Tujuh Belas

60.9K 6.1K 289
                                    

Matahari semakin beranjak naik. Tinggal tiga perempat jam lagi menuju puncak. Vania menyeka bulir-bulir peluh yang menyembul dari balik pelipis dengan punggung tangan. Tatapan gadis itu lurus memandang hamparan sawah di depannya.

Raka melirik Vania. Wajah putih gadis itu sedikit memerah. Mungkin akibat terlalu lama terpapar sinar matahari. Hampir dua jam berlalu, Vania baru menyelesaikan dua saluran irigasi yang sudah diukur debit airnya. Karena istrinya tampak keletihan, Raka menyarankan untuk istirahat sejenak. Mereka kini duduk dengan kaki menggantung di atas gubuk yang ada di pinggir jalan menghadap ke sawah.

"Capek, ya?" tanya Raka memecah keheningan.

Vania menoleh. Dia tersenyum tipis. "Lumayan."

"Mau minum lagi?" tawar Raka menyodorkan botol air mineral yang tinggal setengah.

"Nanti aja, Mas. Baru juga tadi habis minum," tolak Vania halus.

Mereka kembali menekuri hamparan padi yang daunnya masih terlihat hijau. Di beberapa petak sawah, bulir-bulir padi itu mulai bermunculan.

Sudut bibir Vania tertarik kembali. Baru kali ini, dia bisa bebas menikmati pemandangan sawah yang menyejukkan mata. Apalagi bersama Raka, laki-laki yang dicintainya.

"Mas ...."

"Hm ...."

Mereka kini saling menatap.
"Boleh aku nanya sesuatu?"

Raka terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Soal apa?"

"Dulu di hari terakhir sebelum Mas Raka pindah ke Semarang, aku minta Mas Raka telepon aku. Tapi, kenapa setelah berhari-hari aku nunggu, Mas Raka nggak pernah nelepon aku?"

Cairan bening perlahan keluar membendung pelupuk mata Vania. Sebelum disadari Raka jika manik cokelat kehitaman itu tengah berkaca-kaca, dia mengalihkan pandangan. "Sampai delapan tahun berlalu, Mas Raka juga nggak pernah lagi hubungin aku. Padahal Mas Raka juga janji bakalan ke Jakarta nemuin aku, kan?" lanjut Vania diakhiri senyum getir.

Raka terpaku. Dia tidak mengira jika Vania selalu menunggu telepon darinya. Andai Vania tahu alasan mengapa Raka tidak menghubungi gadis itu. Kala itu, kertas yang diberikan Vania—berisi nomor telepon rumahnya—hilang entah ke mana. Raka baru menyadari setelah sampai di Semarang. Mungkin masih tertinggal di atas kasur. Saat itu, dia meletakkannya begitu saja ketika kembali memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas ransel.

Saat itu, andai dia tidak merasa segan,dia bisa saja meminta nomor telepon rumah Vania pada ibunya. Kebiasaan Sartika yang seringkali menjodoh-jodohkan dengan Vania membuatnya enggan menanyakan itu pada ibunya. Dia jelas paham bagaimana ledekan ibunya dulu saat bermain bersama Vania.

"Mungkin Mas Raka jadi berubah alim pas nyampe di Semarang. Kata Mas Raka, cowok sama cewek yang bukan mahram itu kan dilarang berdua-duaan karena yang ketiganya syaitan. Kata Mas Raka juga, biarpun cuman teleponan, kalau nggak ada tujuan yang penting itu juga termasuk berkhalwat." Vania mencoba menerka-nerka sendiri alasan kenapa Raka tidak menghubunginya. Jika itu yang menjadi alasannya dia bisa maklum.

"Maaf ...." Hanya kata itu yang bisa diucapkan Raka. Ada perasaan bersalah kenapa dirinya dulu lebih mengacuhkan gengsi ketimbang menepati janji pada gadis itu.

Raka membuang pandangannya. Dia tak kuasa menatap sorot sendu yang memenuhi manik mata gadis itu.
Vania hanya tersenyum getir. Alih-alih menjelaskan alasannya, Raka justru hanya mengucap kata “maaf”. Bukannya melegakan, tapi justru malah membuatnya bertanya-tanya sendiri.

Ponsel di dalam tas gendong tiba-tiba bergetar. Meskipun suaranya diredamkan, Vania masih bisa merasakannya karena tas berwarna hitam itu berada di sebelahnya. Dia segera mengambilnya. Saat menatap layar, dia seketika terpaku begitu mengetahui siapa yang menelepon.
Dia mengerjapkan mata berulang kali. Lalu, menoleh ke arah Raka yang menempelkan ponselnya pada telinga kiri tanpa menatapnya.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang