekarang jadi aktivis dakwah di kampusnya? batin Vania penasaran.

"Ka, kamu masih ingat sama Vania, kan? Pasti masih ingatlah. Dulu, kalian kan sering main bareng. Vania sekarangmakin cantik lho," ujar Sartika tiba-tiba seraya merangkul Vania.

Gadis itu bersemu merah. Pandangannya langsung tertunduk, tidak berani menatap Raka.

Raka hanya memandang datar ke arah Sartika. Sebetulnya saat keluar dari rumah tadi, pupil matanya secara tak sengaja menangkap sosok Vania. Walau hanya memandang sekilas, dia sudah bisa tahu jika gadis itu adalah teman semasa kecilnya dulu. Meski delapan tahun sudah berlalu, wajah gadis itu tak banyak mengalami perubahan.

Karena tak kunjung mendengar respon Raka, Vania mengangkat dagunya. Dia termangu saat laki-laki itu justru memilih segera berlalu. Sama sekali tak mau menyapanya, bahkan terkesan mengabaikan keberadaannya.

"Saya ke Masjid dulu, Om, Tante. Sebentar lagi mau azan," pamit Raka kemudian.

"Raka kalau pulang ke Semarang pasti dia yang azan di masjid seberang jalan itu," terang Pambudi setelah Raka menjauh.

"Wah... bagus, dong. Aku lihat Raka juga lebih relijius. Mantu idaman banget itu," seloroh Setiawan. Mereka kontan tertawa bersama.

Seseorang mengusap bahu Vania lembut. Gadis itu terenyak.

"Jangan tersinggung kalau Raka nggak mau nyapa kamu, ya. Anak Tante itu sekarang makin alim, jadi harap dimaklumi kalau dia agak dingin sama kamu. Tapi, Tante yakin sekali kalau Raka itu masih ingat sama kamu," hibur Sartika mempererat rangkulan bahunya.

Vania tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Tante. Biasanya yang alim gitu, kan, emang jaga banget sama lawan jenis." Setidaknya dia tahu bagaimana sikap tetangganya yang selalu menundukkan pandangan tiap kali berpapasan dengannya.

Suara azan menggema dari masjid di seberang jalan. Tanpa berniat memasuki rumah, Setiawan malah mengajak Pambudi segera ke masjid. Padahal Pambudi sempat berbasa-basi mengajak mereka masuk terlebih dahulu.

Setelah kepergian kedua pria itu, Sartika segera memboyong Rahmawati dan Vania memasuki rumah. Mereka memilih shalat berjamaah di rumah terlebih dahulu karena waktu Maghrib telah tiba.

Tbc

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang