PEMAIN
FANLEI CHEN
Hobby : Kerja! KERJA! kerja! Capek!.
.
.
.
.
.
.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。6 hari sejak kepulangan sang papa, Sichuan tak nafsu makan. Biasanya, di jam 6 pagi itu, kupingnya selalu gatal karena sang mama yang berteriak kencang memanggil namanya agar segera turun ke dapur untuk sarapan pagi. Kalau tidak sandwich isi telur goreng dan dua paruh sosis sapi jumbo, ya hanya secangkir susu dele. Bukan karena Sichuan suka susu dele, tapi mamanya selalu memerhatikan kesehatan putri tercinta. Tidak setiap hari juga mama membuatkan susu dele. Paling tidak, seminggu tiga sampai empat kali saja. Itulah rahasia Sichuan jarang sakit dan kulitnya cerah berkilau bagaikan motor yang baru dicuci.
Tapi, itu dulu. Saat orangtua yang sangat Sichuan sayangi, masih hidup bersama di rumah yang sama.
TING TUNG. TING TUNG.
Suara bel rumah Sichuan terdengar keras memang, terdengar sampai telinganya yang berada di kamarnya yang ada di lantai atas. Ah, itu pasti teman papa, batinnya. Ia turun melewati tangga melingkar hitam-merah yang tampak mewah itu dengan santai, karena malas. Sampailah ia di depan pintu dan langsung membukanya.
Itu... pantas saja mata Sichuan yang sudah sembab jadi memerah dan berair lagi, pantas saja matanya jadi membelalak lebar dan menatap penuh amarah kepada tamu yang berdiri tegap di depannya.
Karena...
Seseorang itu...
"PEMBUNUH NGGAK TAHU DIRI!"
JGLEK! Refleks, Sichuan bergerak membanting pintu rumahnya. Sengaja.
Kini ia bertahan di balik pintu rumahnya. Tidak lari. Ia menunggu reaksi selanjutnya pria jangkung yang disebutnya "pembunuh" itu dengan suara lantang, emosi meledak-ledak dan air mata yang mengalir.
"Saya ke sini untuk minta maaf. Saya turut berduka cita. Dan juga.. saya minta maaf atas sikap saya kemarin," kata pria itu dengan ketakutan dan rasa bersalah yang besar. "Di hari kejadian, saya terlambat, saya minta maaf. Saya kira, tidak akan separah ini jadinya."
"Tidak separah ini?!," bentak Sichuan sambil menarik ke dalam pintu itu dan melototi pria yang sedang berusaha mendapatkan pengertian dari Sichuan. "Jadi walaupun tidak parah, tidak apa-apa?"
"Bukan itu..."
"Jadi walaupun papa saya sekarat berjam-jam, nggak sampai meninggal, tidak apa-apa buat kamu?"
"Tolong jangan..."
"Saya kehilangan papa saya karena Anda. Dan saya juga kehilangan mama saya, kamu tahu?!"
Sekarang pria itu memilih diam dan menunggu sampai Sichuan selesai bicara.
"Bahkan kamu dipecat saja belum cukup bagi saya. Mulai sekarang, pergi saja. Pergi, matilah saja dan jangan pernah terlahir kembali! Jangan pernah berpikir untuk masuk surga. Temui saja jiwamu sendiri di neraka."
"Lalu bagaimana kalau kamu jadi saya?" Sahut pria itu kehilangan kesabarannya. Sebenarnya, dia merasa sangat bersalah untuk mengatakan ini pada Sichuan.
"Hh--apa?"
"Kalau kamu jadi kurir seperti saya. Ibu saya sakit kanker otak stadium akhir. Saya harus kerja keras cari uang. Dan resiko terbesar saya sepanjang ini dalam karir saya adalah naluri sebagai seorang kurir."
Lagi, ia menjelaskan, "saat itu saya melihat ada kecelakaan. Saya mana bisa diam saja? Saya harus memilih menyelamatkan nyawa orang---"
"Kamu berani bilang se---"
"Tolong dengarkan saya dulu!"
"KAMU TIDAK ADA HAK UNTUK BICARA SEPERTI ITU! Kamu bicara seolah-olah kamu yang pelaku adalah korban, kamu sadar itu? Benar-benar tidak punya hati! Otak saja otak udang. BUS*K!!"
Sichuan sudah tak tahan lagi. Amarahnya yang meluap-luap akhirnya mereda, tergantikan oleh air mata kepedihan hatinya. Ia membalikkan badan, berniat meninggalkan pria itu.
Tapi tiba-tiba, pria itu menarik tangan Sichuan dan memanggil namanya di tengah hela nafasnya, "Sichuan..." dan memeluknya.
些些
🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩🎩Hi hi Storyginal🐝
Sebelum lanjut ke chapter 3, ai mau ngasi tau, nih, kalau pemain yg ditampilkan di chapter itu pemain tambahan dari chapter sebelumnya yaa.. thanks Storyginal!😊Ai tunggu komen dan bintang berkilau dari kalian yee... /eak "berkilau"😆😂
Thankyou darling!🌻🌝
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Putih
Teen FictionPernah nggak lo nyesel karena udah suka sama seseorang? Itulah yang gue rasain. Gue nyesel udah jatuh ke dalam hipnotisnya, tapi anehnya, gue nyaman terjebak di dalamnya.