4

4K 165 2
                                    

"Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku" (Umar Bin Khattab.

🍁🍁🍁

Begitupun dengan kehilangan orang-orang yang aku cintai.

Senja beranjak pergi dan tergantikan gelap malam. Langit Jakarta saat itu sepi, tak ada kerlip bintang yang meramaikan.  Di kamarnya, Aisyah melepaskan segala kesedihannya. Beberapa perkataan Hilman masih begitu jelas terdengar di telinga. Sebuah pilihan yang akan membuat ia harus menguburkan segala mimpi-mimpi yang telah ia susun.

Air mata yang tak pernah mau terhenti membuat matanya kian sembab. Sejak siang ia tak keluar dari kamarnya. Beberapa notif panggilan suara dan pesan dari handponenya tak ia hiraukan. Bahkan saat neneknya menyuruh makan malam pun ia hanya menjawab, "Aku masih kenyang, Nek."

Ia berusaha menyembunyikan tangisan dari dalam kamar. Pintu yang ia kunci sebenarnya tak membuat ia berhasil menutupi kesedihan dari neneknya. Namun, neneknya bisa memahami keputusan Aisyah. Ia tahu perasaan Aisyah saat ini sehingga membiarkannya dalam kamar.

"Yasudah, kalau kamu lapar di dapur sudah nenek sediakan. Jangan lupa juga sholat, nanti kamu malah ketiduran."

"Baik, Nek."

Malam itu suasana rumah Aisyah benar-benar sunyi. Jam dinding menunjukan tepat pukul 02.00 wib, ia memutuskan mengambil air wudhu dan menghadap Sang pemilik jagat raya, mencoba mengadukan segalanya pada Allah. Tentang apapun, sebab ia yakin takdir baik akan selalu ada dari Yang Maha Baik.

Ia mencoba berdamai dengan kesedihan dan berusaha tetap ikhlas menerima keputusan yang dituntut oomnya. Sedikit demi sedikit tangisnya mulai mereda setelah segalanya ia ceritakan pada Allah.

"Aku tidak tahu siapa jodohku dan dari belahan semesta mana Allah pertemukannya. Yang aku tahu, jodoh, rizki dan maut tetap menjadi rahasia terindah-MU. Apapun yang terjadi, semuanya kuikhlaskan sebagai jalan menuju istana-MU." Gumamnya di ujung doa.

Aisyah memejamkan matanya rekat-rekat. Dan sosok sepasang suami isteri hinggap dalam pikirannya. Yah, mereka adalah orang tua Aisyah, orang yang membuatnya hadir di dunia ini dengan cinta. Ia rindu pada mereka yang sama sekali tak pernah ditatapnya langsung selain beberapa potret masa pernikahan mereka. Kecelakaan yang menimpa ayahnya sepulang bekerja telah merenggut nyawanya. Dan beberapa bulan kemudian disusul ibunya tepat setelah lahir Aisyah. Kini sosok seorang ayah yang menjadi raja dalam hidupnya hanya bisa ia rasakan dalam aliran darah di seluruh tubuhnya. Merasakan yatim di usia empat bulan dalam kandungan tentu bukan menjadi keinginan siapapun. Sedangkan seorang ibu yang juga menjadi ratu dalam hidupnya tak pernah ia tatap langsung di hidupnya selain hanya bisa ia gapai dengan sebuah doa.

Ibunya meninggal akibat pendarahan saat usia kandungan baru mencapai tujuh bulan. Kehamilannya bermasalah karena posisi placenta berada di bawah dan menurut dokter sangat rawan terjadi pendarahan. Karena mengalami pendarahan hebat ia harus menjalani operasi cesar untuk proses melahirkan. Sekitar satu jam setelah masuk ruang operasi lahirlah seorang bayi perempuan mungil yang kemudian diberi nama Aisyah. Tetapi takdir berkata lain, setelah dibius untuk operasi, ia tidak pernah siuman lagi sampai akhirnya meninggal sekitar dua jam setelah operasi.

Aisyah tertidur dengan mendekap potret kedua orang tuanya. Selain dengan doa mendekap potret mereka adalah caranya melepas berjuta rindu yang tinggal di dadanya.

Aisyah terbangun setelah ia merasa ada yang merebut potret yang didekapnya.

"Nenek?!" Aisyah segera membuka matanya dan memastikan tidak ada air mata yang masih tertinggal di pipinya.

Sebuah Air Mata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang