Suatu hari aku pernah menyesali hidup saat teman-temanku yang lain bisa memasukkan bola basket ke ring pada saat pelajaran olah raga, sedangkan aku tidak. Entah karena tubuhku pendek atau karena aku tak berbakat, hingga sekarang aku belum juga bisa melakukannya, membuat nilaiku kosong pada materi basket. Tetapi dari Dito aku belajar banyak hal, bahwa kekurangan itu bukan untuk di ratapi, kekurangan itu untuk di perbaiki, aku tersenyum mengingat kenangan lama itu, aku menyuapkan bakso ke mulut, kami sedang berada di salah satu cafe yang sering kami kunjungi, sebelum aku meninggalnya, Dito berbicara panjang lebar padaku, menasehati, menceramahi hingga memotivasi, aku bahagia, aku berusaha untuk terus tersenyum, sebenarnya aku sedang menahan tangis, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan pria seperti dia? Bahkan dia terlihat sempurna di mataku.
Jam masih menunjuk pukul 4 sore, Dito membawaku ke suatu taman bunga dandelion, aku suka dandelion, benar yang pernah Dito katakan padaku, bahwa setiap benih dandelion yang kita terbangkan akan memberikan kehidupan untuk bunga dandelion lainnya.
Dito terlihat bahagia, dia banyak meniup bunga dandelion, membuat benihnya menyebar, berharap suatu hari ketika kita saling rindu benih itu sudah jadi bunga dandelion.
Tak terasa kita menghabiskan waktu hampir satu jam di sana, berlarian kesana kemari, merasakan kebebasan yang terbatas di batas waktu perpisahan, aku dan Dito tertawa bersama, aku akan berusaha ikhlas dengan semua ini.
Rintikan hujan mulai membasahi bumi, aku menatapnya ke langit, wajahku basah oleh air hujan, itu lebih baik dari pada wajahku yang di basahi air mata.
Seperti tidak mengenal lelah aku dan Dito masih berlarian, meski hujan membuatku kedinginan, asalkan ada Dito di sampingku, aku bisa kuat.
"Kamu tahu Zan, aku sangat mencintaimu." Gumam Dito dia duduk di sampingku, terlihat kelelahan.
Aku menoleh, tersenyum melihat wajah tampannya. "Aku juga Dit." Aku menjawabku, suaraku terdengar parau, selalu saja saat membahas topik ini rasanya hatiku sakit sekali, aku kembali menangis.
"Hey jangan nangis Zan." Dito menatapku, sulit sekali untuk tidak menangis. "Aku nggak suka liat perempuan yang aku cintai nangis kayak gitu."
Aku menyerka air mataku, walau pada akhirnya air mata itu tetap menetes, sulit untuk di hentikan. "Kenapa takdir jahat banget sama kita ya Dit." Aku bergumam. Saat itu baju kita sama-sama basah kuyup tetapi hati kita menghangat.
Dito tersenyum, senyuman yang sangat tulus sekali hingga aku tak mau mengalihkan pandanganku. "Semua yang terjadi hari ini adalah yang terbaik untuk kita, kita harus sama-sama percaya suatu hari kita akan di pertemukan kembali, walau kita sudah mendapatkan jalan kehidupan yang berbeda."
Aku kembali menangis, semakin banyak aku membuat kenangan dengannya semakin sulit juga aku melupakannya, mungkin ini sudah cukup untuk membangun kenangan yang mungkin bisa kita kenang saat sama-sama rindu. "Pulang yuk Dit." Aku berujar, jam sudah menunjukkan pukul 18.00 matahari telah pulang bergantikan gelap malam.
"Ayo."
Aku dan Dito berjalan beriringan, sesekali kami tertawa bersama, tak ada beban. Seperti lupa hari ini adalah hari terakhir untuk bersama.
***
Dengan berat hati aku turun dari sepeda motornya, sedari tadi aku hanya diam, tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata apapun, ini adalah yang terakhir kalinya dan aku hanya bisa menikmatinya, tak bisa memperjuangkannya, aku merasa tak berdaya.
"Makasih Dit."
"Sama-sama Zan, masuk gih udah malem." Aku mengangguk, menyeret langkah beratku untuk segera masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.