Sepuluh

61.8K 5.3K 108
                                    

Kelas Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) baru saja berakhir. Laki-laki berambut panjang di bagian atas yang dicepol—dan bagian bawah dipotong cepak—itu segera berjingkat. Dia harus cepat-cepat menemui si pemilik kartu perpustakaan yang tadi tidak sengaja dia temukan di bawah kursinya. Dari foto yang tertempel di sana, dia bisa mengenali siapa gadis itu. Dia sudah tahu ke mana harus menemuinya. Saat memasuki kelas tadi, dia sempat berpapasan di depan pintu dan melihatnya berjalan tergesa ke ruang sebelah.

Laki-laki tinggi itu bersandar pada pagar pembatas dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam celana jeans biru yang warnanya sudah memudar. Sepasang mata elangnya terus tertumbuk pada pintu yang sebagian atas dilapisi kaca.

Laki-laki itu menegakkan tubuh ketika melihat para mahasiswa berbondong-bondong keluar. Senyumnya terkembang begitu gadis yang dia tunggu tengah berjalan bersama seorang perempuan tinggi semampai.

"Hai...," sapa laki-laki itu setelah mendekatinya.

Gadis berambut pendek bergelombang dengan poni yang menutupi dahi itu mengernyit heran. Dia masih mengingat laki-laki itu. Laki-laki yang kemarin tidak sengaja ditabraknya saat membeli makan di kantin kampus.

"Kakak yang kemarin kemejanya kena tumpahan es jeruk saya, kan? Ada perlu apa, ya?" tanya Vania sopan.

Sevi memilih menghindar dengan melangkah mundur, bersandar pada pagar pembatas beton. Manik matanya memindai laki-laki itu. Pada pandangan pertama, Sevi sudah memuji penampilanlaki-laki berkulit sawo matang itu. Kemeja kotak-kotak warna biru gelap yang digulung lengannya hingga di bawah siku dengan kancing yang sudah terbuka memperlihatkan kaus warna putih, membuat laki-laki itu tampak keren. Gaya rambut yang unik juga menambah pesona tersendiri di mata Sevi, apalagi dengan postur tubuhnya yang terlihat tegap dan proporsional. Ditambah, hidung mancung dan bermata elang. Benar-benar tipikal laki-laki yang diidamkan Sevi.

Laki-laki itu mengambil kartu perpustakaan di saku celana jeans-nya, lalu mengulurkan pada Vania. "Kartu perpus kamu jatuh di ruang enam tadi."
"Oh, ya?” Vania tidak menyadari jika kartu perpustakaannya jatuh. Tadi, setelah mengembalikan buku ke perpustakaan, dia hanya memasukkan ke dalam tas begitu saja karena diburu waktu untuk mengikuti kelas di ruang 6. Mungkin saat dia mengeluarkan binder, kartu itu jatuh tanpa disadarinya.

Vania mengambil kartu itu. "Makasih, Kak. Saya malah nggak nyadar kalau kartu perpusnya terjatuh."

Laki-laki itu mengangguk tipis.
"Oh, ya. Karena kita sudah beberapa kali nggak sengaja papasan, kayaknya nggak ada salahnya kalau kita kenalan.” Dia mengulas senyum. “Kenalkan, saya Genta Pratama. Panggil Genta saja. Saya sudah semester lima, jadi kamu bisa panggil Kak Genta," ujarnya sembari mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Vania.

Vania membalas uluran tangan Genta. "Nama lengkap saya yang ada di kartu perpus itu, Kak. Kakak bisa panggil saya Vania," balas Vania ramah, namun tetap berusaha mengunakan bahasa seformal mungkin.

"Senang bisa kenalan sama kamu, Vania."

Vania hanya mengangguk kalem. Saat mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan Genta, dia malah menangkap bayangan sesosok lain yang berdiri di depan pintu keluar ruang 6. Laki-laki itu menatap ke arahnya.

Vania membeku. Kenapa dia bisa lupa jika Raka ada kelas di ruang sebelah? Dari tatapan laki-laki itu, terlihat jelas ada sorot tidak suka di sana.Vania tidak yakin itu sebagai tatapan cemburu. Mungkin laki-laki itu hanya tidak suka karena dia terlihat sedikit akrab dengan laki-laki lain.

Raka tampak menghela napas panjang. Sejurus kemudian dia melenggang ke arah kanan, lalu menghilang menuju tangga.

Vania mendesah pelan. Dia berharap Raka tidak menilai buruk kepadanya. Meski belum mengenakan kerudung, dia selalu berusaha menjaga diri agar tidak terlalu akrab dengan lawan jenis. Sekadar berbicara yang wajar sepertinya tidak mengapa. Entah jika Raka yang relijius itu menilainya berlebihan.

"Jadi yang lo tabrak kemarin itu kakak yang tadi, Van?” Sevi bertanya ketika mereka sudah menuruni tangga. Tak lama setelah Genta berlalu, mereka pun bergegas turun menuju lantai satu.
Vania hanya diam saja sembari terus menuruni tangga. Sorot mata Raka yang menatapnya tak suka tadi sedikit mengganggu pikirannya.

“Kalau dia orangnya, gue jadi nyesel kenapa gue ngibrit duluan kemarin. Harusnya gue yang ketabrak dia. Biar kayak di drakor-drakor itu, terus akhirnya kita saling jatuh cinta. Kalau gini ceritanya kan gue jadi nggak rugi-rugi amat kuliah di Solo," cicit Sevi sambil mempercepat langkahnya menyamai Vania.

Vania masih saja enggan mengacuhkan ocehan absurd Sevi.

"Tadi siapa namanya? Kak Genta? Genta Pratama. Hm, namanya seganteng orangnya. Bolehlah dia masuk dalam daftar cowok gue.”

Vania menghentikan langkahnya. Sementara Sevi terus menuruni tangga. Desahan pelan keluar dari mulutnya. Sevi memang jauh berbeda dengannya, entah karakter, penampilan bahkan termasuk sikapnya dengan laki-laki. Dia tebak, mungkin gadis tinggi semampai itu selama di Jakarta dikenal play girl.

Vania kembali melangkah. Dia merasa heran dengan dirinya sendiri. Kenapa dia bisa langsung akrab dengan gadis seperti Sevi? Padahal teman-temannya di Jakarta dulu tidakseperti Sevi yang penampilannya bak seorang model.
Mungkin karena mereka sama-sama berasal dari Jakarta—sedang satu jurusannya hanya mereka yang dari Jakarta—sehingga merasa senasib. Ya, mungkin karena itu mereka mudah akrab, padahal baru kenalan kemarin.

Tbc

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang