Hujan masih enggan berhenti. Sekarang bahkan mulai disertai suara gemuruh. Tiba-tiba saja muncul kilat sangat terang membelah langit, disertai suara menggelegar. Suara itu mengejutkan Lia, tanpa sadar ia melompat ke depan Arsya, merapatkan tubuhnya di dada Arsya, seolah ingin bersembunyi di sana. Arsya tersentak, tak menduga sama sekali gerakan tiba-tiba Lia itu.
"Ah Lo masih aja takut sama petir ya?" ucap Arsya sambil tersenyum.
Ia mempererat pelukannya. Ia biarkan hangat tubuhnya menjalar ke tubuh Lia. Mereka tak bisa berteduh dibawah pohon karena petir masih saja datang bersusulan. Lia membenamkan wajahnya ke dada Arsya. Arsya tersenyum geli. Lia yang sebelumnya galak, kini terlihat bagai putri lemah yang butuh perlindungannya.
Lama mereka saling peluk di bawah hujan. Tubuh keduanya semakin dingin. Tapi Arsya merasakan tubuh Lia lebih dingin. Ia menyentuh pipi Lia, lalu memegangnya dengan kedua tangannya. Mata Lia terpejam. Wajahnya pucat sekali. Bibirnya semakin biru. Arsya dilanda panik.
"Lia Lo masih sadar, kan? Jangan pingsan di sini...." ucap Arsya cemas sambil sedikit mengguncang tubuh Lia.
Lia masih berdiri tegak, tapi tubuhnya mengigil hebat. Arsya segera merangkul Lia erat dan membawanya melangkah perlahan. Arsya merasakan tubuh Lia semakin lemah wajahnya semakin pucat. Entah mengapa Arsya berpikir untuk mencium bibir Lia, ia berharap itu akan membuat Lia merasa sedikit hangat. Dan kepuasannya tidak salah. Lia tersentak bangun saat merasakan ada kehangatan di bibirnya...
***
Arsya lega telah berhasil mengantarkan Lia sampai di rumah neneknya dan bersyukur Lia tidak pingsan di jalan. Lia terlihat tidak sehat, pasti karena kehujanan terlalu lama. Ia berharap Lia akan baik-baik saja.
"Besok aku akan datang menjengukmu," ucap Arsya sebelum ia beranjak dari rumah nenek Lia.
Lia hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya tak lepas memandangi sosok Arsya yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. Lia merasa tubuhnya lemah sekali. Kepalanya terasa berat. Ia menyentuh bibirnya dan tersenyum. Arsya telah membuatnya merasa hangat. Untuk sesaat, itu membuatnya lupa akan sakitnya.
Sementara Arsya setengah berlari menuju rumahnya. Ia juga merasa tubuhnya sedikit lemah. Kepalanya pusing sekali. Tapi ia masih sempat sampai di rumahnya, sebelum akhirnya terserang demam hebat yang membuat tubuhnya lemas tak bertenaga. Arsya demam selama tiga hari. Ia kesal pada dirinya sendiri karena tubuhnya yang lemah dan tak bisa diajak kompromi. Padahal dia sudah sangat merindukan Lia. Mengapa Lia tidak datang menjenguknya?
"Mah, apa Lia pernah datang ke sini buat jenguk Arsya?"
"Kemarin Lia datang kesini. Waktu itu kamu lagi tidur," jawab ibunya.
Arsya tersentak. Ia segera bangkit dan duduk.
"Kenapa mamah ga bangunin Arsya?"
"Kamu masih demam, dan baru aja minum obat. Gimana kamu bisa bangun?"
Arsya merasa sangat menyesal tak melihat Lia saat gadis itu menjenguknya. Sekarang Lia pasti sudah kembali ke Jakarta. Dan ia belum mencatat alamat Lia di Jakarta. Segera ia pergi menemui nenek Lia untuk menanyakan alamat Lia di Jakarta.
"Nenek tidak tau Lia tinggal dimana. Hanya tau ia tinggal di Jakarta dengen bibinya. Biasanya sebulan sekali Lia datang berkunjung ke sini," jawab nenek Lia saat Arsya menanyakan alamat Lia.
Arsya menahan amarahnya. Lia meninggalkannya lagi. Tanpa ucapan perpisahan dan pesan. Waktu kebersamaannya dengan Lia kemarin terasa begitu singkat. Ia tak mengerti mengapa Lia selalu begini. Meningkatkannya begitu saja tiap kali hubungan mereka mulai dekat.
"Berkali-kali kamu membuat ku sakit, Lia. Keterlaluan sekali kamu, Lia!" gumam Arsya.
Namun sudah berkali-kali dibuat kecewa oleh Lia, Arsya masih saja terus menanti kehadiran Lia. Sebulan sekali ia berjaga di jalan yang menuju rumah nenek Lia. Berharap ia bisa bertemu Lia lagi.
Tapi hingga lama kemudian, sampai akhirnya Arsya harus pergi dari Bandung melanjutkan pendidikannya ke universitas di Jakarta, Arsya tak pernah bertemu Lia lagi. Kenangan akan Lia hanya bisa disimpannya dalam hati. Dan Arsya tetap menyematkan harapan di hatinya, suatu hari nanti ia akan bertemu Lia lagi.
***
Lia merasa cemas saat ia berkunjung ke rumah Arsya yang ia dengar sakit cukup parah. Demamnya tinggi. Bahkan sempat tak sadarkan diri. Saat ini Arsya belum terbangun. Karena baru saja minum obat beberapa jam lalu. Lia menatap Arsya dengan pandangan iba dan penuh rasa penyesalan. Ia sedikit takut. Takut Arsya sakit gara-gara dia.
Ia ingat dengan jelas bagaimana Arsya menciumnya. Bahkan Lia masih ingat rasanya. Hangat dan lembut. Tapi jika gara-gara Arsya menciumnya lalu Arsya menjadi sakit. Dia tak akan maafkan dirinya sendiri. Walau ibunya Arsya bilang Arsya hanya sakit demam biasa karena kehujanan, tetapi Lia tetap saja merasa cemas. Walau dari artikel-artikel yang ia baca dan dari penjelasan dokternya, penyakitnya ini tak dapat menular melalui ciuman, Lia tetap merasa khawatir.
"Arsya, maafin aku. Aku gamau buat kamu menderita lagi. Tapi aku terpaksa harus pergi. Jika aku tetap bersamamu, aku takut akan membuatmu celaka. Kau tidak tahu betapa berbahayanya aku. Kita terpaksa harus berpisah," gumam Lia.
Air mata mulai terkumpul di pelupuk matanya. Siap mengalir sewaktu waktu. Lia segera pamit pulang. Ia tak menitipkan pesan apa-apa untuk Arsya. Ia hanya ikut mendoakan semoga Arsya cepat sembuh. Dan Lia tak berharap akan bertemu Arsya lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Berliana
RomanceKenapa hidup gue kayak gini, apa gue ga berhak untuk bahagia?Gue cape dengan kehidupan yang gue jalani sekarang -Berliana Sumpah gue penasaran banget sama cewe itu, ada apa sebenarnya sama dia?-Arsya