Hendra(?)(!)

108 11 0
                                    

"bukan tentang hakikat sebuah rasa
Bukan juga hakikat sebuah cinta
Melainkan hakikat sebuah kasih sayang"(i)

    
    Rintikan air hujan terdengar sayup sayup oleh gendang telinga, burung burung meringkuk di sarangnya masing masing membuat tubuh mereka hangat sehangat hangatnya.

Bunga bunga yang telah bermekaran basah oleh gerimis yang tak di undang.
Daun daun yang menghijau mulai melengkung dengan beban genangan air di permukaannya.
Semua makhluk hidup  seakan akan berusaha melindungi diri mereka dari udara dingin yang seakan akan menusuk tulang rusuk.

Namun lain dengan Miya, bukannya berlindung dibawah selimut Kumal ataupun meringkuk di pengungsian dia malah memilih menyusuri pemakaman massal yang menimbun jasad Reza,ibu,dan juga ayahnya. Semua yang dia miliki hilang tertelan gulungan ombak jadi untuk apa gunanya dia berlindung dibawah gumpalan selimut sedangkan hati dan batinnya lebih tersiksa ketimbang tubuhnya.

Langkah kaki Miya terhenti didepan gundukan tanah tanpa patok nisan, Miya manaburkan segenggam bunga mawar yang ada ditangannya dengan sendu, Miya bersimpuh seraya menundukkan kepalanya. Setetes air mata yang mengkristal mengalir dikedua permukaan pipinya.
Betapa pedihnya hati Miya setelah mengetahui kepergian Reza, lelaki yang paling dia sayangi setelah ayahnya yang juga pergi bersama ombak petaka.

"Kenapa kau ambil semua orang yang ku sayangi ya Allah" Miya menatap tajam kearah langit yang mengelabu oleh gumpalan awan mendung.
"Kenapa kau ambil mereka semua ya kalau, aku tidak pernah meminta hal yang berlebihan, aku tidak pernah berharap hal yang melanggar aturannya tapi mengapa kau mengambil orang orang yang menghidupkan jalannya hakikat hidupku?" Mata Miya masih menatap tajam kearah langit.

  Dalam hati Miya merasa kecewa sekaligus sedih atas kewenangan tuhan yang telah mengambil orang yang dia sayangi.
Tapi...Hey!!! Jangan salahkan tuhan, dia yang maha Pencipta jadi dia berhak memanggil kembali ciptaanya kapan saja,baik sekarang, hari ini, ataupun besok itu hak dia.
Namun, hati Miya terlalu berkelambu kesedihan sehingga dia tidak bisa meminang perkataanya yang terlontar dengan mudahnya. Padahal kata katanya itu seakan akan telah menggetarkan tujuh langit.

Dari kejauhan Hendra berjalan mendekati Miya yang masih bersimpuh didepan gundukan tanah dengan langkah yang ragu.
Dalam hati Hendra merasa iba dan kasihan melihat Miya yang sejak kemarin tidak berbicara dan hanya berjalan tak tentu tujuan.
"Assalamualaikum" Hendra mengucapkan salam dengan lembut.
Miya masih bersimpuh sembari menunduk, jangankan menjawab bergeming saja tidak.
"Assalamualaikum Miya" sekali lagi Hendra melantunkan salam dengan nada yang penuh kelembutan.

   Hendra menyergitkan keningnya dengan bingung, tidak biasanya Miya mengabaikan dalamnya, memang selama ini Miya selalu ketus namun jika dia menyapa dengan salam Miya masih menjawabnya walau dengan nada yang kurang mengenakkan digendang telinga siapa saja.
"Miya...." Tangan Hendra menyentuh bahu Miya dengan ragu.

Brughhh...

Tubuh Miya jatuh kedepannya dengan begitu saja, tentu saja hal tersebut membuat Hendra berlonjak kaget bukan main.
"Astagfirullahalazim....Miya!!!" Hendra memangku Miya lalu mencoba menepuk lembut pipi Miya barangkali dia membuka sedikit kelopak matanya.
"Miya...." Hendra menggoyangkan tubuh Miya namun nihil, Miya masih memejamkan matanya.

Setelah untuk ketiga kalinya Miya tak kunjung membuka matanya dengan sigap Hendra menggendong Miya menuju posko pengungsian.

Gelombang Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang