Epilog

82 9 5
                                    

Rasanya aneh berobat ke rumah sakit tempat di mana ia bekerja. Lani terbiasa melayani pasien yang sakit. Mengganti infus pasien rawat inap. Atau sekedar memanggil nama pasien yang ingin berkonsultasi ke ruang dokter.

Saat ini ia justru mengalami kondisi sebaliknya. Duduk di salah satu kursi yang telah disediakan dan menunggu perawat memanggil namanya. Salahkan maag-nya yang mendadak kambuh sampai terpaksa mengambil cuti dari pekerjaannya. Dan Cindy-sahabat semasa SMA sekaligus rekan kerjanya-menyarankan Lani untuk berobat di rumah sakit tempat mereka bekerja.

Lani tidak menyangka ia akan merasa tidak nyaman seperti ini. Mungkin setelah selesai jumpa dokter nanti, tidak masalah kalau Lani memberikan satu atau dua jotosan pada sahabatnya itu. Setidaknya tunggu ia sembuh dulu. Jangan sekarang. Ia masih tidak sanggup.

"Udahh dong, Lan. Jangan cemberut terus. Asem banget liatnya," duduk di sebelahnya, Cindy nyengir. Cewek itu masih menggunakan seragam perawat karna ia memang sedang kerja.
Lani menekuk wajahnya semakin dalam.

"Ini lagi meringis kesakitan tahu, bukannya cemberut!" setelah itu, Lani langsung mengaduh pelan sambil memegang perutnya.
Cindy langsung panik.

"Eh? Eh? Sakit, ya, Lan? Maaf!" ia ikut memegang perut Lani hati-hati, tapi langsung dibalas tepisan kuat. Bukannya menyembuhkan, pegangan Lani itu malah membuat perut Lani semakin sakit.

Cindy mengusap tangannya yang barusan ditepuk.

"Gue baru aja ingat, Pak Juno kemaren panik banget loh pas tahu maag lo kambuh. Dia malah mau ke sini tadi. Tapi berhubung ruang gawat darurat lagi rame banget, dia jadi gak bisa datang. Makanya gue yang dikirim buat nemenin lo."

Masih sambil memegang perutnya, Lani melirik lewat sudut mata.

"Lo kenapa sih semangat banget jodohin gue sama dokter Juno, Cin?"

Seringai lebar langsung muncul di bibir Cindy.

"Lah, apa salahnya? Pak Juno kan ganteng, baik lagi! Apalagi pas SMA lo kan terobsesi punya suami dokter. Nah, klop banget gak tuh-" mendadak, senyum Cindy menghilang. "Sori. Gue ralat kata-kata gue. Gue yakin lo pasti tahu jawabannya, Lan."

Mata Lani melebar. Tubuhnya kaku seketika. Pelan, ia menggigit bibir bawahnya. Menguncinya rapat-rapat.

Bungkamnya Lani, membuat Cindy melanjutkan kata-katanya. "Lan. Lo harus lupain dia."

Ah, kata-kata ini lagi. Lani tidak mau mendengarnya.

"Sayangnya gak bisa semudah itu, Cin," pandangan Lani jatuh ke lantai. Mendadak sakit di perut yang tadi ia rasakan terlupakan. Lani bisa mendengar suaranya agak gemetar saat mengatakan itu.

Cindy menghela napas panjang. Matanya sirat akan kepedihan. Tahukah Lani? Bagi Cindy melihat Lani terluka sama saja seperti melihat dirinya sendiri yang terluka. Hati-hati ia menangkup kedua bahu Lani, memaksa agar sahabatnya itu menoleh padanya.

"Justru karena gak semudah itu, lo harus berusaha lebih kuat, Lan. Bukannya cuma jalan di tempat kayak sekarang."

Lani terenyuh. Mata coklat madunya agak melebar. Kata-kata Cindy barusan ....

"Waduh!" tiba-tiba Cindy menjerit panik. Pegangan tangannya pada kedua bahu Lani otomatis terlepas. "Itu kepala perawat kita, 'kan? Gue ngacir ke mana dulu ya, Lan. Ntar kalo gue ketahuan sama kepala perawat ada di sini, masa depan gue bisa berantakan!" setelah mengatakan itu, Cindy langsung lari tunggang langgang dan menghilang di tikungan.

Lani tak bisa mencegah untuk tidak tertawa. Ia menggeleng pelan. Takjub melihat sahabatnya yang bisa menghilang dalam waktu kurang dari semenit. Lalu ketika ia menoleh ke samping, mata Lani langsung bertemu pandang dengan ibu kepala perawatnya.

Lani refleks menganggukkan kepalanya sambil memberikan senyuman tipis. Sebuah salam dari jarak jauh. Ibu kepala perawat yang memiliki tubuh gendut itu balas tersenyum tipis sebelum akhirnya berlalu pergi.

Menarik napas sejenak, Lani menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menerawang. Kata-kata Cindy itu benar. Selama ini Lani hanya berjalan di tempat sambil mengenang Rinan. Terus mengingat ke belakang sampai-sampai ia lupa untuk bahagia. Tidak, lebih tepatnya, ia tidak mampu untuk bahagia lagi. Karena selama ini Lani pikir kebahagiaannya ada bersama Rinan.

"Pelangi Lunar."

Tersenyum tipis, Lani berdiri saat seorang perawat memanggil namanya. Sekarang sudah gilirannya untuk masuk ke dalam Poli Umum dan berkonsultasi dengan dokter. Dengan langkah mantap, Lani berjalan. Berjalan meninggalkan tempat duduknya. Dan berjalan menuju awal baru.

Mungkin ... inilah saatnya ia berhenti berjalan di tempat dan mulai menatap masa depan. Meninggalkan hujan yang selalu mengingatkannya pada Rinan. Karena Lani tahu, tidak selamanya langit dituruni hujan. Ketika hujan berhenti, matahari akan bersinar terang ditemani indahnya pelangi.

Karena momen spesial tidak selamanya terasa indah. Momen spesial juga bisa terasa pahit.
Meskipun agak sakit, kini saatnya pelangi untuk pergi dan mencari kebahagiaannya seorang diri. Karena kebahagiaan tidak bisa ditunggu. Tapi harus diraih.
Dan Rinan lah yang sudah mengajarkan semua itu padanya.

Cindy melongo saat menyadari Lani tidak ada di bangkunya, tempat terakhir di mana ia meninggalkan cewek itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cindy melongo saat menyadari Lani tidak ada di bangkunya, tempat terakhir di mana ia meninggalkan cewek itu. Pada Tania, perawat yang sedang bertugas di poli Umum, Cindy langsung bertanya.

"Eh, Lani di mana?" ia menghampiri meja Tania dengan langkah agak terburu.

Tania yang sedang sibuk dengan kertas di tangannya terpaksa menoleh. "Udah masuk ke dalam. Baruu aja."

Bibir Cindy agak mengerucut. Kecewa. Padahal tadi ia belum selesai mengatakan kata-katanya pada Lani. Kalau seperti ini Cindy hanya dapat berharap Lani sudah mengerti dengan kata-katanya tadi.

Mengetuk-ngetuk meja Tania bosan, Cindy kembali menoleh. "Oya, gue denger di Poli Umum ada dokter baru, ya? Gantiin Pak Herman yang cuti."

Tidak seperti sebelumnya, mata Tania berbinar ceria saat menoleh pada Cindy. Senyumnya merekah.

"Iya! Dokternya masih muda, murah senyum, ganteng pula! Pokoknya bener-bener bikin segar mata, deh!" menggebu-gebu, Tania sudah melupakan lembaran kertas di tangannya.

Alis Cindy naik sebelah. Dokter baru yang ganteng tentu saja menjadi topik menarik yang tidak boleh ditinggalkan.

"Seriusan? Emang namanya siapa?" tanpa sadar, nada suara Cindy berubah lebih semangat.

Bibir Tania terbuka cepat.

"Namanya Ri-rian?" mendadak menghentikan kata-katanya, kening Tania berkerut bingung. "Duh, bentar. Gue lupa. Namanya unik banget banget, sih," lembaran kertas di atas meja kembali Tania acak, kali ini dengan gerakan tidak sabaran.

"Oiya! Dokter Rinan! Alif Rinanda lengkapnya!"

Dan Cindy melotot seketika.

Sepertinya ....

Takdir masih ingin mempertemukan Pelangi dan Hujan

.
.
.
SELESAI

TENTANG KAU DAN HUJAN //✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang