5

3.8K 135 4
                                    

“Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-geriknya teringat mati. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap tetangganya.” (HR. Hakim)

🍁🍁🍁

Sahabat terbaik akan selalu menunjukkanmu pada sebuah kebaikan.
⏳⏳⏳

Rumi berlari tergopoh menghampiri Aisyah yang sibuk membaca salah satu buku novel penulis kesukaannya. Buku yang baru saja ia beli sebelum akhirnya menuju masjid sekolah.

Aisyah duduk di sebuah kursi taman masjid, tempat yang sengaja dibangun pihak sekolah sebagai tempat berteduh saat panas matahari mulai menghadap ke arah masjid.

"Syah, tumben datang awal?" tanya Rumi dengan napas terengah-engah.

Aisyah mengerutkan dahinya, "Lain kali ucap salam dulu, kau ingat bukan satu hadist yang pernah disampaikan pak ustadz. 'Apabila seorang datang langsung berbicara sebelum memberi salam maka janganlah dijawab'. (HR. Ad-Dainuri dan Tirmidzi)."

"Hehe, iya maaf. Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam." Aisyah tersenyum. "Barusan aku ngojek, jadi bisa datang lebih cepat."

Rumi dan Aisyah telah lama bersahabat, keduanya bertemu di awal masa orientasi siswa di SMP. Dan ternyata mereka pun bisa mendapat kelas yang sama. Hingga keduanya memutuskan melanjutkan di Madrasah Aliyah yang sama pula.

"Terus semalam kenapa tidak balas Wa-ku atau angkat panggilanku?"

Aisyah membenarkan posisi duduknya, ia melipat lembaran buku yang sedang ia baca sebagai tanda jika akan melanjutkan kembali. "Aku tidur lebih awal, Rum. Maaf yah."

"Yakin?"

"Tentu,"

"Jadi sekarang kau mau main rahasia-rahasiaan denganku. Atau kau malah tak menganggapku sahabatmu lagi?"

"Maksudmu?"

Rumi menatap tajam manik mata Aisyah. "Jangan buat aku memaksamu, Syah! Aku sudah dengar dari Nenekmu."

"Kau sudah tahu?"

Hening. Keduanya saling terpaku tak bersuara. Dan akhirnya Aisyah mengalah, ia memecah keheningan dan menceritakan apa yang terjadi. "Benar, Rum. Malam ini pak Rahadian akan datang ke rumahku untuk membicarakan semuanya."

"Lalu bagaimana dengan mimpimu yang lain. Pendaftaran kulyahmu bagaimana?"

Wajah Aisyah terlihat sendu. "Aku akan menunda dahulu, Rum."

"Kesempatan masih banyak. Jangan sedih dong, kaukan perempuan kuat. Semoga lelaki pilihan oom Hilman memang jodohmu yang Allah pasangkan dengan tulang rusukmu, jodoh yang bisa membawamu ke surga-Nya," ucap Rumi berusaha menenangkan suasana hati sahabatnya.

"Aamiin. Makasih, Rum."

"Oh ya. Namanya siapa, dia tampan tidak, pasti tajir melintir dong?" tanya Rumi antusias.

Aisyah memutar bola matanya, kini gilirannya menatap tepat manik mata Rumi.

"Dasar kamu, Rum. Sudah cepat masuk, sebentar lagi pasti banyak yang datang," ajaknya mengalihkan pembicaraan.

"Tunggu dulu, masih ada waktu tiga puluh menit. Kita ke toko roti seberang gedung, aku lapar."

Rumi mulai merengek, Aisyah tahu betul sifat sahabatnya itu ketika ada maunya. Ia bisa berlaga seperti anak kucing kepada induknya, bermanja-manja.

Sebuah Air Mata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang