"Kamar... tidurnya cuman satu?" Nada suara Vania terdengar lemah begitu mengecek seluruh ru.angan di rumah kontrakan itu.
Saat memasuki rumah, dia langsung penasaran dengan jumlah kamar tidur yang berada di rumah ini. Dua hari tidur sekamar dengan Raka—apalagi diranjang yang sama—membuat gadis itu kesulitan tidur. Walaupun ada guling yang membatasi di antara mereka, tetap saja dia masih belum bisa tenang.
Dia tahu, dengan tidur dibatasi guling, apalagi sekarang memilih tidur di kamar terpisah itu tidak dibenarkan oleh agama. Dia hanya butuh waktu hingga dia benar-benar siap. Dia berharap, Raka mau menunggunya."Nanti saya bisa tidur di kamar itu," tunjuk Raka pada ruangan yang berada di sebelah kanan ruang tengah yang masih kosong. Lebih tepatnya, hanya ada satu lemari baju yang mungkin dimaksudkan jika lemari baju di kamar utama tidak muat, mereka bisa menaruh sebagian bajunya di sini.
Ruangan itu sebenarnya juga bisa digunakan sebagai kamar tidur. Ukurannya hampir sama dengan kamar utama yang hanya seluas 3 x 3 meter. Sepertinya kedua orangtua mereka sengaja menyediakan satu ranjang di kamar utama agar mereka tidak memilih tidur di kamar terpisah.
Sebelum kedatangan mereka hari ini, kedua orangtua mereka sudah menyiapkan rumah kontrakan ini sebaik mungkin. Di rumah ini sudah tersedia fasilitas lumayan komplit—minus kamar yang sengaja dikosongkan tadi. Bahkan, Honda Jazz milik Rahmawati yang biasa digunakan untuk mengantar jemput Vania selama sekolah juga ditinggal di sini.
"Biar nggak kehujanan," kata ibunya tempo hari saat tahu Raka biasa menggunakan motor ketika berangkat ke kampus.
"Nanti saya bisa ambil kasur di kos. Barang-barang saya juga masih ada di sana," terang Raka membuyarkan lamunan Vania.
Sudah hari ketiga menikah, tetapi Raka masih saja menggunakan “saya” saat berbicara dengannya. Sebenarnya dia tidak nyaman ketika laki-laki itu menyebut “saya” saat mereka sudah menikah. Kesannya terlalu formal dan seakan ada jarak di antara mereka.
Awalnya dia pikir, setelah Raka menikahinya, laki-laki itu akan bersikap hangat seperti saat mereka masih kecil dulu. Ternyata ekspresinya masih tetap sama. Datar, lurus, dan tidak ada senyuman.
"Kalau mau ke kos, nanti kamu bisa bawa mobilku, Ka,” tawar Vania menyingkirkan egonya yang berharap laki-laki itu bisa bersikap hangat seperti dulu. Karena sikapnya itu, sampai hari ini pun, dia masih saja enggan mengubah panggilannya dengan sebutan yang lain—tidak dengan namanya saja.
"Nggak perlu. Saya bisa pesan taksi. Sekalian saya nanti pulang bawa motor yang masih ada di kos," tolak Raka sembari berjalan keluar kamar. Laki-laki itu mengambil kardus berukuran besar yang berisi barang milik Vania. Bawaan gadis itu memang lumayan banyak.
“Kenapa malah pesan taksi?” Vania sedikit tersinggung ketika Raka memilih mencari taksi ketimbang menggunakan mobilnya. Padahal, jika Raka mengajaknya sekalian, dia bisa menggantikan mengemudi saat laki-laki itu membawa motornya nanti. "Kalau aku ikut, aku bisa gantiin bawa mobil pas pulang nanti, kan?"
"Bukannya kamu nggak ingin teman-teman kampus tahu kalau kamu istri saya?"
Vania terpaku. Dari nada suaranya, laki-laki itu seperti tengah menyindirnya.
"Barang-barang kamu sudah saya masukkan ke kamar. Nanti tolong lekas diberesi. Setelah selesai, kita bisa silaturahim ke tetangga sekitar.”
"Silaturahimnya ... harus sekarang?”
Tubuh Vania benar-benar lelah. Selama tiga hari ini tenaganya banyak terforsir. Hari Jumat lalu, dia harus menjalani akad nikah. Esok harinya, dia sudah terbang ke Semarang untuk ngunduh mantu. Lalu hari ini, dia sudah berada di Solo karena besok pagi akan mengikuti masa PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru). Meskipun pernikahan mereka hanya mengundang keluarga besar, kerabat dan tetangga dekat, proses yang teramat kilat itu benar-benar membuatnya ingin segera merebahkan diri ke kasur.
"Sebagai penghuni baru, kita harus secepatnya silaturahim dengan mereka.” Sebetulnya Ayah Raka sudah melaporkan kedatangan mereka pada Pak RT kompleks ini seminggu lalu saat rumah resmi disewa. Tapi, tetap saja mereka harus bersilaturahim pada tetangga sekitar agar tidak timbul prasangka buruk. “Kalau mereka lihat umur kita, mungkin akan mengira kita belum menikah. Makanya, kita harus silaturahim hari ini juga," jelas Raka tegas.
Vania hanya tersenyum masam. Kalau Raka sudah bilang begitu, Vania bisa apa?
***
Semburat jingga sudah mengumpul di sudut langit bagian barat saat sepasang pengantin baru itu menekan bel rumah, tepat di sebelah kiri rumah mereka. Tadi, mereka sudah bersilaturahim ke lima keluarga, termasuk di antaranya rumah Pak RT. Karena keterbatasan waktu, mereka hanya berkunjung ke rumah tetangga yang paling dekat saja. Yang penting, kehadiran mereka tidak menimbulkan fitnah.
"Wa'alaikum salam," jawab seorang wanita muda yang mengenakan pashmina instan warna merah muda saat sang tamu mengucap salam.
Wanita muda itu buru-buru membuka pintu pagar. Di belakangnya ada anak kembar yang ikut penasaran dengan sang tamu. Anak laki-laki berambut keriting itu lagi-lagi mengekori ibunya ketika mengajak mereka memasuki rumah."Aduh, sampai repot bawain oleh-oleh segala. Makasih banyak ya, Dik," ujar wanita berkulit kuning langsat itu sedikit sungkan saat Vania menyerahkan seplastik oleh-oleh khas Semarang ketika mereka sudah berada di ruang tamu. Saat perjalanan ke Solo tadi, mertuanya sengaja mampir ke sebuah toko khusus oleh-oleh agar bisa diberikan pada tetangga sekitar.
Vania sudah dipersilakan duduk di sofa tamu. Raka menyusul di sebelahnya.
"Saya dulu juga menikah muda. Masih kuliah semester tiga sudah dilamar sama ayahnya kembar ini. Bedanya, suami saya sudah kerja.” Wanita bernama Hana itu memulai cerita setelah mereka saling mengenalkan diri. “Dulu pas main ke rumah Bu Lik di Solo, suami saya yang rumahnya di sebelah rumah Bu Lik, lihat saya. Baru pertama kali ketemu, eh... dia sudah berani nembung ke Bu Lik. Nggak lama kemudian dia melamar saya. Sampai dibelain jauh-jauh ke Malang, padahal belum tentu diterima," ceritanya lagi panjang lebar.Vania sedikit iri mendengar cerita Hana. Wanita berparas ayu itu dinikahi karena sang suami sudah naksir duluan sejak pertama kali bertemu. Sementara dirinya?
"Karena masih kuliah, saya sama suami sepakat nunda kehamilan dulu. Khawatir kuliah saya keteteran kalau sudah ada anak. Toh, waktu itu kami juga LDR-an. Saya kuliah di Malang, suami kerja di Solo. Paling ketemunya seminggu sekali. Saya baru hamil ..ya setelah saya lulus," jelas Hana.
Norman dan Bima, sepasang anak kembar berusia tiga tahun itu bergelayut manja di lengan ibunya sambil tersenyum malu-malu. Vania menatap balita kembar itu hangat. Suatu saat nanti, dia juga akan menjadi ibu. Membayangkan dirinya hamil, melahirkan sampai mengurus anak memberikan desiran aneh di sudut hatinya.
Vania mengerling sekilas pada Raka yang sedari tadi hanya diam saja. Mungkin karena suami Hana tidak ada, sehingga laki-laki itu memilih hanya menjadi pendengar obrolan mereka.
"Repot nggak, Mbak, ngurusin anak kembar?" tanya Vania basa-basi.
"Waduh, repot itu sudah jadi konsekuensi setiap ibu. Tapi, biar repot sekalipun, kalau dinikmati tetap asyik-asyik saja, kok."Selepas lulus kuliah, Hana memilih menjadi ibu rumah tangga, mengurus buah hatinya di rumah. Meskipun bayangan menjadi ibu masih jauh dari angan, dalam hati kecil Vania, dia juga ingin mendedikasikan waktunya untuk keluarga suatu saat nanti.
Pipinya tiba-tiba saja terasa memanas ketika pikirannya dengan sekonyong-konyong membayangkan Raka mengecup keningnya saat pulang kerja, lalu beralih mencium pipi gembil sang bayi yang tengah digendong Vania. Ah, apakah rumah tangga mereka akan seperti itu nantinya?
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Yellow Autumn (Sudah Terbit)
RomansaTersedia di Gramedia terdekat. Atau bisa dibeli di shopee : Ibiz Store, Tokopedia : IbizStore atau hubungi admin 08886813286. "Bolehkah ... saya menikahi putri, Om?" Bagaimana Vania tidak terkejut jika laki-laki yang diminta menjaganya selama kuli...