Dua Puluh Satu

80.7K 6.3K 576
                                    

Vania duduk santai di ruang tengah sambil menonton acara televisi. Dia sudah rapi dengan kemeja pink yang digulung di bawah siku dan celana jeans biru. Sesekali matanya melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Masih sepuluh menit lagi—dari waktu yang dijanjikan—seseorang itu akan datang.
Bel rumah terdengar. Entah yang bertamu seseorang yang ditunggunya atau tidak, dia bergegas menuju ruang tamu. Saat mencapai daun pintu, disibaknya tirai untuk mengintip siapa sosok yang sedang bertamu. Dia tersenyum lebar saat tahu Mahira sudah berdiri di depan pagar rumah.

Vania segera membuka pintu. Senyum hangat terkembang menyambut Mahira. Langkah kakinya berjingkat menuju pagar.

"Mari masuk, Ukh.” Vania mempersilakan ketika sudahmembuka pintu pagar.

"Assalamu'alaikum ...."

Vania nyengir. Saking antusiasnya menyambut kedatangan Mahira, dia sampai lupa mengucap salam lebih dulu. "Wa'alaikum salam. Mari masuk, Ukh."

Mahira mengekori Vania memasuki halaman mungil yang kini terlihat asri. Di sisi kiri halaman ini ada taman kecil yang dipenuhi aneka tanaman hias dalam pot. Raka yang menata taman menjadi indah dipandang mata. Setiap pagi, laki-laki itu pula yang menyiram dan merawat tanaman-tanaman itu.

"Tadi Ukh Mahira ke sini naik apa?" tanya Vania sesampainya di teras rumah. Dia menanyakan itu karena tidak melihat Mahira membawa motornya.

"Saya diantar Bapak. Tadi sempet kesasar di blok sebelah, padahal awalnya ya lewat blok ini. Setelah nanya-nanya, akhirnya sampai juga di sini," terang Mahira yang disusul tawa lirih.

Vania sedikit terbeliak. "Sampai kesasar segala, Ukh? Duh, harusnya saya yang ke rumah Ukh Mahira. Bukan malah bikin repot kayak gini," katanya merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa kok, Dik. Saya malah senang bisa main ke sini."

Vania hanya tersenyum. Tangan gadis itu mendorong pintu bercat putih yang tadi tersibak setengah menjadi terbuka lebar. "Yuk, masuk, Ukh."

Mahira mengikuti Vania memasuki ruang tamu. Pandangannya memindai ruang berukuran 4 x 4 meter itu. Hanya ada satu set sofa berwarna cokelat muda dan sebuah bufet kecil dari kayu jati di pojok ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang dipasang di dalam bufet kaca itu. Di dinding bercat putih gading itu hanya ada jam berbentuk bulat besar.

"Duduk dulu, Ukh." Vania mempersilakan Mahira duduk. "Ukh Mahira mau minum apa?"

Mahira memilih duduk di sofa ukuran single. "Nggak usah repot-repot, Dik. Saya sudah bawa minum dari rumah, kok."

"Nggak apa-apa, Ukh. Tamu itu raja lho. Eh, lebih tepatnya ratu," balas Vania menyeringai lebar.

Mahira tersenyum. "Ya, sudah. Saya ikut Dik Vania saja. Apa saja saya mau, kok."

"Kalau begitu, tunggu dulu di sini ya, Ukh. Saya ambilin minum dulu."

"Iya."

Vania ngibrit ke belakang. Beberapa menit kemudian gadis itu sudah kembali membawa baki berisi dua gelas orange squash dingin dan dua toples camilan.

"Dik Vania tinggal sendirian di sini? Atau mungkin tinggal sama kerabat ayah atau ibu?" tanya Mahira sembari membantu meletakkan toples berisi kacang bawang di atas meja. Saat pertemuan pertama dulu, Vania pernah cerita jika dia berasal dari Jakarta dan sejak lahir sudah tinggal di Ibu Kota.

Vania—yang hendak mengambil gelas orange squash untuk diletakkan ke meja—dia terpaku. Pikirannya sibuk mencari jawaban yang pas. Dia tidak mau berbohong. Raka pernah menunjukkan hadits tentang larangan berbohong. Bahkan, dalam keadaan bercanda saja dilarang dalam Islam.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang