6

3.4K 123 0
                                    

"Musik adalah rumah dalam hidupku. Di sana tempat paling nyaman mengutarakan segala perasaan saat kata-kata tidak bisa dimengerti oleh apapun"
                      
🍁🍁🍁

Kehidupan kadangkala sering memaksa apa yang tak pernah diinginkan harus terjadi. Meski bertubi-tubi adanya barangkali itu memang seharusnya terjadi. Lewat sebuah paksaan Rahadian, mau tidak mau Derel harus menuruti keinginan ayahnya yang memang tak pernah sepemikiran dengannya. Mungkin ia memang salah memandang itu semua, orang tua selalu ingin benar bukan karena dia sok benar, tapi mereka menginginkan kehidupan terbaik untuk putera puterinya. Walau kerap kali putera puterinya malah menilai ini dengan sebuah paksaan demi kebahagiaan orang tuanya.

Derel berdiri di depan gedung bertingkat berwarna putih. Dengan bersender di mobil mewahnya ia menimang-nimang sebuah handphone, beberapa pegawai yang keluar masuk dari gedung itu terus memperhatikan keberadaannya. Tak jarang mereka malah saling berbisik membicarakan keberadaan Derel.

Boleh diakui Derel memang tampan, kulitnya yang putih dan posturnya yang tinggi semakin menambah daya tarik pada dirinya. Belum lagi rambutnya yang dihighlight berwarna agak abu tertata rapih membuat tampilannya semakin mempesona. 

"Ayo cepat masuk, tunggu apa lagi?" suara ayahnya yang tiba-tiba muncul menambah kalut pikiran Derel.

Derel tetap membungkam, ia hanya mengekor pada ayahnya memasuki kantor. Sepanjang langkah ia mendapat sapaan hangat para pegawai terutama kaum hawa, bukan hanya karena ia adalah anak pewaris tunggal perusahaan saja, melainkan mereka juga terpesona melihat ketampanan Derel. Tidak aneh memang bagi Derel bila datang ke kantor ayahnya akan banyak pegawai perempuan yang bertingkah demikian.

"Mulai hari ini saya meminta kalian semua untuk membantu putra saya dalam mengurus perusahaan ini. Mengingat usia saya yang tak muda lagi, saya rasa ini waktu yang tepat untuk mengenalkannya. Karena cepat atau lambat Derel lah yang akan melanjutkan perusahaan ini," jelas Rahadian.

"Baik, Pak," ucap para pegawai.

Usai perkenalan Derel diantar ke sebuah ruangan yang akan menjadi miliknya. Ia duduk dan bersender di sebuah sofa yang berada tepat di sudut ruangan itu. Sesekali ia membuka beberapa berkas yang diberikan sekretaris ayahnya.

Ilmu yang pernah ia dapat dari bangku pendidikan sepertinya telah terkikis. Karenanya ia gusar bila melihat tumpukan map beragam warna. Tak aneh memang, selama ini ia hanya sibuk dengan dunianya sendiri bahkan ia pun tak menyadari bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang diharapkan dapat melanjutkan perusahaan ayahnya.

"Ah, kalo begini apa bedanya aku dengan pegawai,"

"Membosankan!"

"Payah." Hardiknya pada diri sendiri.

Ia menatap layar handpone dan mulai mengetik di atasnya. Tak cukup waktu lama Derel bangkit dan memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut.

"Mau ke mana?" tanya Rahadian saat berpapasan di pintu ruangan itu.

"Cari makan."

"Kamukan bisa pesan lewat online atau minta dibelikan pegawai."

"Aku pamit."

Derel melangkah lebih cepat, ia tak lagi menghiraukan pertanyaan-pertanyaan ayahnya. Rahadian sadar, puteranya kini sudah dewasa, ia tak bisa dimarahi terus-terusan jika berbuat salah seperti anak kecil. Dalam hatinya ada penyesalan karena tak bisa mendidik dengan baik putera sematawayangnya. Ini semua salahnya yang terlalu memanjakan Derel sejak dini. Belum lagi saat Derel kecil Rahadian selalu disibukkan dengan urusan-urusannya, banyak waktu yang dilewati dengan puteranya begitu saja. Begitulah penyesalan, ia selalu datang di akhir waktu, membuat pelakunya kerap merasa benar-benar bersalah.

Sebuah Air Mata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang