Plot A: Tryna be Straight

161 6 3
                                    

Seandainya lidah tiada kelu,
Bibir tak meragu,
Hati tak perlu malu,
Cukupkah agarku tak diam tergagu?

Ada barisan kata yang ingin menggerayangi pikirmu,
Yang sama, yang menghantui anganku.

Tapi ucapan mengeras membeku,
Aksaraku, loyo dan menjadi kaku,
Hingga namamu tak kunjung tersebut,
Rasaku, tak jua bersambut.

Biarlah,
selayaknya saja.
Huruf yang terangkai tentangmu,
Tak mampu sampaikan maksudku.

(Adiska Nuramaya dalam karyanya Frasa di Penghujung Musim)

•••

Zahra menatapku penuh minat, aku sedang menjelaskan deretan unsur-unsur periodik yang katanya susah ia mengerti. Aku menyadari satu hal, caranya menatapku sama seperti Ronnie menatapku, matanya fokus sambil menopang dagunya, sesekali mengagguk paham. Bedanya, debaran jantungku yang berdetak konstan.

Sejak saat ia menghampiriku di kantin beberapa waktu lalu, aku dan Zahra semakin akrab, dia sering memintaku mengajarinya mengerjakan soal-soal tryout Ujian Nasional di perpustakaan. Sikapnya sangat lembut dan anggun, wajahnya cantik dan teduh, kulitnya putih dan halus, tubuhnya langsing serta ukuran dadanya terlihat cukup besar. Tetap saja, hal itu tidak bisa memancing libidoku, saat berada didekatnya, yang kurasakan sama seperti saat bersama adik atau ibuku, atau mungkin seperti laki-laki normal dengan teman laki-lakinya.

Tapi aku telah bertekad untuk mengubah diriku menjadi normal, mencoba menjadi straight, seperti laki-laki pada umumnya. Langkah pertamaku adalah mendekati Zahra, aku percaya, lebih tepatnya berusaha mempercayai bahwa suatu saat aku bisa berubah, aku hanya perlu berusaha dengan keras.

Sedangkan Ronnie, aku sudah bisa untuk tidak selalu menyapanya, terbiasa untuk tidak memperhatikannya, dan sebisa mungkin mengabaikannya. Tapi entah kenapa semakin aku melakukan itu, perasaanku semakin besar kepadanya. Aku seperti pecandu akut yang sakau, berusaha untuk menjauhi zat adiktif yang sudah menggerogoti kepalaku.

Sikap Ronnie tidak berubah sama sekali, justru aku merasa dia semakin mejauhiku. Misalnya kemarin pagi, saat aku mengajak Zahra mengerjakan soal tryout dikelas dan ia tiba-tiba datang, langkahnya terhenti di ambang pintu dan berbalik keluar. Oh ya, Ronnie juga sudah tidak duduk di sebelahku, ia meminta Gufran bertukar kursi dengannya. Sejijik itu kah dia padaku? Terkadang tanpa kusadari air mataku mengalir saat memikirkannya.

"Zam? Apa yang kau pikirkan? Dari tadi kau melamun" ucap Zahra ditengah lamunanku.

"Oh, bukan hal yang penting,  sudah sampai dimana tadi?"

"Soal nomor 6, aku bingung dari mana asalnya angka ini?"

Selanjutnya kami larut dalam soal-soal.

Selang beberapa menit, bell jam pelajaran ke-3 berbunyi, aku mengambil bukuku dan bergegas ke kelas, begitupun dengan Zahra,

"Sampai jumpa nanti malam Zam" ucapnya,

"Iya, sampai jumpa"

Saat tiba di kelas, suasana sudah ramai, siswa-siswi sudah duduk di bangkunya masing-masing, termasuk Ronnie, tatapannya terpaku padaku, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Beberapa menit berlalu, guru Pendidikan Kewarganegaraan yang seharusnya mengisi pelajaran tak kunjung datang, tiba-tiba Ricky-ketua kelas berdiri membuat suasana menjadi hening,

Mystery of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang