Aku menatap aula sekolah yang sudah di penuhi banyak siswa dan siswi, kebanyakkan dari mereka terlihat bahagia, berselfi ria sebelum semuanya benar-benar berakhir dan semuanya benar-benar harus berpisah. Aku menghembuskan napas pelan, menahan sesak di dada, selain harus kehilangan sahabat-sahabatku dalam waktu dekat, aku juga harus kehilangan orang yang begitu aku cintai.
Aku duduk bersebelahan dengan Mama, dari tadi aku tak melihat Dito, mungkin dia sedang sibuk dengan anggota tim basketnya, aku berusaha mengerti walau yang aku harapkan adalah menghabiskan hari terakhir ini dengan dirinya, mengeluarkan segala perasaan yang bergejolak di dada dan menangis ketika takdir harus memisahkan kita berdua.
Tadi pagi aku sempat bertegur sapa dengan teman-teman sekelasku, itu begitu menyedihkan ketika kita telah nyaman berada pada suatu lingkungan yang sama tetapi akhirnya di pisahkan karena semuanya telah selesai, selamat datang kehidupan yang sesungguhnya, semoga engkau tak mengecewakan apa lagi menyakitkan.
Beberapa menit kemudian kepala sekolah datang memberikan kata sambutan dan mengungkapkan bahwa dia sedih harus kehilangan kita semua, semoga di kemudian hari Allah SWT akan berkehendak menyatukan kami kembali dalam keadaan yang sebaik-baiknya, aku meng'aamiinkannya dalam hati.
Acara selanjutnya adalah pengumuman mengenai nama-nama orang yang memperoleh nilai tertinggi. Aku tidak berharap banyak karena aku yakin bahwa Dito orang yang memperoleh nilai tertinggi tersebut.
"Peringkat tiga diberikan kepada Hani."
"Peringkat kedua diberikan kepada Dito." Aku melebarkan mata dan menggeleng tidak mungkin, mengapa perkiraanku meleset? Seharusnya Dito berada di posisi pertama bukan posisi kedua, lantas siapakah orang yang mengalahkan kepintaran Dito? Aku yakin orang itu sangat pintar.
"Dan peringkat pertama diberikan kepada Zana." Aku mematung seketika, tidak mungkin, ini pasti salah, aku pasti salah dengar, bagaimana bisa?
Mendengar namaku yang di sebutkan Mama sontak berteriak histeris, sedangkan aku mematung bagaikan patung, sekarang aku dapat melihat Dito, semua nama-nama yang di sebutkan di panggil ke panggung, Dito tersenyum, senyuman itu lagi, senyuman itu sungguh membuatku enggan untuk melepaskannya.
"Zan cepet ke panggung." Mama menyengol tanganku, aku cepat-cepat mengangguk, dengan kaki gemetar, akhirnya aku sampai di panggung, menatap teman-temanku yang sebentar lagi tak bisa lagi aku lihat, rasanya begitu menyesakkan.
***
Aku menatap orang-orang yang berlalu lalang kesana kemari, kami sedang berada di rooftop sebuah bangunan kosong yang di tinggalkan begitu saja, mungkin menurut orang lain bangunan ini begitu menyeramkan tetapi menurutku ini adalah tempat yang menyenangkan, aku suka sepi, aku suka hening semua itu bisa menenangkanku.
Tadi siang setelah acara kelulusan sekaligus perpisahan selesai, aku meminta izin pada Mama, menghabiskan waktu bersama Dito untuk yang terakhir kalinya, awalnya Mama tidak mengizinkan. "Jangan buat diri kamu lebih susah untuk melupakannya." Katanya, aku menggeleng aku pasti akan bisa melupakannya tetapi tidak untuk sekarang, lagi pula aku sudah besar sudah lulus SMA dan aku tidak akan melakukan hal-hal yang konyol seperti mencoba kabur dengan Dito, aku masih cukup waras untuk tidak melakukan itu.
"Kenapa diem aja Zan, kamu sakit?" Dito bertanya, air mukanya terlihat khawatir.
"Aku nggak nyangka aja, kalo aku bisa jadi peringkat pertama, apalagi aku ngalahin kamu." Aku beralasan, sebenarnya aku sedang berpikiran tentang hal itu, aku memikirkan dari mana aku harus memulainya, dari mana aku harus memberi tahukannya bahwa aku telah di jodohkan dan sebulan lagi akan menikah, sebulan bukan waktu yang lama, waktu itu mengalir, tak akan terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.