Question and Answer

488 42 0
                                    

Akashi Seijuuro pernah bertanya-tanya mengenai sang istri yang selalu terlihat baik-baik saja dan tidak pernah mempermasalahkan saat tiba-tiba saja dia harus terpaksa membatalkan janji yang mereka buat demi sebuah pekerjaan. Sebenarnya sih Akashi tidak mempermasalahkan hal itu, justru dia bersyukur mendapatkan istri yang tidak banyak mengeluh dan sangat memahami kesibukannya sebagai seorang penerus Akashi Corp. Tapi masalahnya, justru karena sang istri tidak pernah sekalipun marah atas segala sikap semena-menanya lah yang membuatnya penasaran dan justru didera rasa bersalah yang teramat besar.

Seperti hari ini. Seijuuro terpaksa membatalkan janji untuk menjemput Nanami--sang istri--di sekolah dengan alasan meeting mendadak. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Dan apa tanggapan wanita itu? Dia hanya mengangguk dan tersenyum tulus--senyum yang selalu berhasil menyingkirkan rasa lelahnya--tidak mengeluh apalagi marah. Darimana Seijuuro tau? Tentu saja Seijuuro melakukan panggilan video pada istri tercintanya itu. Dan mendapatkan respon yang seperti itu untuk kesekian kalinya, Seijuuro justru semakin merasa bersalah. Jadilah, Seijuuro mati-matian menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dan pulang lebih awal. Hanya demi memastikan keadaan sang istri.

Seijuuro sengaja tidak mengabari akan pulang cepat hari ini. Dia sengaja ingin mengetahui apa yang dilakukan istrinya saat dia sendirian di rumah--oh para pelayan yang ada di rumah tidak dia hitung omong-omong--maka jadilah dia masuk diam-diam seperti seorang maling. Penuh waspada. Jika seperti ini Seijuuro tiba-tiba saja mengingat temannya yang memiliki hawa kehadiran yang teramat tipis. Langkah terhenti. Mata menatap tanpa kedip. Seijuuro mematung saat melihat sang istri yang tengah membereskan pakaian kerjanya dengan teramat rapih. Dia memberi isyarat pada seorang pelayan yang akan menyapanya, membuat sang pelayang mengangguk takjim dan segera meninggalkan sepasang suami istri tersebut. Sang nyonya, Akashi Nanami tengah merapihkan kemeja yang baru saja dia setrika, sementara sang taun, Akashi Seijuuro,  berdiri mematung dibelakangnya. Lengkap dengan tas kerja yang belum ia simpan.

"Ah Sei... okaeri... kau, sudah pulang?" Sapaan itu diucapkan tatkala si wanita berbalik dan melihat sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyum menenangkan masih menghiasi wajah teduhnya.

Seijuuro bergerak perlahan. Memangkas jarak. Tas kerja ia simpan sembarangan, sepasang tangan bergerak cepat merengkuh tubuh si wanita yang untuk beberapa detik tertegun, namun dengan cepat membalas pelukannya dan terkekeh pelan.

"Hm, tadaima, Nami" suara itu terdengar dalam. Membuat si wanita tersenyum lagi.

"Okaeri Sei, otsukaresama" sahutnya tenang.

Rengkuhan terurai. Wanita itu berjinjit akibat perbedaan tinggi badan---meski Seijuuro lebih pendek dari teman-teman kelompok basketnya---toh tinggi Nanami tetap berada dibawah sang suami. Melepaskan perlahan ikatan dasi dan jas sang suami.

"Mau ku buatkan teh, Sei? Atau mau ku siapkan air panas?"

Seijuuro menggeleng pelan. Lagi-lagi laki-laki berambut merah itu memangkas jarak. Kali ini memeluknya lebih erat. Nanami mengerjap, meski heran akan respon yang diberikan sang suami, tapi sebagai seorang istri yang baik dia tetap menyambut sang suami. Diam sembari membalas pelukan suaminya.

"Gomen" lirih. Nyaris seperti sebuah gumaman saja, tapi si wanita masih bisa menangkap suara itu dengan baik. Membuatnya mengeryit heran. Ada apa dengan suaninya hari ini?

"Sei apa ada yang terjadi?" Dia berusaha melepaskan diri buat menatap wajah sang suami yang kini tenggelam di pundaknya, namun sosok itu tetap merengkuhnya erat. Tidak membiarkan tautan mereka terlepas.

"Tidak ada. Hanya saja... gomen lagi-lagi aku tidak menepati janji" penuh penyesalan. Nanami mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sebuah kekehan terlepas. Dia menepuk lembut punggung sang suami. Memberi ketenangan yang menurutnya tidak seberapa namun sangat berarti bagi sang suami.

"Tidak apa-apa Sei, itu bukan masalah... selagi kau tidak membohongiku semuanya tidak masalah" tukasnya tenang penuh kesungguhan. Seijuuro semakin menenggelamkan kepalanya. Menghirup aroma khas sang istri yang membuatnya merasa tenang.

"Jadi danna sama, apa kita akan terus seperti ini atau mau duduk? Kau pasti lelah" wanita itu berkata ringan. Sedikit menggoda sang suami dengan menyebutnya 'danna sama'

"Jangan mengalihkan pembicaraan Nyonya Akashi" balasnya sambil terkekeh. Pelukan kembali terurai, tapi jarak keduanya nyaris tidak ada. Wajah mereka hanya terpaut beberapa centi saja hingga masing-masing dari keduanya dapat merasakan hembusan napas masing-masing.

"Hey aku tidak mengalihkan pembicaraan kita, bukannya sudah ku bilang tidak masalah? Selama kau jujur padaku, semuanya dimaafkan, Sei" Lagi-lagi dia bicara tanpa keraguan sedikitpun.

"Aku tau kau akan mengatakan hal itu, tapi, sungguh Nami, kau tidak harus selalu mengalah. Kau boleh sesekali marah karena aku membatalkan janji, melihatmu yang selalu bersikap baik-baik saja justru membuatku tidak tenang"

Akashi Nanami mengerjap untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya sebuah tawaan mengudara. Sepasang tangan terangkat dan berhenti di wajah sang suami. Membingkainya dan membuat wajah itu sedikit menunduk hingga sejajar dengannya. Hingga dua pasang mata itu saling berhadapan. Sepasang mata merah dan sepasang mata sehitam malam yang menghanyutkan.

"Sei, sejak memutuskan menikah denganmu aku tau konsekuensi yang harus ku tanggung. Menikah denganmu berarti aku harus siap kapanpun kau harus lebih memprioritaskan pekerjaan daripada hal sepele yang bisa kita lakukan lain waktu. Menikah denganmu artinya aku juga menikahi semua hal yang berhubungan denganmu. Otou san juga pekerjaanmu baik di perusahaan maupun sebagai pemain shogi profesional. Jadi akan sangat egois jika aku harus marah karena hal sekecil itu, ah mengenai marah, bukankah aku sering marah padamu saat kau terlalu memaksakan diri, Sei?"

Untuk semua hal yang diucapkan wanita itu, untuk segala pengertian yang ia berikan, dan segala hal tentangnya, bagaimana mungkin seorang Akashi Seijuuro tidak akan jatuh sejatuh jatuhnya pada wanita itu? Ryuuzaki Nanami, ah lebih tepatnya Akashi Nanami tanpa ia sadari sudah membuat seorang  Akashi Seijuuro tidak bisa berpaling darinya bahkan untuk sedetik pun.

Tanpa mereka sadari, tak jauh dari tempat keduanya berada, Akashi Masaomi, sang tuan besar, kepala keluarga Akashi tersenyum tipis. Sangat tipis hingga nyaris tidak terlihat. Dia mendengar semua yang diucapkan sang menantu. Ah. Beruntunglah Seijuuro karena tidak melepaskan perempuan seperti Nanami meski pada awalnya dia sama sekali tidak menyetujui hubungan mereka.

.

.

.

"Omong-omong Nami, apa yang sedang kau lakukan pada pakaianku?" Seijuuro bertanya lembut sembari menatap tumpukan kemejanya di sana.

Nanami tersenyum kaku. Salah tingkah. Tidak menyangka jika kebiasaan diam-diamnya akan ketahuan secepat itu oleh sang suami.

"Ah, aku tidak suka jika pelayan memasuki kamar kita... aku... juga lebih suka menyetrika pakaian kerja kita sendiri... itu... menurutku lebih rapih"

"Nami..." namanya dipanggil dengan suara yang teramat dalam. Nanami tanpa sadar menggigit bagian dalam bibir bawahnya, gugup.

"Kalau terus seperti ini bagaimana caraku bisa lepas darimu, Nami?"

Dan ucapan itu tanpa diragukan lagi membuat Nanami kembali merona hebat hingga harus menyembunyikan wajahnya dibalik dada sang suami yang kini terkekeh puas sembari mendaratkan kecupan ringan di puncak kepalanya.


Nb: mata Akashi di mulmed matanya bokushi ya? Tapi di cerita ini bokushinya udah nggak ada. Sama kaya jalan cerita pas Last Game, bokushinya ilang. Jadi abaikan saja warna matanya. Anggap merah semua... hehe

With regards
Ken Auliya

The Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang