Persidangan telah selesai. Kasus telah ditutup. Sekarang tinggal pertanyaan yang memuat tentang seberapa besar keberanian Sichuan untuk mengakui kekalahannya dan isi hati yang sebenarnya. Sichuan dengan langkah tegap dan menentang, memperlihatkan bahwa ia tak akan mudah jatuh begitu saja, berjalan cepat menyusul Fanlei yang sedang berjalan ke arah tangga depan pintu masuk gedung pengadilan.
"Jangan seneng dulu. Karena orang miskin pasti akan kalah dengan orang beruang," ujar Sichuan berlagak angkuh dan tersenyum hebat.
Fanlei tertawa kecil.
"Kamu ketawa??" Sichuan semakin kesal.
"Maaf. Menurut saya, kebahagiaan itu gak bisa dibeli dengan uang. Dan juga, kamu harus tanggungjawab dengan kondisi ibu saya yang semakin parah," Fanlei berkata serius, ia sangat ingin ibunya segera dioperasi karena hanya itu satu-satunya jalan agar ibunya bisa sehat kembali.
Sichuan terdiam. Dalam hatinya, tak tega ia mendengar kondisi ibu Fanlei yang sedang sakit kronis, tapi demi menjaga harkat dan martabatnya, ia memilih untuk diam.
"Kalau kamu nggak mau bertanggungjawab, maka kemungkiman kita akan impas. Kamu kehilangan papamu karena aku, dan aku kehilangan ibuku karena kamu."
"HEYY!!!!" Sichuan tak ingin Fanlei berpikir serendah itu. "Kamu pikir nyawa itu mainan? HAH!? Kamu pikir nyawa itu apa?"
"Kalau kamu sepeduli itu ke aku, datang aja ke rumah sakit Ersten."
Lalu, ia pergi. Tinggal Sichuan seorang diri di sana. Sichuan dirundung kebimbangan. Akankah ia rela menyelamatkan ibu Fanlei setelah apa yang dilakukan Fanlei terhadap papanya?
"Wang A? Kamu? Wang A? Wah! Gila, coy... udah berapa lama nih nggak ketemu?"
Dari jarak jauh, terdengar oleh Sichuan suara Fanlei sedang bertegur sapa dengan seseorang.
"Tunggu. Cowok itu, kan..."
Pria asing yang selalu mengamati dan menatap mata Sichuan selama persidangan berlangsung.
"Jadi namanya... Wang A?"
。。。。。。。。。。。。。。。。。。
Sesampainya di rumah, Bonn melewati Sichuan yang tampak melamun di atas sofa ruang tamu dengan posisi kaki menyila. "Jangan ngelamun. Ntar gua kaget-kagetin, lhoh."
"Ih! Apaan sih, Kak. Orang lagi... lagi... ya.. lagi pengen diem aja. Capek habis keluar rumah. Udah, ah! Kakak selesain tuh skripsi kakak. Dua tahun belum kelar-kelar juga..."
Bonn yang iseng langsung meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar tidurnya. Sedangkan Sichuan, ia masih merenungkan sesuatu di ruang tamunya yang luas dan penuh dengan interior mewah.
Jika ia pikir-pikir lagi, kepergian mama dan papanya sangatlah membuat hidupnya terasa hancur seketika. Setiap waktu, setiap ia berdiri di manapun itu, ia selalu teringat dengan raut wajah seorang mama yang selalu memeluknya, menciumnya, memasakkannya sambal goreng udang, sandwich, susu dele dan menemaninya disaat ia butuh seseorang untuk bersandar. Dan juga seorang papa yang meski sibuk bekerja, tapi beliau selalu menyempatkan waktunya untuk bermain dengan Sichuan dan istrinya, mengajak makan malam, tidur berempat dengan Bonn saat hujan deras dan petir berkali-kali bergemuruh, mengajak jalan-jalan, canda dan tawa selalu mengiringi keseharian mereka sekeluarga.
Tapi sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan.
Sudah tak bisa terulang kembali.
Hanya bisa diingat kembali.
Dirasakan kembali.
Sampai air mata menetes merindukan masa-masa lampu yang terlalu indah untuk diingat maupun dilupakan.
Sichuan menangis. Jika dipikir-pikir lagi, Fanlei tidak mudah untuk dimaafkan. "Tidak! Membantu biaya operasi ibunya? Heh! Dia bisa menyewa pengacara. Dia pasti punya banyak uang, kan? Dia--- dia... ah, entah! Kenapa juga harus peduliin dia."
Sichuan yang kuat langsung menghapus air matanya dan menerbitkan senyum manisnya. "Tapi kalau diinget-inget lagi, Wang A...kelihatannya dia deket banget sama Fanlei? Jangan-jangan... ah! Nggak! Nggak mungkin."
TING-TUNG. TING-TUNG. TING-TUNG.
"Siapa sih yang mencet bel banyak bener?" Sichuan beranjak dari sofa dan membukakan pintu. Sichuan kaget dan heran melihat tamu itu rupanya adalah... "Fanlei?"
Fanlei datang sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil yang habis jatuh di atas aspal, matanya sembab, sampai jadi kemerah-merahan.
Sichuan bingung, apa yang membuat Fanlei menangis sampai seperti itu?
"Kamu..." Sichuan baru saja akan bertanya akan hal itu. Tapi ...
Seperti waktu berhenti, Fanlei langsung memeluknya.
Erat.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。
🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐓🐓🐓🐓🐓🐓🐓🐓Jangan lupa vote dan komen ya Storyginal😀😙😘😙😘😙😘😙😘😙😘
Smoga sehat selalu🐝
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Putih
Teen FictionPernah nggak lo nyesel karena udah suka sama seseorang? Itulah yang gue rasain. Gue nyesel udah jatuh ke dalam hipnotisnya, tapi anehnya, gue nyaman terjebak di dalamnya.