"Lo belum konsultasi laporan, Van?" tanya Sevi yang kini sudah duduk di bangku, sebelah Vania.
Jemari Vania yang menekan tuts terhenti. Dia menoleh ke arah Sevi yang tengah meletakkan setumpuk kertas HVS ukuran kwarto di atas meja berbentuk potongan kayu.
"Laporan gue belum selesai. Tinggal dikit lagi. Nanti sore baru gue print," terang Vania kembali melanjutkan mengetik laporan praktikum Fisika Dasar.
Vania berencana konsultasi dengan Raka nanti malam. Saat berada di rumah, dia bisa bertatap muka langsung dengan suaminya tanpa khawatir berkhalwat. Tadi, dia sempat mendengar keluhan teman-temannya karena Raka hanya mengambil laporan dari perwakilan mahasiswa, lalu laporan tersebut akan dikembalikan esok harinya dengan banyak coretan di sana-sini tanpa mau menerangkan secara langsung. Pengecualian jika yang konsultasi adalah laki-laki. Raka masih mau menjelaskan ketika ada dari mereka yang belum paham atau ingin bertanya lebih jauh.
Ternyata Raka benar-benar anti dengan perempuan yang bukan mahramnya. Pantas saja saat dulu diminta menjaga Vania selama kuliah di Solo, laki-laki itu menolak mentah-mentah. Dia justru menawarkan pernikahan agar tidak menimbulkan fitnah.
"Dapet Co-Ass macem Kak Raka gitu nggak enak banget tahu nggak sih, Van? Masa laporan cuman dicorat-coret, terus dikasih keterangan dikit. Udah gitu doang. Nggak kayak Co-Ass lain yang mau nerangin langsung kalau kita belum paham. Kalau cuman kayak gini, kan, kita mana paham maksudnya dia apa," gerutu Sevi sembari memangku dagu.
"Bukannya kalau sama cowok bakal mau nerangin? Kata temen-temen yang lain gitu,” balas Vania menimpali gerutuan Sevi.
"Nah, itu dia. Nggak adil banget, kan? Heran gue, Co-Ass kayak gitu kok diterima," sungut Sevi kesal.
"Mas ...." Vania berdeham. Dia hampir saja keceplosan menyebut panggilan pada suaminya. Akan terdengar aneh jika dia memanggil Raka dengan sebutan "Mas", sementara yang lain "Kak". "Hm, Kak Raka, kan, orangnya relijius. Dia aktivis dakwah kampus. Wajar kalau dia jaga diri biar nggak sampai berkhalwat."
"Setahu gue, berkhalwat itu berdua-duaan. Kalau kita yang konsultasi gini, kan, biasanya bareng-bareng. Kadang malah ada cowoknya. So, menurut gue, itu nggak termasuk berkhalwat.” Sevi berusaha menyanggah.
"Tapi, tetep aja kalau nerangin sama cewek, pasti jaraknya deket, Sev. Nanti kalau nggak sengaja sentuhan gimana? Cowok sama cewek yang nggak mahram kalau sampai bersentuhan itu lebih baik ditusuk jarum besi di atas kepalanya," timpal Vania yang masih membela suaminya.
“Tapi, kan nggak sengaja sentuhan, Van. Masa iya kalau nggak sengaja gitu dihitung dosa, sih?” Sedetik kemudian, alisnya bertaut begitu menyadari apa yang diungkap Vania barusan. Tatapannya kini menyelidik. "Tunggu! Lo ... tahu dari mana soal itu?"
Vania mengerjapkan matanya berulang kali. Jelas saja Sevi akan merasa aneh jikaVania sampai mengutip isi sebuah hadits shahih. "So-soal apa?” Dia pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan Sevi.
“Yang tadi. Yang kata lo cowok sama cewek yang nggak mahram kalau sentuhan itu lebih baik ditusuk jarum besi di atas kepalanya.”
“Hm ... itu ... bukan kata gue. Tapi dari hadits shahih yang gue tahu."
"Terus lo tahu dari siapa? Dari Ukh Mahira?"
Vania menggeleng tegas. "Bukan. Gue tahu dari seseorang. Dia banyak nasihatin gue. Ngasih siraman ilmu agama ke gue," balasnya tanpa menatap Sevi.
Pandangan Sevi kini menyipit. Sejurus kemudian, dia menyeringai lebar saat menyadari sesuatu. "Lo pasti lagi naksir cowok model ikhwan kayak Kak Raka, kan? Ngaku nggak lo?” tebak Sevi asal, tapi penuh keyakinan. “Karena dia udah paham agama, lo dinasihatin biar berhenti ngejar dia. Tapi, lo-nya ngeyel. Lo tetep modusin dia minta siraman rohani. Iya, kan?”
Vania hanya terlongo. Kadar sok tahu Sevi ternyata melebihi batas normal. Vania hanya menggeleng-geleng jengkel, lalu memilih melanjutkan menulis bab kesimpulan dan saran.
"Tapi, lo tenang aja, Van. Dia sebenernya suka kok sama lo. Kalau nggak suka, nggak mungkin dia mau nasihatin lo. Buktinya, dia sering ngasih advice ke lo. Itu artinya dia diem-diem sayang sama lo. Mungkin dia ngarep lo bisa berubah kayak akhwat macam Ukh Mahira gitu," kata Sevi diakhiri kekehan membayangkan Vania berubah menjadi jilbaber.
Vania tepekur dengan kalimat terakhir yang dikatakan Sevi. Ya, Raka pasti mengharapkan dia bisa berubah seperti akhwat aktivis dakwah itu. Mengenakan kerudung yang lebar dengan pakaian panjang yang longgar. Hanya saja, dia belum siap jika harus menutup seluruh auratnya. Hingga kini, hatinya masih saja bimbang. Bagaimanapun dia ingin niat berjilbab itu tumbuh dari hatinya. Dia tidak mau berubah sekadar ingin terlihat lebih baik di hadapan laki-laki yang dicintainya. Entah kapan itu tiba, dia berharap Raka mau bersabar menunggunya.
***
Vania melirik seseorang yang duduk di sebelahnya. Laki-laki itu masih menekuri sebendel kertas putih yang tadi diserahkan Vania. Alis tebal laki-laki itu terkadang bertaut saat mendapati kalimat yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan sigap, dia akan mencoret bagian yang salah, lalu menulis keterangan di sebelahnya.
Dia mendesah pelan. Entah sudah berapa coretan yang diberikan laki-laki itu. Dia pikir, Raka akan sedikit berbaik hati dengannya. Ternyata laki-laki itu malah bertindak seolah tidak ada ampun. Jika dia tidak salah lihat, hampir tiap halaman selalu ada bagian yang dicoretinya.
Seakan pasrah dengan apa yang akan dilakukan Raka pada laporannya, dia hanya menatap prihatin sembari sesekali menghela napas panjang.
"Ini!" Setelah selesai mengoreksi, Raka akhirnya menyerahkan setumpuk kertas itu pada Vania.
“Udah selesai, Mas?" Vania meraih laporannya.
Raka mengangguk.“Saya sudah menulis keterangannya di situ. Nanti kamu tinggal revisi sesuai petunjuknya."
Vania segera membuka laporan itu. Dia hanya bisa mendesah kasar begitu mendapati hampir tiap halaman selalu ada coretan dari laki-laki itu. Bahkan dalam satu halaman, ada tiga paragraf yang dicoret dengan tinta merah.
"Ya, sudah. Saya ke kamar dulu. Ada hal lain yang mau saya kerjakan," pamit Raka kemudian.
Vania kontan menoleh. "Loh? Kok ke kamar sih, Mas?"
Raka tidak jadi mengangkat tubuhnya. "Memangnya kenapa?"
"Kan, Mas Raka belum nerangin apa yang harus aku perbaiki, terus gimana caranya aku ngerevisi ini?"
"Saya sudah kasih keterangan yang jelas di situ. Tanpa diterangin pun pasti kamu sudah paham sendiri."
Vania ternganga. Dia pikir dengan konsultasi laporan di rumah, Raka mau menerangkan bagian mana yang harus direvisi dan bagaimana memperbaikinya. Ternyata Vania salah besar. Laki-laki itu tetap memperlakukannya sama dengan teman-teman yang lain—khususnya perempuan—yang sudah konsultasi laporan.
Vania mendengus kesal. "Tahu bakal diginiin, mending aku tadi ikut numpukin laporan bareng temen-temen," sungutnya tanpa menatap Raka.
Laki-laki itu tak mengacuhkan gerutuan Vania. Dia menatap jam dinding di atas televisi. "Ini sudah jam setengah sembilan. Lekas masuk kamar, sana! Jangan lupa setelah selesai revisi segera tidur. Besok kamu masuk pagi, kan?"
Wajah Vania sudah ditekuk kesal. "Lekas tidur gimana? Orang revisinya banyak gini?" Dia mengerucutkan bibirnya sebal. Mungkin sampai tengah malam, revisinya belum tentu selesai.
Raka hanya memandang dengan ekspresi datar. Dia kembali mengangkat tubuhnya. Saat sudah berbalik, kedua sudut bibirnya seketika terangkat. Ekspresi kesal istrinya itu malah terlihat lucu di matanya. Apalagi ketika bibir mungil itu mengerucut sebal. Wajah Vania justru bertambah kadar keimutannya.
Senyum Raka perlahan memudar ketika menyadari ada gelenyar aneh yang tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya. Desiran asing itu muncul lagi.
Beberapa detik terpaku, Raka memilih segera berlalu. Masuk ke dalam kamar sepertinya akan menyelamatkan tubuhnya yang mendadak terasa panas dingin.Tbc
***
Mas Raka be like: hareudang hareudang hareudang
KAMU SEDANG MEMBACA
Yellow Autumn (Sudah Terbit)
RomanceTersedia di Gramedia terdekat. Atau bisa dibeli di shopee : Ibiz Store, Tokopedia : IbizStore atau hubungi admin 08886813286. "Bolehkah ... saya menikahi putri, Om?" Bagaimana Vania tidak terkejut jika laki-laki yang diminta menjaganya selama kuli...