Temaram

448 102 2
                                    

Menuju Bukit Moko Bandung.

Mesin mobilnya sudah mati, Arga juga sudah menyuruh Nik ikut turun dari mobil, tapi Nik memilih diam dan tidak mau turun sebelum Arga menjawab pertanyaannya.

"Ngapain berenti di sini? Kalo cuma perkampungan doang sih di Jakarta juga banyak!"
"Bukan, bukan ini men tempatnya, santai berader, tenang aja, gue bakal bawa lo ke tempat yang belum pernah ada di Jakarta. Udah gih.. turun-turun!"

Setelah menitipkan mobil di salah satu rumah warga, mereka memulai perjalanan menuju Bukit Moko dengan berjalan kaki. Memang terdengar cukup aneh, mengapa Arga memilih berjalan kaki? Padahal jelas-jelas ia tau kalau jaraknya masih sangat jauh, bahkan ia pun tau kalau sebenarnya mereka juga bisa sampai ke lokasi menggunakan mobil atau kendaraan yang lainnya.

Terletak di Desa Cimenyan, Bukit Moko menawarkan pesona keindahan alam dengan lanskap indah kota Bandung dari ketinggian. Berada di ketinggian 1500 meter dari permukaan laut, maka udara sejuk menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi saat berada di sana.

Nik sama sekali tidak tahu kemana arah dan tujuan langkahnya tersebut, karena memang ternyata Arga masih merahasiakan tempat yang pastinya sudah pernah ia kunjungi sebelumnya.

Sepanjang perjalanan cukup banyak kendaraan yang sebenarnya bisa mereka tumpangi, sebagai contohnya sudah dua kali pengendara mobil dengan bak terbuka, lalu tukang ojek yang selalu menyapa mereka, hingga angkutan umum yang lainnya pun sudah beberapa kali melipir untuk menawarkan tumpangan kepada mereka, namun Arga selalu menolaknya hanya karena ia ingin lebih berlama-lama di perjalanan supaya Niko bisa lebih tau banyak hal tentang keadaan tempat nan tidak pernah mereka temui di Jakarta.

Setelah berkali-kali terhenti dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih setengah jam, dengan keringat yang sudah bercucuran akhirnya Nik mulai menunjukkan kekesalalannya.

"Lo bilang jalanannya rusak, Oh.. jadi sekarang lo udah berani ngerjain gue?"
"Ya emang di depan jalannya rusak, lagian bentar lagi juga nyampe, ngeluh mulu lo, cemen bet jadi laki!"
"Heh! mau berapa kali lagi lo bilang bentar lagi nyampe bentar lagi nyampe? Sebenernya lo itu tau jalan gak sih?"
"Terakhir gue kesini tuh yaa 3 tahunan yang lalu, dan udah banyak banget kondisi yang berubah sama jalannya. Bentar bentar gue tanya dulu"

"Permisi mba, numpang tanya, ke Warung Daweung bener kan ya lewat jalan sini?"
"Ohiya a betul, ikuti jalan ini saja. Tapi punten a, sebaiknya si aa teh naik ojeg atau angkutan umum yang lain, soalnya tempatnya masih jauh pisan"
"Eh, yang bener tempatnya masih jauh?" Sambung Nik terkejut
"Atuh iya aa, coba lihat tuh di ujung sana, yang itu-tuh tempatnya"
"Ok, makasih ya mba, permisi" ucap Arga pada mbak-mbak pejalan kaki tersebut
"Sama-sama a, silahkan"

Arga kembali melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan Nik yang sedari tadi mengeluh kelelahan.

"Woy ngapain sih cari warung jauh-jauh? Dari tadi juga banyak tau ga di pinggir jalan!"

"Woy Ga!! Dasar Budeg!"

Dengan sangat terpaksa akhirnya Nik kembali membuntuti Arga dengan tangan kiri yang menekuk ke pinggang.

Setelah berjalan kaki selama hampir 2 jam akhirnya mereka sampai di hutan pinus. Nik yang sepanjang jalan memasang wajah kesal kini tampak lebih segar, matanya terpesona akan sajian pohon-pohon pinus yang berbaris rapi, dan beberapa di antaranya memiliki daun yang berwarna warni.

Sore hari memang menjadi waktu yang tepat untuk trekking di jalur hutan pinus Bukit Moko di mana suhu udaranya sangat sejuk dan mampu mengembalikan semangat mereka untuk melanjutkan perjalanan ke Warung Daweung tempat yang mereka tuju.

"Udah ayo jalan lagi"
"Emang belom nyampe ya? Gue kira emang ini tempatnya?"
"Dikit lagi"
"Tapi Ga, disini juga asyik kok tempatnya, udah lah disini aja"
"Emangnya lo gamau liat sunset dari puncak? Liat noh rame-rame orang itu pada ngejar sunset, dah buru"
"Sunset?"

Buku (Chapter 4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang