Hari Minggu, dan ini menjadi hari di mana Hilman libur bekerja. Seperti, hari-hari biasanya, setelah melaksanakan sholat subuh aku segera menyiapkan sarapan untuk Hilman.
"Selamat pagi, istriku." Hampir saja aku menbantingkan spatula karena pelukan dari belakang yang Hilman lakukan secara mendadak, aku mendengus kesal, hal itu bisa saja membahayakan bagiku dan Hilman.
"Eh, kok cemberut sih? Kenapa nggak jawab ucapan selamat pagi dari aku?" Hilman melepaskan pelukannya, tangannya dengan mudah membalikkan tubuhku yang secara otomatis langsung berhadapan denganku. "Ada apa Zana? Aku membuat kesalahan yang membuatmu kesal?"
"Kenapa kamu mengagetkanku? Bagaimana jika aku tidak sengaja membantingkan spatula? Itu bisa membahayakan kita berdua, bagaimana jika spatula itu mengenai kakimu?"
Mendengar ocehanku, Hilman malah tersenyum, menyerigai. "Kamu sedang masak apa?"
"Kamu tidak mendengar ucapanku."
"Baiklah, maafkan aku Zana, aku tahu aku salah. Aku tahu kamu mengkhawatirkanku." Hilman tersenyum lebar, bahkan bisa aku dengar sendiri kekehan yang keluar dari mulutnya, jika situasinya lebih baik maka aku akan menyukai kekehan renyah itu, namun untuk kali ini rasanya aku kesal padanya, tidak bisakah dia serius untuk kali ini saja? Apa dia berpikir rasa khawatirku ini lucu dan bisa di tertawakan? Yang benar saja.
"Aku kesal padamu, aku sedang serius Hilman, ini bukan gurauan yang bisa kamu tertawakan. Aku takut, aku menyakitimu, aku khawtir dan tolong jangan anggap ini semua sebagai lelucon."
Kali ini, Hilman tersenyum manis, bahkan senyuman manisnya itu mengingatkan pada seorang pria yang juga mempunyai senyuman yang amat sangat manis, Dito. Senyuman Hilman begitu mirip dengan senyuman Dito.
"Aku tidak akan mengulanginya lagi, janji." Hilman mengangkat tangannya kemudian menyodorkan kelinkingnya. "Kalo aku ngagetin kamu lagi, kamu boleh marah sama aku."
"Emangnya harus bangetnya kamu nyodorin kelinking kamu?"
"Anggap aja kita lagi mengikat janji."
"Kayak anak kecil tahu."
"Siapa yang peduli Zana? Selama kita bahagia, apa yang salah dari perlakuan kita? Meskipun menurut kamu hal itu kayak anak kecil, asalkan kita bersikap dewasa, nggak ada yang salah, sayang."
Aku tersenyum menatap wajah Hilman kemudian menyambut jari kelinkingnya. Tanpa di duga Hilman membawaku kedalam pelukannya, aku membalas pelukannya dengan senyuman yang tidak pernah hilang walau sedetikpun.
"Aku mencintaimu, Zana."
"Aku juga mencintaimu, Hilman."
Setelah Hilman melepaskan pelukannya, dia kemudian mencium keningku dan menatapku dengan senyuman manisnya yang begitu melelehkan hati.
"Kamu sedang masak apa Zana?"
"Astagfilulah." Aku menepuk keningku sendiri, terlalu lama bermesraan dengan Hilman membuatku lupa jika aky sednag mengoreng ayam dan lihatlah sekarang, ayam itu menjadi gosong, aku menatap ayam itu dengan hati yang sedih, berbeda denganku, Hilman malah tertawa di belakangku.
"Mengapa kamu tertawa Hilman? Ini bukan saat yang tepat untuk tertawa." Aku mendengus kesal, baru beberapa menit perasaan kesalku hilang, kini perasaan kesal itu datang kembali.
"Kamu lucu, Zana. Lihatlah wajahmu."
"Jangan meledekku seperti itu." Aku menatap Hilman tajam, entah karena takut atau karena apa, kali ini wajah Hilman tidak lagi menyebalkan, dia dengan sigap membawa saringan dan mengangkat ayam gosong itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.