Aku sedang berbaring di kamar, menatap langit-langit. Sudah berjam-jam aku menghitung domba dalam pikiranku, mataku belum juga bisa terpejam. Alih-alih tertidur, aku sibuk dengan segala pikiranku tentang Ronnie, membayangkan tubuhnya diatasku, memagutkan bibirnya ke bibirku, aku merasakan detak jantungnya memacu, matanya menatapku penuh nafsu, ia mulai bergerak memasukiku, menggoyangkan tulang pinggulnya dengan ritme yang lambat, lambat, sedang, sedang, cepat, cepat, cepat.
"Aaarghh... Shit!" Aku baru saja orgasme, membuat tanganku dipenuhi sperma. Selanjutnya aku terkulai lemas, hingga akhirnya mimpi mengelabuiku.
Aku dan Ronnie duduk di kursi pelaminan, setelah baru saja mengucapkan Ijab Qabul, sebagai tanda dia adalah milikku sepenuhnya. Orang-orang berangsur menyalami kami, memberi kado pernikahan, mengucapkan selamat sembari tersenyum tulus, tidak ada sirat mengejek. Semua tampak normal, tidak ada yang tabu ataupun janggal di pernikahan kami. Sekelebat aku melihat pada tubuhku dan membuatku terperanjat, aku memakai gaun seperti wanita? kuarahkan tanganku ke kepala, rambutku disanggul? aku merasakan tonjolan di dadaku. Selanjutnya kuraba selangkanganku, tidak ada penis disana.
"TIDAK!!!" Aku terbangun dengan napas tersengal, bahkan mimpi pun mengolok-olokku.
Kuarahkan pandanganku pada jam dinding, masih pukul 03.00 dini hari. Aku bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diriku. Setelah itu, aku berpakaian lalu menuju ke masjid melaksanakan Shalat Shubuh. Aku hanya berjalan kaki karena jaraknya sangat dekat, hanya butuh waktu sekitar 15 menit.
Setelah Shalat, aku tidak langsung pulang. Aku duduk diatas sajadahku sembari menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku merasa tidak pantas berada di tempat suci seperti ini, aku kotor karena perasaan yang kumiliki pada sesama jenisku.
"Rab, aku tahu Kau melaknantku karena memcintainya, ambisiku untuk memilikinya adalah murka-Mu. Ya Azza, yang maha membolak balikkan hati manusia, maukah Engkau menghapus perasaanku ini? Jika ini ujian, mungkin sedikit lagi aku akan menyerah" lirihku.
Jika di kitab Lauh Mahfudz tidak tertulis namaku sebagai kekasihnya, maka tidak ada ranjau sebesar biji Zarrah-pun yang menghalangi hatiku untuk mencintainya. Bagiku mencintainya bukan berarti harus memilikinya, terkadang cinta memang tidak logis, kau hanya mencintai, tidak perlu alasan, bahkan yang kau cintai adalah yang berbeda keyakinan denganmu, berbeda strata darimu atau sesama jenismu.
...
Saat menunggu sarapan, Ayah banyak berbicara menceramahi aku dan Akifah, tentang etika atau hal-hal yang dilarang oleh agama.
"Suara adalah aurat bagi wanita, Abi tidak mau mendengar Akifah berbicara terlalu lantang atau tertawa terbahak-bahak yang berlebihan" kata Ayah yang ditanggapi anggukan oleh Akifah.
"Zam, sebentar lagi kan kamu Lulus dari SMA, apa kau sudah memikirkan mau kuliah dimana?" Suara Ibu sambil menghidangkan nasi goreng serta menyiapkan teh untuk kami.
"Sudah Ummi, Azzam berencana kuliah di Kota, mau ambil jurusan kedokteran" jawabku.
"Berarti dari sekarang kau harus belajar keras, masuk kedokteran itu tidak mudah" Ibu tersenyum ke arahku.
"Iya Ummi, doakan Azzam" balasku yang juga tersenyum pada Ibu.
Saat tiba di kelas, Ronnie sudah duduk di kursinya, menatapku dengan mata berbinar dan wajah tersenyum sumringah, seolah dia sudah menungguku sejak lama.
"Pagi Zam"
"Pagi Ron, cepat sekali kau ada di sekolah, kau benar-benar banyak berubah"
"Hahaha, itu karena kau Zam"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of Love
RomanceWARNING!!! Cerita ini mengandung unsur Gay atau Homosexual. Namun, saya membuka cerita ini bagi siapa saja yang ingin membacanya, baik itu Homosexual, Bisexual maupun Heterosexual. Saya membuat cerita ini se-natural mungkin, menggambarkan kehidupan...