Basa Basi

273 57 10
                                    

"Hallo.. Selamat malam"
Kalimat itu bukan kata-kata yang rumit, kan? Ya, saya pikir juga begitu.
Walaupun tidak punya readers yang banyak, hahaa.. Ternyata rasa manusiawi terhadap saya akan selalu ada, dan memaksa diri untuk menyapa kalian walau cuma sebentar.

"Hai.. Bagaimana hari ini?"

Baiklah, sebelum masuk ke jalan cerita, izinkan saya untuk bicara sedikit, eh banyak maksudnya, eh tapi, alah tau ah..

Jadi, untuk bagian yang satu ini tidak akan terlalu banyak cerita yang bisa kalian baca, dan bisa di bilang bagian ini adalah forum curhat yang sengaja saya tulis karena kemauan saya sendiri, dengan kondisi sadar dan tidak ada paksaan dari luar juga pastinya.

Untuk yang pertama kalinya, saya ingin pastikan bahwa cerita receh ini adalah cerita yang bebas dan akan selalu bebas. Bagi yang berminat mari ikuti dengan penuh rasa sabar, dan bagi kalian yang merasa khilaf, cukup end, dan segeralah bertaubat. Ohiya satu lagi bagi yang suka, saya ingin mengingatkan kalau di pojok kiri bawah ada tanda bintang yang bisa di klik, juga kolom komentar yang siap kalian corat-coret sesuka hati, tapi kalau ternyata itu saja merepotkan yasudah tidak usah.

Sekian, happy reading..

***

Kolong Jembatan

"Kak Nik sudah baca surat ku?"
"Iya sudah"
"Kenapa kakak gak bales suratnya? Tulisan ku jelek ya?"
"Alya, kamu itu anak pintar, tulisan kamu juga bagus kok. Kakak nggak bales bukan karena,"

"Kak Niko itu nggak suka nulis. Biasanya, kalau lagi kangen dia lebih suka ngomong langsung" Ketus Aliya, yang kemudian membuat Alya bertanya-tanya, "Benar begitu kak?"

"Kakak juga kangen sama kamu" sambil mengelus rambut Alya, ucapan itu keluar dari mulut Nik.

Lalu bocah perempuan itu memeluk Nik sambil berkata, "Kata kak Aliya, kangen itu bukan untuk di ucapkan, tapi di peluk"

Aliya senang melihatnya, berharap Nik tidak perlu lagi kaku untuk menerima dunia yang sudah terlanjur merangkulnya, akhirnya Aliya memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka berdua menuju anak-anak lainnya yang sedang makan siang.

Selepas berpelukan Alya kembali bertanya, "Kak Niko bisa nyanyi?"

Niko tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya sebanyak dua kali.

"Bercerita mungkin?"

Nik kembali geleng-geleng mengisyaratkan kalau ia memang tidak punya cerita apa-apa.

"Kalau sulap?"
"Kakak bukan pesulap"
"Terus kakak bisanya apa?"

Niko tersipu mendengarnya, walaupun sempat bingung, akhirnya ia mencoba untuk menjawab, "Kakak bisa ajarin kamu melukis, kalau kamu mau"

"Wahh.. pasti kakak ini pelukis ya?"
"Bukan-bukan, kakak cuma hobi"
"Kata kak Aliya, diakui oleh dunia itu memang tidak perlu, tapi setiap kita harus tetap mengakui diri kita sebagai orang yang istimewa, setidaknya bagi diri kita sendiri"

Nik senang mendengarnya, bagaimana mungkin seorang anak kecil seperti Alya mampu membuat Niko tersenyum dengan kata-kata sesederhana itu? Kalau saja Aliya ada bersama mereka, pasti ia sangat senang melihat senyum itu.

Seolah tersentuh dengan kalimat itu, Nik yang selama ini tidak mau percaya akan apa-apa di dunia nyata, kini merasa sangat beruntung karena mendapati perlakuan sebaik ini oleh manusia bumi.

Selama ini ia terlalu banyak menghabiskan waktunya sendirian, itulah sebab semua keresahan yang tidak ia tau jawabannya justru tidak pernah bisa ia jawab sendiri. Itu sebabnya ia tersesat, dan itulah sebabnya ia hidup tanpa arah, karena jawaban yang selama ini ia cari sebenarnya tidak perlu di bayangkan tinggi-tinggi, tapi ia hanya butuh memperhatikan keadaan sekitar untuk bisa mendapatkan jawaban dari setiap keresahannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Buku (Chapter 4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang