Part.6 'Back'

50 7 0
                                    

"Lia pindah kemana, Bu?" tanya Arsya

"Saat kamu sakit, Lia juga sakit. Bibinya yang di Jakarta menjemputnya. Lalu minta ijin pada sekolah untuk membawa Lia ke Jakarta, agar Lia melanjutkan sekolahnya di sana. Sebentar ibu juga heran, kenapa kamu dan Lia bisa sakit barengan? Kalian kompak sekali. Sayang Lia harus kembali tinggal di Jakarta" jawab Bu Lena.

     Arsya enggan menjawab. Ia hanya mengangguk lalu permisi dari hadapan Bu Lena dengan perasaan berkecamuk. Lia pergi ke Jakarta. Pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan untuknya. Bahkan payung Lia masih ada padanya. Sepulang sekolah Arsya pergi ke rumah nenek Lia. Ia mengembalikan payung Lia yang dipinjamnya.

"Mengapa mendadak Lia pindah ke Jakarta, nek?" tanya Arsya pada nenek Lia.

"Menurut bibinya, Lia lebih sehat kalau tinggal di Jakarta. Di sana dekat jika harus berobat," jawab nenek Lia.

"Tapi di Bandung juga ada rumah sakit," sahut Arsya heran.

"Nenek juga tidak tahu. Bibinya Lia yang lebih paham," kata nenek Lia.

"Apakah nenek tau dimana alamat bibinya Lia?" tanya Arsya lagi.

     Nenek Lia menggeleng. Nenek Lia memang sudah terlalu tua. Sudah lama nenek Lia tidak pernah keluar kota Bandung. Sebulan sekali, bibi Lia datang menjenguknya. Tapi nenek Lia sudah bisa hidup sendiri. Di usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun, ia masih cukup sehat mengerjakan semua keperluannya sendiri. Apalagi tak jauh dari rumah nenek Lia, ada rumah tetangganya yang sewaktu-waktu bisa dimintai tolong jika ia butuh sesuatu.

     Arsya sangat kecewa. Ia tak bisa dapat informasi tentang Lia dari nenek Lia. Arsya tak tau harus mencari Lia dimana. Jakarta luas sekali. Bagaimana ia bisa menemukan Lia tanpa petunjuk sedikitpun dimana kira-kira Lia tinggal?

     Arsya menghela nafas panjang. Tiba-tiba saja hatinya terasa perih. Entah kapan ia bisa bertemu Lia lagi.

***

     Bagi remaja lain, masa-masa sekolah adalah masa yang paling menyenangkan. Mereka sudah semakin dewasa dan mulai saling tertarik antar lawan jenis. Seperti yang dialami sebagian besar teman Arsya. Rio naksir Zahra, Firza naksir Della, Steven naksir Najwa. Tapi bagi Arsya tak ada cewek yang menarik di sekolahnya. Walau banyak gadis yang sering memberinya perhatian lebih.

     Di dalam hati Arsya sampai saat ini hanya ada satu nama, Berliana. Arsya tak mungkin bisa melupakan sosok Lia. Seringkali Arsya sangat merindukan Lia. Walau awal hubungannya dengan Lia memang sering diwarnai perdebatan. Lia sebenarnya adalah cewek yang baik. Ia pasti hanya berpura-pura bersikap misterius dan sedikit jual mahal. Lia itu gadis yang unik. Dan hingga saat ini Arsya belum menemukan cewek lain yang seperti Lia.

     Setelah sekolah selesai, Arsya segera beranjak pulang, ditolaknya akan teman-temannya untuk bermain basket di lapangan sekolah. Ia segera menghampiri sepeda motornya.

     Arsya menjalankan motornya perlahan, hingga sesampainya di tengah jalan menuju rumahnya, perhatiannya terganggu oleh seseorang yang tampak berdiri di tengah jalan.

"Aneh. Untuk apa orang itu menghalangi jalan?" gumam Arsya.

     Arsya menjalankan motornya semakin dekat, sosok itu semakin jelas terlihat. Ternyata seorang gadis. Ia memakai rok berwarna putih sepanjang betis. Atasannya kaos berwarna kuning yang dipadukan dengan outwear berupa cropped jacket dari bahan katun berwarna coklat. Cewek itu terlihat cemerlang berada di tengah-tengah jalan yang kanan kirinya pepohonan hijau.

     Arsya semakin dekat dengan sosok itu. Kini berjarak dua meter. Tapi cewek itu tidak beranjak, masih saja berdiri di tengah jalan. Arsya menatapnya heran.

"Permisi " ucap Arsya.

     Gadis itu masih tidak bergerak, ia malah tersenyum lebar.

"Haii, Arsya," sapa cewek itu.

     Arsya tersentak heran, bagaimana cewek itu bisa tau namanya?

"Apa kabar, Arsya? Sudah lama kita tidak bertemu," lanjut cewek itu.

     Arsya memandangi cewek itu lebih teliti. Sepertinya ia mengenal sosok itu. Arsya menatap mata cewek itu, mata bulat bening yang persis sama dengan yang dilihatnya dulu. Seketika Arsya melongo tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Mata itu tak bisa dilupakan. Melekat kuat dalam memorinya, tidak hanya dalam kepalanya, tetapi juga di dalam hatinya.

BerlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang