Diruangan yang serba putih ini hanya ada kasur dan lemari. Jendela pun dibuat sangat tinggi. Hinata sedang mengelus perutnya dengan sayang seolah masih ada kehidupan didalam sana. Saat ini Hinata belum juga tersenyum maupun tertawa entah apa yang membuat ia seperti itu. Menurut dokter yang merawat Hinata ia bilang bahwa Hinata takut senyumnya akan membuat anaknya pergi karena Hinata selalu teriak seperti itu pada awal masuk.Saat pertama kali Hinata masuk keruangan ini tubuh Hinata diikat dan terus diberikan obat bius. Sudah berapa kali ia mencoba melakukan bunuh diri. Tapi semenjak Hinata sudah mulai ingin berbicara dia sudah tidak ada niatan untuk bunuh diri hanya saja ia seperti mayat hidup.
Kiba orang yang pertama kali ia ajak bicara, tidak ada kisah suram antara mereka dan itu membuat Hinata merasa aman jika bercerita dengan Kiba.
"Hinata makanlah" Kiba menyuapkan sendok pada Hinata. "Bukankah ini kesukaan mu? Kari ini sungguh enak lho. Kau ingat ini makanan yang pertama kali kita makan bersama dan itu buatan ku" Kiba berusaha membuat Hinata mengingat kenangan bahagia agar Hinata bisa melupakan kenangan buruknya.
Hinata yang mendengar itu langsung membuka mulutnya. Mengunyah dengan perlahan rasa kari itu mengalir di tenggorokan nya. Hinata mengingat saat pertama kali ia mengenal Kiba dan itu karena kari ini.
"Terimakasih" ujar Hinata yang membuat Kiba tersenyum.
"Kau janganlah disini terus Kiba" ujar Hinata masih mengelus perutnya dan menatap pada perutnya.
"Hinata sudah berapa kali ku bilang, aku tidak akan meninggalkan mu" Kiba berusaha berkata selembut mungkin walau sebenarnya ia geram pada Hinata.
"Maaf selalu membuat mu menunggu ku, aku merasa tidak pantas jika harus bersama mu. Walau pada kenyataan nya aku ingin membuka lembaran baru bersama mu tapi aku yakin ada perempuan lain yang juga sedang menunggu mu untuk membuat kisah baru. Aku takut kau hanya akan menjadi pelampiasan ku saja karena saat ini perasaan ku pada dia masih sama" Kiba sudah mendengar hal ini berulang kali.
"Aku tidak akan memaksa mu untuk bersama ku dan kau juga tidak seharusnya memaksa ku untuk meninggalkan mu" Hinata yang mendengar itu menitikan air mata.
"Seharusnya aku belajar dari mu tentang hal seperti itu hiks... aku mencintai dia bahkan saat aku sudah dianggap seperti orang gila aku masih mencintai dia, apa aku salah jika mencintai dia hiks..." dada Kiba seperti teriris perih rasa nya mendengar perempuan yang kita cintai masih mencintai orang lain terlebih lagi orang itu yang telah membuat Hinata terluka.
"apakah aku perempuan yang egois?" tanya Hinata yang membuat Kiba bungkam. Menurut Kiba cinta Naruto dan Hinata tidaklah salah hanya cara mereka menyampaikannya saja yang salah.
"Apa aku gadis yang cengeng ? Aku takut Kiba aku takut.... Bahkan pria itu melarang aku menangis tapi saat aku mencoba untuk menahannya disini sakit" Hinata menunjuk dimana letak hatinya. "Ku kira dengan menggores beberapa luka disini akan menghilangkan rasa sakit ku" Hinata menggulung lengan bajunya, menunjukan bekas luka dilengannya.
"Tapi kalian malah mengikat ku dan menyuntik sesuatu pada tubuhku... Aku harus bagaimana hiks... Apa memang pada dasarnya aku cengeng? Lihat aku menangis lagi bukan?" Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Kiba mendekat pada Hinata ia ingin memeluknya tapi dengan segera Hinata tepis tangan Kiba.
"Maaf Kiba aku masih status istri pria itu terakhir kali ia melihat ku berpelukan dengan Toneri lalu ia marah besar" Seketika Hinata membulatkan matanya ketika mengingat hal itu. Wajah Naruto yang sedang marah membuat ia takut.Hinata pun memeluk perutnya dengan erat kakinya ia tendang pada kasur berulang kali. Ia menangis sekuat-kuatnya seperti orang gila. Suara Hinata menggema pada ruangan ini yang pada dasarnya kedap suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan
Teen Fiction[naruhina] Terkadang cinta membuat kita egois, bodoh dan mudah dipermainkan dengan nama atas cinta. Tapi saat kita menemukan cinta yang baru saat itu juga kita harus menghilangkan ego kita.