Duka Pesisir

62 6 0
                                    

  Hari silih berganti, bulan silih berganti mengikuti alur waktu yang terus berjalan dengan kehendak sang kuasa. 1 tahun sudah Miya dan Hendra menjalin kehidupan rumah tangga dengan cukup baik. Mereka berdua masih tinggal dirumah yang sama mengingat kondisi ustad Jam'i yang semakin hari termakan oleh usia. Berjalannya sekarangpun harus dibantu oleh sebuah tongkat kayu yang senantiasa menemaninya melangkah. Sementara Itu sampai saat ini Miya belum menunjukan tanda tanda kalau dia mengandung. Walaupun begitu Hendra selalu bersabar dan senantiasa berdoa kepada illahi agar menganugerahkan seorang anak kepadanya. Tiada henti Hendra mengarahkan kedua tangannya guna memohon bantuan dan pertolongan kepada sang khaliq. Desas desus gosip mulai bermunculan dari mulut ke mulut, banyak warga yang mengatakan kalau Miya tidak akan bisa menghasilkan anak atau biasa disebut perempuan mandul. Ketika berita itu sampai ketelinga Miya, tentu saja hal itu membuat Miya begitu terpukul. Dia merasa tidak berguna bagi Hendra karena tidak bisa memberikan anak seperti yang diharapkan oleh seorang suami pada umumnya. Miya duduk dibawah pohon nyiur yang tengah melambai mengikuti alunan sang Bayu dengan sendu. Sebatang ranting kayu terganggam erat ditangannya, hatinya begitu gelisah tidak ada senyuman secuitpun yang terulas diwajah cantik Miya hari ini. Hanya murung dan wajah masam yang terulas disana, mulut terasa malas untuk berbicara, terasa malas untuk memasukkan sebutir nasipun kedalam kerongkongan. Semua rasa lapar dan dahaganya seakan akan tertelan oleh kegelisahan yang tengah melanda hatinya saat ini. Mata kecoklatannya menatap langit biru berhias sinar sang Batara Surya dan gumpalan awan putih yang begitu mempesona ketika dipandang. Suara desiran halus ombak pantai membuat suasana menjadi semakin tentram dan sejuk. Didalam hati Miya bertanya tanya mengapa nasib sedemikian rupa , apakah belum cukup rasa latanya dengan kepergian Reza hingga kini dia diberi cobaan sedemikian rupa. Yang ada dipikiran Miya saat ini adalah betapa Tuhan sangat membencinya sampai memberikannya cobaan yang berat. Miya ingat kalau Tuhan memberikan cobaan sesuai kemampuan setiap manusia tersebut. Yang diingat Miya saat ini hanyalah rasa keputus asaan dan rasa gelisah. Ini adalah untuk kedua kalinya Miya mengeluh dengan alasan yang sama kepada sang kuasa. Dulu waktu dia kehilangan Reza dia juga berpikir apakah tuhan begitu membencinya hingga memupuskan kebahagian terbaiknya. Selalu begitu, entah sampai kapan Miya akan berpikiran demikian. Apakah Hijab yang dia kenakan itu belum bisa mengubah seluruh sifat buruknya.

  Disisi lain Hendra berkeliling didalam rumah mencari sosok istrinya. Kakinya melangkah kesegala penjuru rumah dengan sedikit cemas, mengingat hari ini istrinya sedang sakit.
"Abi....., " Hendra lanhsung menyalimi tangan Ustad Jam'i yang baru saja kembali dari masjid.
"Kenapa kamu keliatan cemas Hen?" Ustad Jam'i menatap Hendra dengan bingung.
"Abi liat Miya tidak? Dia lagi sakit kok gak ada dirumah ya?" Hendra masih memasang wajah cemasnya.
"Loh kok bisa.... Yasudah kamu cari dulu sana.... Abi jadi cemas karena gosip warga saat ini" Ustad Jam'i duduk di kursi dengan perlahan lalu menaruh tingkat kayunya.
Setelah berpamitan Hendra segera melangkahkan kakinya untuk mencari istrinya itu. Kekawatiran menggelantung didalam pikirannya, jantungnya terus berdebar debat takut hal yang tidak dia inginkan terjadi pada Miya. Yang Hendra takutkan adalah bagaimana kalau sampai Miya melakukan hal yang dilakukan oleh Aisyah karena masalah desas desus gosip warga setempat.
"Astagfirullah Miya kamu dimana sih?" Hendra mulai berjalan menyusuri pesisir pantai Dengan langkah cepat.
Miya kini telah berdiri diatas batu karang sembari menatap air pantai yang terlihat teramat jernih, air mata menitik dari pelupuk matanya. Hatinya benar benar hancur, Miya sekarang merasa kalau dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak ada gunanya dia untuk tetap hidup karena dia tidak bisa memberi kebahagiaan kepada Hendra itulah yang ada didalam pikiran Miya saat ini.
"Hiks.....maafin aku Hen....." Miya mulai melangkah maju, tebing karang yang curam itu terlihat begitu mengerikan ditambah lagi oleh ombak yang terlihat sedikit deras di bawah sana.
Kebetulan bulan ini adalah bulan dimana laut akan mengalami fase pasang yang tentunya daerah di bebatuan karang itu akan sangat deras ombaknya.
Dikejauhan Hendra yang melihat Miya berada diujung tebing langsung berlari sekuat mungkin menghampiri Miya yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara tidak terpuji itu. Hendra berlari sekuat mungkin lalu menarik Miya sebelum kakinya sempat terpeleset keujung tebing. Hendra memeluk tubuh Miya dengan erat, tak terasa air mata telah menderai dipermukaan pipinya.
"Kenapa kamu mau ngelakuin itu ya?" Hendra menatap Miya lekat lekat.
"Aku udah gak berguna lagi Hen.... Aku gak bisa ngasih apa apa buat kamu" Miya menunduk sayu.
Sesaat kemudian Miya melepas pelukan Hendra lalu menatap kedua mata Hendra.
"Biarin aku nyusul bang Reza aja...." Hendra langsung kembali memeluk Miya dengan erat.
Hendra mengelus kepala Miya dengan lembut, dia mencium kening Miya berkali kali sembari menyakinkan kalau semua yang dikatakan oleh warga itu adalah gosip belaka. Bagaimana mungkin Hendra membiarkan orang yang sangat dia cintai itu pergi meninggalkannya begitu saja.
"Demi Allah Miya kalau memang benar gosip itu benar aku gak bakal berubah... " Hendra menggenggam tangan Miya erat erat mencoba memastikan Miya yang saat ini masih diselimuti kekecewaan.
"Sekarang pulang ya...... Jangan dengerin gosipan warga lagi.... Kamu cukup diam dirumah aja.... " Hendra membantu Miya untuk bangkit lalu menuntunnya pulang.

Gelombang Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang