Sembilan

2.1K 173 12
                                    


Mimpi itu selalu saja terulang,  Ucapan mereka yang selama ini dia abaikan sekarang muncul. Pria itu yang selalu membohongi dirinya, Hinata abaikan. Tapi mengapa sekarang Hinata merasa menyesal karena seolah-olah tidak tahu.

Selalu tersenyum menanggapi mereka. Ada Naruto disampingnya setidaknya tidak apa jika dirinya selalu dihujat. Karena Naruto sendiri yang pada saat itu tidak ingin mengakhiri hubungan itu.

Tapi mengapa Pria itu tidak pernah menolongnya saat dirinya di bully. Pura-pura tidak saling mengenal dan menganggap ia orang asing. Bolehkah Hinata egois untuk terus mempertahankan hubungan ini?

Harapan Hinata, seandainya hubungan ini terus berlanjut akankah dirinya bisa dicintai oleh pria yang dicintainya?

Hinata saat ini sedang tertidur ditemani Naruto dan juga seluruh anggota keluarga Hyuga. Ia hampir saja mencoba melakukan bunuh diri dengan lari keatap rumah sakit. Jika bukan karena Naruto yang dengan sigap menahannya agar tidak loncat dan juga Toneri yang langsung menyuntik Hinata dengan bius mungkin Hinata sudah menyusul anaknya itu.

Flashback

Di taman yang sunyi ini, Naruto memenuhi permintaannya untuk datang.  Mengirim pesan online, saat ini jaman sudah canggih dimana surat tidak diperlukan lagi.

Mengatur napas agar dirinya tidak pingsan saat mengutarakan perasaannya.

"Naruto-kun daisuki" Hinata sudah menyiapkan mental untuk mengatakan kalimat simple ini namun memiliki banyak makna.

Merasa tidak ada respon dari Naruto, Hinata sudah mulai pesismis. Mana mungkin Naruto juga menyukainya. Pasti aku dianggap perempuan aneh.

"Apakah jika aku mengatakan hal yang sama seperti itu kita jadian?" Naruto melangkah mendekati Hinata matanya menyelusuri wajah Hinata.

"iiya" jawab Hinata gugup.

"Baiklah kita jadian" Naruto pun berlalu pergi meninggalkan Hinata yang berdiam kaku.

Merasa Naruto sudah tidak terlihat ditaman seketika itu juga ia berjerit kegirangan. Tidak ada orang disini selain dirinya dikarenakan jam sekolah telah usai satu jam yang lalu.

Hinata pun pulang dengan rasa bahagianya. Sesampainya dirumah kebahagiaan itu pun hilang setelah mendengar percakapan orang tuanya dengan Neji.

"Tou-san aku tidak ingin dijodohkan dengan Tenten. " Ujar Neji sedikit merengek. Dirinya tidak ingin dijodohkan karena dia masih ingin fokus kuliah.

"Neji berpikirlah dewasa!" tegas sang ayah. "Kau tidak kasihan dengan adik mu jika perusahaan kita bangkrut? Bagaimana dengan pengobatan Hinata? Uang dari mana lagi kita dan saat Hinata operasi apakah nanti saat itu kita memiliki uangnya? hutang perusahaan kita begitu besar Neji." jelas sang ayah. Hinata yang mendengar itu menjadi tidak tega dengan kakaknya yang harus menanggung beban.

"Aku berharap dia mati"

Degg

Suara Neji yang penuh dengan kebencian.

Hinata tau dirinya salah, seharusnya dia tidak hadir dalam keluarga ini dengan keadaan cacat. Selama ini orang tuanya hanya fokus pada dirinya tidak pada yang lain.

Kasih sayang mereka telah Hinata renggut. Tapi Hinata sadar itu bukanlah kasih sayang tapi hanya rasa kasihan. Sering kali orang tuanya mengeluh Karena biaya pengobatan Hinata yang makin hari makin membengkak.

"Neji jaga ucapan mu! Jika Hinata mendengar bagaimana?" bahkan ayahnya tidak membantah ucapan Neji, dia malah khawatir jika Hinata mendengar ucapannya itu. Memang mengapa jika dirinya dengar?

HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang