Why?

265 24 0
                                    

Malam. Sudah sangat larut. Nanami masih mengerjapkan mata. Kesadarannya timbul tenggelam. Sudah nyaris jam sebelas malam tapi sang suami masih belum juga pulang. Ah. Sebenarnya Seijuuro sudah sering mewanti-wantinya agar tidak menunggu kedatangannya di rumah. Kesibukan pekerjaan tidak mengenal ampun. Terlebih mengurusi cabang perusahaan di negara lain. Tidak diragukan lagi. Kesibukan Seijuuro bertambah padat. Begitu pula dengan jam pulangnya. Sayangnya, Nanami terlalu keras kepala buat mendengarkan ucapan sang suami hingga meski kesadarannya diambang batas, wanita itu tetap diam di ruanv tengah. Menunggu kedatangan sang suami bertemankan satu buku ditangan. Bukan bagaimana, hanya saja, jika Nanami tidur di kamar, Nanami tau jika kemungkinan besar, Seijuuro akan kembali meneruskan pekerjaannya di rumah bahkan mungkin melupakan makan malamnya. Kesehatan sosok itu mungkin saja bisa tumbang kapanpun. Meski selama ini tidak pernah parah. Nanami bahkan selalu dibuat heran akan kesehatan sang suami yang meski pekerjaannya menggila, dia bahkan nyaris selalu melupakan makan siangnya jika Nanami tidak mengantarkan makan siang tepat waktu--bentonya diantarkan oleh sopir pribadi keluarga Akashi--Seijuuro selalu tampak sehat. Bagus sih, tapi kekhawatirannya tidak kunjung usai.

Pintu terbuka. Seijuuro menghembuskan napas berat. Lelah. Sepasang mata merahnya memincing tatkala mendapati sosok Nanami yang tertidur diatas sofa sambil memegang buku. Untuk sesaat, Seijuuro menghembuskan napas perlahan. Bergerak tanpa suara dan berhenti dihadapan sang istri. Wajahnya damai. Tidur sambil duduk. Ceroboh sekali. Padahal dia bisa tidur di kamar tanpa memaksakan diri menunggu. Jemari terangkat. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah sang istri, mata terpejam. Mengerjap dua kali,

"Tadaima Nami..." ucapan itu diiringi sebuah kecupan ringan di kening.

Nanami mengerjap. Masih sedikit mengumpulkan kesadarannya sebelum akhirnya membuka suara. "Okaeri Sei... maaf aku tertidur"

Seijuuro mendesah kasar. Entah kenapa... mendengar permintaan maaf itu justru mengusik dirinya. Harusnya dka yang meminta maaf bukan wanita itu...

"Tidak, kau salah" tukasnya datar. Nanami demi mendengar ucapan bernada datar itu segera menegakkan posisi duduknya. Wajahnya untuk sekilas termenung. Berfikir akan kesalahan yang mungkin sudah ia lakukan.

"Gomen, aku benar-benar tidak sadar tertidur" suaranya pelan. Tangan terangkat hingga berhenti di wajah sang suami. Mata saling menatap.

"Harusnya aku yang mengatakannya Nami. Kenapa justru kau yang minta maaf? Lihat, jika kau tidur sambil duduk begini, tubuhmu akan kesakitan" Seijuuro mengangkat sebelah tangan. Menarik kepala sang istri hingga kening keduanya saling bersentuhan. Nanami memejamkan kedua bola matanya. Merasai kedekatan yang tercipta antara keduanya. Mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat.

"Kau sudah makan, Sei?" Suara kembali bersamaan dengan mata yang terbuka. Wajah mereka masih sebatas itu. Kening yang saling bersentuhan. Seijuuro mengangguk kecil. Matanya menatap sang wanita dalam. "Ah, kau membohongiku, Sei?" Nanami menjauhkan wajah. Mata menelisik. Menatap sang suami yang terlihat... tidak biasa.
Sebuah kekehan terdengar. Seijuuro menarik pundak sang istri. Menenggelamkannya dalam dekapan.

"Aku tidak lapar, ayo tidur saja, kepalaku pusing" Nanami mendesah berat. Seperti yang sudah ia duga. Seijuuro lagi-lagi melewatkan makan malamnya. Kepala wanita itu menggeleng kecil. Kedua tangannya mengusap lembut bagian belakang kepala sang suami.

"Sei, sedikit saja, meski hanya sepuluh suapan, kau harus makan malam. Kau mau menunggu di kamar? Biar aku bawakan makanannya ke kamar. Akan ku suapi. Ah, aku tidak menerima penolakan"

Sosok itu tertawa pelan. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut sang istri. Masih dengan kekehan gelinya sosok itu menatap sang istri "Nami, sepuluh suapan itu bukan sedikit"

Nanami mengendikkan pundak. Tak peduli. Bangkit. Dia menarik lembut sang suami. Membuat Seijuuro mau tak mau mengikuti keinginannya. "Tidak perlu ku antar ke kamar kan? Aku akan memanaskan makan malammu dulu. Istirahatlah... sepertinya kau hampir demam"

Jika sudah begini bagaimana mungkin Seijuuro bisa menolak ucapannya?

Nanami sungguh selalu berhasil membuatnya menurut.

"Nami..." gerakan terhenti kala sebelah tangannya digenggam erat. Nanami menoleh. Wajahnya mengerut saat menyadari tatapan teduh ditengah lelah.

"Kenapa kau tidak pernah berhenti membuatku terkesan? Naa, Nami... katakan padaku... jika kau terus seperti ini bagaimana mungkin aku bisa melepaskan diri?"

Nanami terkekeh. Genggaman ia lepaskan dan menggantinya dengan menggenggam balik lengan Seijuuro. Sedikit menariknya pelan hingga jarak yang memisahkan mereka terkikis. Tangan terangkat. Berhenti di sebelah wajah sang suami. Mengusapnya perlahan. Seijuuro memejamkan mata. Merasakan kasih sayang tak terucap.

"Kenapa kau harus melepaskan diri saat aku juga tidak berniat melepaskan diri darimu, Sei?"

Ah. Setelahnya Nanami benar-benar menyeret Seijuuro ke kamar dan menyelimuti suaminya setelah sebelumnya membantu mengganti pakaian yang dikenakannya.

Hanya seperti itu. Sederhana tapi sungguh lebih dari cukup.

Ah, sejatinya cinta tetap saja disebut cinta kan meski tidak terkata?

.

.

.

Akashi Seijuuro,  26 tahun, sudah menikah, tau jika sejak awal perempuan yang kini menjadi istrinya tidak pernah berhenti membuatnya terkesan.

Akashi Nanami, 26 tahun, sudah menikah, tau jika semakin lama hidup dengan Seijuuro, dia menyadari jika memang hanya dengan laki-laki itu saja dia bisa melakukan semuanya tanpa ragu.

The Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang