"Ini pesanan kamu." Raka meletakkan kantong plastik berukuran besar di atas meja.
Vania sedikit terlonjak. Sedari tadi dia asyik berselancar di dunia maya melalui macbook. Saking asyiknya, dia sampai tidak menyadari kehadiran Raka yang sudah berdiri di dekatnya. Tangannya lantas terulur untuk meneliti barang-barang yang ada dalam kantong keresek tersebut. Selembar kertas asturo berwarna pink yang digulung, spidol hitam, tali rumput jepang berwarna ungu dan snack seharga lima ribu rupiah.
"Sudah komplit, kan?" tanya Raka.
"Hm. Makasih banget, Ka. Maaf ... aku jadi ngerepotin kamu,” balas Vania sedikit merasa sungkan.
"Memang kehadiran saya di samping kamu buat direpotin, kan?"
Vania hanya tersenyum kikuk. Meski terdengar seperti sindiran, dia menyadari jika dirinya memang banyak bergantung dengan bantuan orang lain. Dan sekarang—mau tidak mau—Raka yang akan sering direpotkannya.
Sehabis shalat Maghrib tadi, dia terpaksa meminta bantuan Raka untuk mengantarnya membeli peralatan yang akandibawa untuk PKKMB besok. Raka sempat kesal karena seharusnya dia—sepulang dari kampus—sudah membeli peralatan di toko yang ada di dekat kampus. Berbagai alasan mulai dari jam pulang yang terlalu sore, belum tahu tempatnya hingga capek, dilontarkan gadis itu. Akhirnya, mau tidak mau Raka menurutinya. Selepas shalat Isya, laki-laki itu segera mencari barang-barang yang dibutuhkan tanpa mengajak istrinya karena waktu sudah malam.
Raka sempat kesusahan mencari tali rumput jepang yang warnanya sesuai yang dicari Vania. Toko-toko di dekat perumahan di Solo Baru ternyata tidak ada yang menjual tali rafia berwarna ungu. Ujung-ujungnya Raka harus melakukan pencarian hingga ke kampus.
"Buat kokad sendiri bisa, kan? Masa buat kokad juga harus dibantu?" tanya Raka lagi.
Vania kontan mengangguk berulang kali, lalu menggeleng untuk dua pertanyaan Raka yang membutuhkan jawaban berbeda. "Bisa, kok. Biar aku buat sendiri. Sekali lagi makasih banget, Raka," jawab gadis itu yang merasa jika bila harus meminta bantuan Raka lagi.
"Ya, sudah. Saya mau ke kamar. Kalau butuh apa-apa, kamu bisa ketuk pintu kamar saya."
Raka segera beringsut memasuki kamar. Belum lima menit, pintu kamarnya diketuk. "Ada apa?" tanya Raka datar.
Vania menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kamu... punya gunting? Guntingku... hm... ternyata nggak ikut kebawa."
Raka terdiam sebentar. Setelah menghela napas,dia mengambil gunting yang ada di meja komputer. "Ini guntingnya. Sudah, kan?"
"Hm. Makasih, Raka."
Sepuluh menit berlalu, pintu diketuk lagi. Raka menghela napas. Ternyata istrinya itu memang tipikal orang yang merepotkan. Dia jadi tahu kenapa orangtua Vania sampai harus mencarikan teman kenalan yang bisa menjaga gadis itu selama kuliah di Solo. Semasa kecil dulu, Vania memang banyak bergantung kepadanya. Raka tidak menyangka jika gadis itu masih sama seperti yang dulu.
"Ada apa lagi?" tanya Raka selepas membuka pintu.
Vania menggaruk rambut hitam pendek bergelombangnya yang tidak gatal. Sebetulnya dia sungkan sekali karena selalu meminta bantuan Raka. Tapi, apa boleh buat. Demi menghindari hukuman dari kakak-kakak korlap, dia terpaksa mengesampingkan sikap segannya pada Raka.
"Hm... ternyata besok juga disuruh bawa foto berwarna ukuran 6x4. Aku kesusahan ngatur foto seukuran itu. Hm... kamu… bisa bantuin aku, kan?"
Raka mendesah pelan. "Mana flashdisk-nya?"
Vania segera mengulurkan flashdisk. Raka melenggang menuju meja komputer yang sudah dinyalakan sejak tadi. Gadis itu bergegas mengekor di belakang.
"File fotonya kamu taruh di mana?" tanya Raka setelah membuka flashdisk.
Vania agak melongok ke arah Raka. "Itu... di folder foto kaku," tunjuk Vania sedikit malu jika foto formalnya dinamai seperti itu.
Sudut bibir Raka sedikit berkedut. Raka sudah bisa menebak, mungkin Vania saat di depan kamera sering bergaya fotogenik, makanya foto formal disebut foto kaku.
Sembari menunggu Raka mencetak fotonya, Vania memindai kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Hanya ada lemari baju yang sudah ada sejak pertama kali rumah ini ditempati. Lalu, ada kasur dari busa yang sedikit tebal berukuran single tanpa ranjang, rak buku ukuran kecil dan meja komputer. Ketiga barang ini diangkut Raka dari kosnya yang dulu, malam kemarin.
Pandangan Vania berhenti pada tumpukan kertas bergambar desain kaus di atas rak buku yang terletak di sebelah meja komputer. Karena terlalu penasaran, Vania mengambil tumpukan kertas tersebut. Dibacanya satu per satu tulisan yang ada di dalam desain kaus dengan banyak model dari lengan panjang hingga pendek. Ternyata ini bukan sekadar kaus biasa. Tulisan di depan dan di bagian belakang kaus tersebut semuanya merupakan kalimat dakwah. Seperti desain kaus pertama bertuliskan "Pemuda Keren, yang Rajin ke Masjid". Ada juga "Habis Maghrib, Tilawah, Yuk!".
"Itu desain kaus yang saya buat.” Suara Raka membuyarkan Vania yang tengah menekuri desain kaus tersebut. Gadis itu reflek menoleh. "Sudah setahun saya menjalankan usaha kaus dakwah. Karena sekarang sudah menikah, yang mengurusi hanya teman-teman. Saya paling hanya memantau saja karena usaha kaus itu lebih banyak dijalankan online," terang Raka tanpa Vania bertanya.
Diam-diam Vania menaruh kekaguman pada suaminya. Seorang mahasiswa dari Fakultas Pertanian, tapi bisa mendesain kaus, itu luar biasa. Walau masih kuliah, Raka juga punya usaha sampingan, bahkan sampai merekrut teman-teman kuliahnya. Entah menghasilkan omset berapa, setidaknya laki-laki itu ikut membantu teman-teman meringankan beban orangtua untuk membiayai kuliah anaknya.
Sebetulnya, tanpa mencari usaha sampingan pun, Raka sudah dicukupi orangtuanya. Selepas lulus, Raka juga tak akan kesusahan mencari pekerjaan karena sudah pasti dia yang akan meneruskan usaha ayahnya.
Ketika diajak jalan-jalan saat pertama kali berkunjung ke Semarang dulu, baru Vania tahu jika usaha milik mertuanya itu mencakup berbagai jenis. Selain memiliki pabrik susu murni, pengolahan pupuk organik padat maupun cair, dan sentra beras organik, Pambudi juga mengembangkan usaha di bidang hortikultura seperti cabe, tomat dan sayur mayur. Sama halnya usaha beras organik, Pambudi akan bermitra dengan para petani untuk menggunakan pupuk organik padat dan cair yang diciptakannya. Hasil komoditi itu akan dibeli Pambudi dengan harga tinggi. Kini, pemasarannya sudah masuk ke beberapa supermarket yang ada di Jawa Tengah.
“Meskipun hasilnya belum besar, saya akan tetap berusaha untuk menafkahi kamu. Nggak apa-apa, kan, kalau saya nanti baru bisa memberi nafkah lebih kecil dari uang saku yang dikasih Papa sama Ayah?"
Vania tercenung. Hatinya mencelus ketika kalimat itu diungkapkan oleh seseorang yang telah menghuni lama di hatinya. Sudut bibir tipis gadis itu terangkat. "Berapapun yang dikasih suamiku pasti akan aku syukuri."
Manik mata Raka memandang lekat istrinya yang masih berdiri di sampingnya. Vania sontak menjadi gugup karena dipandang intens seperti itu. Dia segera membuang pandangan ke arah lain untuk menetralkan degup jantung yang berdetak tak menentu.
"Ini fotonya. Kamu gunting sendiri, ya?" ulur Raka memecah kecanggungan.
Vania mengambil lembaran foto dari tangan Raka tanpa menatapnya. "Makasih, Ka. Maaf jadi ngerepotin kamu."
"Sudah sewajarnya suami direpotkan istri," ujar Raka menatap Vania dalam.
Vania hanya tersenyum kikuk. Cepat-cepat dia bergegas keluar. Dia butuh meraup udara sebanyak mungkin saat sudah berada di kamarnya nanti. Berlama-lama di kamar Raka benar-benar membuat kesehatan jantungnya terganggu.
Belum sekamar aja udah deg-degan kayak gini, gimana nanti kalau aku sekamar sama dia? batin Vania makin kalut.
TBC***
Di novelnya nanti mereka sekamar 😝😝😝.
Benar racun. 😝
KAMU SEDANG MEMBACA
Yellow Autumn (Sudah Terbit)
RomanceTersedia di Gramedia terdekat. Atau bisa dibeli di shopee : Ibiz Store, Tokopedia : IbizStore atau hubungi admin 08886813286. "Bolehkah ... saya menikahi putri, Om?" Bagaimana Vania tidak terkejut jika laki-laki yang diminta menjaganya selama kuli...