3

4.2K 168 4
                                    

Ikhlas adalah saat di mana tiada kecewa atau merana. Meskipun yang kamu harapkan luput dari genggaman.
@am_squad


"Assalamualaikum. Nona muda!" Aisyah menggoda neneknya yang tengah menyiapkan makan siang. Panggilan yang cukup unik untuk seorang perempuan yang telah berusia senja. Namun, bukan tanpa alasan Aisyah menggunakan sebutan itu, semata untuk menghibur neneknya yang telah lama setia membesarkannya dengan setulus hati.

"Waalaikumussalam, tuan putri." Neneknya membalas riang.

"Nenek masak sebanyak ini untuk apa?" tanya Aisyah ramah.

"Sudah cepat ganti bajumu. Lihat nanti siapa yang akan datang."

"Siapa Nek. Kalau begitu aku bantu nenek saja dulu."

Aisyah tak pernah membiarkan neneknya terlalu lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, rasanya sudah cukup banyak jasa neneknya pada Aisyah. Setidaknya dengan tenaga yang dimilikinya bisa membantu meringankan lelah neneknya. Nenek yang sudah Ia rasa seperti ibunya sendiri.

***

Aisyah membongkar tasnya, di hatinya ada harap-harap cemas. Ada sesuatu yang ia cari tapi tak kunjung ditemuinya. Aisyah sadar, apa yang ia cari mungkin terjatuh saat peristiwa kecelakaan nyaris menerpanya. Sejenak ia terdiam mengingat kembali tempat itu, tempat yang dirasa cukup jauh dari rumahnya.

"Aisyah, cepat keluar. Lihat siapa yang datang," suara itu terdengar dari balik pintu kamar Aisyah.

Aisyah menghela napasnya dalam-dalam, sepertinya ia harus melupakan dahulu benda yang dicarinya. Ada hal lain yang membuatnya harus keluar dari kamar. Ia keluar dengan raut yang masih menyimpan kecemasan. Namun, sebisa mungkin ia mencoba menyembunyikannya dari semua yang telah menunggu di ruang makan. Siapa lagi kalau bukan Hilman dan isterinya yang telah lama meninggalkan Aisyah dan neneknya berdua di rumah minimalis ini sejak mereka mendapat rumah baru yang lebih besar.

"Hai, apa kabar?" suara sumringah perempuan parubaya menyapa Aisyah yang baru saja mendekati mereka.

Tepatnya Karin, perempuan yang tak lain adalah tantenya sendiri. Isteri dari oomnya yang juga mau mengurusnya setelah kepergian orang tuanya. Hanya saja kini mereka tinggal di rumah yang berbeda. Aisyah tak pernah mau bila diminta ikut dengan mereka ia lebih memilih tinggal di rumah kecil penuh kenangan orang tuanya bersama neneknya.

Meski kehidupan ekonomi Hilman yang lebih baik, Aisyah tak banyak menuntut pada oomnya itu. Ia sadar bagaimanapun hanya neneknya yang mau mengurusnya dengan tulus, akan tetapi bagaimanapun Aisyah ikut merasakan kebahagiaan oom dan tantenya. Sebab, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan ia juga.

"Baik, Tan." Balasnya.

Mereka semua menikmati makan siang yang telah disiapkan neneknya. Masakan khas tanah sunda menjadi andalan perempuan tujuh puluh tahunan itu sebagai menu utama.

"Aisyah, ada yang ingin oom katakan padamu," suara Hilman membuat semua mata tertuju padanya.

"Apa oom?"

"Oom harap kau mau menerima permintaan oom."

"Permintaan?" gumam Aisyah dengan alis yang saling beradu.

"Bagaimana hasil ujianmu. Kamu lulus?" tiba-tiba suara tantenya menjeda.

"Iya, nenek lupa menanyakan itu dan kau pun Aisyah tak memberi tahu nenek!" tambah neneknya usai menelan makanan di mulutnya.

Sejenak keheningan hinggap di antara mereka.

"Alhamdulillah, aku lulus dengan hasil yang bagus," ucapnya tersenyum lebar,"Maaf, Nek. Aku lupa hehee." 

Sebuah Air Mata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang