Delapan

2K 88 0
                                    

Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa Hilman menyiapkan hadiah yang sangat spesial untuk pernikahan kami, usia pernikahan kami menginjak 7 hari, karena Hilman bukan orang Bandung, jadi untuk sementara kami tinggal di rumah mama, rasanya tak nyaman menyatukan dua keluarga dalam satu rumah, rasanya tidak bebas.

Hari ini aku hendak menyiapkan sarapan untuk Hilman seperti biasanya, tetapi dia menahanku untuk turun ke dapur, ada yang ingin dia bicarakan katanya, aku menurut, mengurungkan niatku untuk turun kedapur.

"Hari ini kita sarapan di luar saja."

"Kenapa? Masakkan aku nggak enak ya? Kamu nggak suka?" Aku bertanya, khawatir jika masakkan yang aku buat tidak enak, aku baru belajar memasak, sebenarnya sejak SMP dulu mama selalu mengingatkan untuk belajar memasak, tetapi saat itu aku malas sekali, menanggap bahwa semua itu belum terlalu penting, masih lama aku merasakan itu semua.

"Aku suka kok, apapun yang kamu masak aku pasti akan suka." Hilman mencubit pipiku lembut, senyuman manisnya kembali dia berikan.

"Terus kenapa kamu ngajak aku makan diluar kalo kamu suka masakkan aku?" Aku harap-harap cemas menunggu jawabannya, tetapi dia malah mengusap kepalaku, senyum, aku mulai terbiasa menatap wajahnya yang semakin terlihat tampan jika dia tersenyum.

"Kamu mandi, siap-siap." Hilman mengecup keningku begitu lama, itu adalah kebiasaan barunya akhir-akhir ini. "Aku mencintaimu Zana." Dia tersenyum, segera melangkah pergi dari kamar, aku baru menyadari bahwa Hilman sudah rapi dengan kemeja biru yang dia gunakan.

Drett

Aku tersadar dari lamunan saat handphoneku berdering, segera ku bawa handphoneku yang kusimpan di atas nakas.

Suamiku

Jangan melamun, cepat mandi. Aku menunggumu di ruang keluarga.

Tak membalas pesan dari Hilman, segera kulemparkan handphoneku, memasukki kamar mandi, mandi dengan secepat kilat.

***

"Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?" Aku bertanya, sudah 30 menit mobil yang aku tumpangi berjalan, namun Hilman tak juga menghentikan mobilnya, sarapan saja sejauh ini? Sarapan nasi goreng pak Erik di depan komplek bisa kan? Atau bubur ayam pak Eko yang bersebelahan dengan gerobak pak Erik. Kenapa meski jauh-jauh seperti ini.

Belum sempat pertanyaan di pikiranku terjawabkan, Hilman sudah menghentikan mobilnya di depan suatu rumah sederhana, namun dengan cat berwarna putih dan abu membuat rumah itu justru terlihat indah, di halaman depannya terdapat dua pohon besar dan di sisi lainnya banyak bunga yang tumbuh.

"Ayo turun Zana." Hilman memecahkan lamunanku, beranjak lebih dulu membuka pintu mobil, melangkah menuju rumah itu, tak mau tertinggal aku segera mengikuti langkahnya.

"Ini rumah siapa?" Aku bertanya penasaran, dia tidak menjawab, senyumannya merekah, mengengam tangan kananku, membawa masuk kedalam rumah. "Hilman kamu belum jawab pertanyaan aku." Aku mengingatkan, dia masih belum menjawabku, membuat aku kesal sendiri.

Hening seketika, hanya ada suara derap langkah yang beraturan, Hilman menghentikan langkahnya, tempat di salah ruangan yang berisi banyak buku di dalamnya, mataku melebar, aku selalu tertarik apapun yang berbau dengan tulisan, buku, karangan.

"Selamat datang di rumah kita, Zana."

"Hah?" Aku bertanya polos, seperti tak mendengar atau tak mengerti maksud dari ucapan Hilman, ini sungguhan? Aku tidak sedang bermimpikan? Ku lepaskan gengaman tangan kanakku dari Hilman, kemudian mencubit kedua pipinku sendiri dengan kencang. "Ah." Aku kesakitan, benarkah ini bukan mimpi?

Ketika Cinta MemilihmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang