Lima Belas

59.9K 5.4K 167
                                    

"Nyari makan di luar, yuk, Van! Bosen gue, makan siang di kantin mulu," ajak Sevi saat mereka sudah berada di lantai satu, tepat di depan Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP). Beberapa menit yang lalu, mereka baru saja selesai mengikuti kuliah di lantai tiga gedung yang sama.

"Lo ajak teman yang lain aja, Sev. Gue udah bawa bekal sendiri," tolak Vania yang kini sudah duduk di bangku beton berbentuk sebatang kayu.

Sevi ikut duduk di depannya. Tangan gadis itu menyelipkan sulur rambut ke belakang telinga. "Tumben lo bawa bekal? Emang lo bisa masak?" selidiknya tidak yakin jika Vania pintar memasak.

"Bukan gue yang bikin ...," sangkal Vania pelan. Dia berharap Sevi tidak menanyakan lebih jauh siapa yang membuat bekal makanan itu. Rahasianya bisa saja terbongkar jika Sevi sampai mencecarnya.

"Gue udah tahu. Dari tampang lo aja udah kelihatan kalau lo nggak bisa masak."

Vania memutar bola matanya kesal.

"Jadi, lo sekarang punya pembokat, Van? Kenapa? Tinggal sendirian di rumah kontrakan bikin nyali lo akhirnya ciut juga, kan? Nggak usah sok berani tinggal sendiri deh lo," seloroh Sevi tertawa lebar.

Vania tercenung. Dia pikir Sevi akan menanyakan siapa yang membuat bekal itu. Di luar dugaannya, ternyata Sevi sudah menyimpulkan sendiri tanpa bertanya lebih jauh kepadanya. Entah dia harus bahagia atau justru malah nelangsa dengan sifat sok tahu temannya itu.

"Kayaknya gue juga kudu punya pembokat deh, biar ada yang masakin sama bersihin apartemen," ujar Sevi manggut-manggut. Dia menjentikkan jarinya. "Ide bagus juga. Ketimbang gue repot keluar atau pesen sama Abang Go Food, mending gue punya pembokat. Yang kerjanya cuma paruh waktu aja gitu," lanjutnya tersenyum cerah.

Beberapa detik kemudian rautnya kembali tertekuk. "Tapi ... nyari pembokat yang jujur yang bisa dipercaya gitu susah juga ya, Van?" Sevi mulai ragu dengan idenya untuk mempekerjakan ART di apartemennya. "By the way, lo kemarin nyari pembokat di mana? Nyokap lo yang ngirim dari Jakarta atau lo nyari sendiri?"

Vania mendengus pelan. Baru kali ini dia bertemu dengan gadis sok tahu macam Sevi. Padahal dia saja tidak mengiyakan pertanyaan Sevi, tapi gadis itu malah langsung berasumsi sendiri.

"Gue udah laper, Sev. Gue mau makan dulu." Vania memilih mengalihkan pembicaraan. Dikeluarkannya kotak bekal dari dalam tas. Lebih baik dia segera makan ketimbang menanggapi obrolan Sevi yang tingkat sok tahunya di atas rata-rata.

"Wow, masakan pembokat lo ternyata oke juga, ya? Dari tampilannya sih kelihatan enak," komentar Sevi takjub ketika Vania membuka kotak bekal berwarna biru laut itu.

Sevi tidak salah. Meski tidak ditata dengan bentuk yang lucu, bekal makan itu tampak menggugah selera karena tatanannya kelihatan rapi dan cantik. Di dalam lunch box tersebut, udang tepung krispi ditata rapi di kotak sebelah kanan bagian bawah, sementara di bagian atas diisi irisan omlete. Sedang di kotak besar ada nasi berbentuk bulat yang dikelilingi cap cay sayur bakso. Raka yang menyiapkan bekal makan siang Vania. Dia hanya tinggal membawanya saja. Biarpun menunya sama dengan sarapan tadi, dia sudah begitu bahagia dengan perhatian Raka ini.

"Lo mau?"

"Nggak usah sok basa-basi deh lo. Bekal makan cuman satu aja pakai nawarin ke gue lagi?"

"Baguslah kalau lo udah tahu diri."

Sevi pura-pura mendengus dengan memutar bola mata agar terlihat kesal. Vania sontak terkekeh pelan.

"Eh, ada pengumuman co-ass praktikum Fisika Dasar, nih!" seru seorang perempuan muda berhijab pashmina yang ditata modis pada teman-temannya yang duduk di teras jurusan. Vania dan Sevi spontan menoleh ke sumber suara. Sejurus kemudian, mereka saling pandang.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang