Empat Belas

60.9K 5.5K 161
                                    

Angin berembus lembut memainkan ujung khimar perempuan yang duduk di sebuah gazebo pinggir Danau Pertanian. Wajah teduhnya tertunduk. Dengan syahdu, bibir tipis perempuan itu melantunkan ayat Al-Qur'an. Begitu tenang. Dan teralun lembut.

Seorang gadis berambut hitam bergelombang sebatas leher berjalan tergopoh menuju gazebo di pinggir danau. Langkahnya terhenti sejenak. Beberapa mahasiswi tampak  menekuri laptop mereka di gazebo paling timur. Matanya lantas beralih menuju gazebo sebelahnya. Dia menghela napas lega saat mata beningnya itu menemukan sosok yang dicarinya.

“Ukh Mahira ....,” sapa Vania begitu perempuan berkerudung ungu itu menutup mushaf Al-Qur'an.

Mahira tersenyum. “Assalamu’alaikum.”
Vania nyengir. Dia sampai lupa mengucap salam. “Wa’alaikum salam, Ukh.”

Setelah dipersilakan duduk, Vania langsung menjatuhkan pantatnya ke bangku beton di depan Mahira. “Ukh Mahira nunggu lama, ya? Maaf, Ukh. Tadi ada kuis. Makanya, saya baru sampai ke sini sekarang," ujarnya kemudian.

"Baru nunggu lima belas menit kok, Dik. Harusnya saya yang malah minta maaf karena terpaksa memajukan jadwal iqra.”

Setelah berjalan empat hari sesuai jadwal, hari ini, jadwal belajar iqra terpaksa dimajukan jamnya karena selepas Zuhur nanti, Mahira masih ada kegiatan lain.

“Kok, malah Ukh Mahira yang minta maaf? Saya diajarin iqra sama Ukh Mahira aja udah bersyukut banget kok.”
Sudah lima hari ini Vania belajar iqra bersama Mahira. Dia tidak salah memilih Mahira sebagai guru iqra. Metode yang diterapkan Mahira dalam mengajar iqra memudahkan Vania menangkap pelajaran dengan baik. Dalam waktu sehari saja, dia sudah lulus iqra 1. Setelah lima hari berlalu,dia sudah mencapai iqra 3 halaman 4.
Selain piawai mengajar, Mahira juga merupakan sosok guru yang menyenangkan. Vania bahkan tak segan untuk bertanya masalah lain pada Mahira.

"Ukh Mahira udah dari kecil pakai jilbabnya, ya?" tanya Vania setelah selesai belajar iqra.

"Nggak kok, Dik. Saya baru mulai pakai jilbab itu setelah masuk SMA. Waktu itu, saya diajak kenalan sama teman yang jilbabnya besar. Kami akhirnya berteman baik. Dari dialah saya tahu kalau pakai jilbab itu hukumnya wajib bagi semua muslimah. Ya, sesuai yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an itu," ungkap Mahira.

Vania tertegun. Hatinya seperti disentil. Dia sudah tahu jika mengenakan jilbab bagi seorang muslimah itu hukumnya wajib. Raka sudah memberitahunya. Laki-laki itu bahkan menunjukkan ayat dalam Al-Qur'an seperti QS. An-Nuur 31 dan QS. Al-Ahzab 59 tentang kewajiban berjilbab.

Meskipun sudah diterangkan sedetail itu, hingga detik ini, hatinya masih saja belum terbuka. Entah mengapa dia merasa khawatir jika setelah berhijab nanti, dia tidak bisa menjaga akhlaknya dengan baik. Baginya, lebih baik menjilbabi hati dulu baru kemudian menutup aurat sepenuhnya sesuai yang dituntunkan dalam Islam. Dia akan berusaha membenahi diri dulu, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengenakan kerudung.

"Tapi ... kalau saya belum siap, Ukh. Masih banyak sikap saya yang harus dibenahi dulu," ujar Vania lirih.

Mahira mengangguk paham. "Dulu, saya juga berpikir seperti itu, Dik. Tapi, teman saya ini berusaha meyakinkan bahwa dengan berjilbablah kita bisa menjadikannya sebagai cermin untuk menata diri.”

Vania tepekur mendengarkan.

“Misalnya saja begini, Dik. Pas kita khilaf melakukan keburukan, kita tiba-tiba langsung teringat sama jilbab kita. Saat itu juga, kita berusaha untuk nggak mengulanginya lagi. Dengan begitu, kan, ke depannya kita akan terus memperbaiki diri."

Vania lagi-lagi tertegun. Yang dikatakan Mahira memang benar sekali. Jika menunggu baik dulu baru berhijab, memangnya sampai kapan?

Bukankah manusia itu selalu diliputi khilaf dan lupa?

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang