Senin pagi, meski pekerjaan Hilman tidak menuntutnya untuk pergi ke kantor seperti yang lainnya. Akan tetapi, dia di haruskan fokus dengan tulisannya, karena aku tidak mau menganggunya, alhasil di sinilah aku sekarang, dari kejauhan beberapa meter, memperhatikan lelaki yang kini menjadi suamiku itu dengan senyuman yang begitu merekah. Sungguh aku sangat bahagia, tetapi di balik semua itu, aku tidak bisa melarang sebuah perasaan gelisah yang datang secara tiba-tiba. Aku tidak bisa egois dengan tidak memperdulikan perasaannya.
Dito, bagaimana dengan kabar hatinya sekarang?
Aku tahu, aku salah jika memikirkannya sedangkan aku sudah menjadi milik Hilman, akan tetapi setiap malam tiba, setiap aku menjatuhkan cintaku lebih dalam pada Hilman, wajah Dito selalu terbayang, senyumnya, suaranya, petuahnya dan yang paling tidak bisa aku lupakan adalah bagaimana dia ikhlas melepasku, dia melepaskan kebahagiannya dengan senyuman yang membuat siapa saja yang melihatnya, akan tahu bahwa Dito orang yang baik, Dito yang kuat, Dito yang selalu bersikap dewasa.
Hanya Allah dan diriku sendiri yang tahu, bahwasalnya aku benar-benar merindukannya, Astagfilulah.
"Jangan melamun, Zana." Hampir saja aku loncat karena suara Hilman dan keberadaannya yang tiba-tiba ada di belakangku, aku mengusap dada ketika dia tersenyum manis dan mengusap kepalaku pelan.
"Kenapa kamu melamun, Zana?" Hilman bertanya, kini dia duduk di sebelahku.
"Aku hanya memikirkan-"
"Lain kali jangan melamun, itu tidak baik."
"Maafkan aku."
"Tidak usah di pikirkan selama kamu mau mendengarkanku."
"Iya."
"Aku sedang ingin mencari inspirasi dan rencananya aku akan mengajakmu."
"Kemana?"
"Ke suatu tempat yang tersembunyi dan tidak di ketahui oleh banyak orang lain."
"Di mana?"
"Bersiap-siaplah dulu, setelah itu aku akan mengajakmu ke tempat itu." Tanpa menunggu lama lagi aku mengangguk dan segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi, tetapi sebelum itu terjadi, Hilman memanggil namaku terlebih dahulu dan hal itu membuatku menoleh serta mengurungkan langkah.
"Jangan lama-lama."
"Iya, Hilman."
"Aku akan menunggumu di sini."
"Aku tidak akan lama."
***
Muhrottal Surah Al-Kahfi terdengar begitu merdu, Hilman sengaja memutarnya dalam mobil dan sekali-kali dia mengikutinya. Dalam diam, aku memperhatikannya, aku suka ketika mendengarnya mengaji, saat mendengarnya mengaji rasanya hatiku tenang, damai dan sejuk.
"Kamu tahu aku membawamu kemana?" Dalam hening Hilman bertanya, aku menatap wajahnya kemudian menggeleng. "Coba tebak."
"Aku tidak suka bermain tebak-tebakkan Hilman."
"Kenapa?"
"Karena aku takut salah menjawab."
"Kamu tahu, salah dalam mencoba itu bukan masalah besar, tapi tidak mencoba sama sekali karena takut salah adalah kesalahan besarnya."
"Ya aku tahu, terkadang aku sangat berani tapi terkadang aku sangat takut untuk kehilangan zona nyamanku."
"Kesalahan dan kekalahan adalah langkah awal menuju kesuksesan sayang, jangan takut kalah, kala kamu kalah ingatlah masih ada Allah yang akan selalu mendemgar doa-doamu dan masih ada aku yang akan selalu mendukungmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.