"Jangan ceroboh, Zana." Aku tidak tahu lagi harus bersikap atau mengucapkan kalimat apa lagi. Ucapan yang keluar dari mulut Dito itu benar-benar membuat jantungku berpacu dua kali lipat, aku bahkan melupakan fakta bahwa Hilman tengah memperhatikanku dan Dito, aku menoleh kearahnya, tidak ada wajah kesal, hanya ada seulas senyum yang membuat hatiku benar-benar hancur. Selama ini, Hilman selalu pengertian dengan semua yang aku alami, dia tidak memaksaku untuk menerima perjodohan ini, dia tidak memaksaku untuk jatuh cinta padanya dan yang paling membuatku salut adalah dia tidak pernah melarangku menjauhi Dito, meski Hilman tahu bahwa Dito adalah orang yang pernah aku cinta dan mungkin akan tetap aku cinta, meski aku sudah mempunyai Hilman.
"Maafkan aku Dito, aku tidak sengaja-"
"Lupakan saja Zana. Ada saatnya melupakan adalah hal yang terbaik untuk kamu." Ucapan Dito itu, mampu menyentil hatiku, untuk sejenak aku memperhatikan garis wajah Dito, kantung mata yang kian menghitam itu membuat semua orang tahu bahkan dia kurang istirahat, dia berusaha terlalu keras. Boleh jadi, dia sedang mengingkan sesuatu, sesuatu yang tidak di ketahui orang lain.
"Aku pamit dulu."
"Dito, tunggu."
"Ya?"
"Jangan berusaha terlalu keras. Aku yakin kamu bisa, tapi jangan berusaha terlalu keras, kamu butuh istirahat."
"Jangan terlalu peduli padaku. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku lakukan." Setelah mengatakan hal itu Dito kemudian pergi, aku hanya bisa menatap pungungnya yang kian menjauh, hatiku berdesir sakit.
Yaallah, perasaan apakah ini?
"Apa Dito memang selalu keras kepala?" Aku menoleh kearah suara Hilman, kini dia tepat berdiri di depanku, wajahnya terlalu sejuk dan tenang, untuk aku artikan bahwa dia cemburu atau kesel dengan pertemuanku dan Dito yang tidak sengaja itu.
"Jika dia mengingkan sesuatu, maka dia akan berusaha keras untuk mendapatkannya."
"Termasuk kamu?"
"Dia bukan orang bodoh, cinta bukan segalanya untuknya, aku yakin Allah akan mempertemukan dia dengan orang yang lebih baik dari pada aku."
"Aamiin."
"Lebih baik kita masuk sekarang."
"Ya."
Tidak ada obrolan lagi setelah itu, hanya keheningan yang mengisi ruang, ini persis seperti saat aku dan Dito ada di sini, kami diam, kami fokus membaca, tapi tahu bahwa hati kami ada di sini, menjadi saksi bisu, menjadikan saat-saat itu istimewa dan akan selalu terkenang.
***
Hujan membungkus kota, jam menunjukkan pukul 14.00, setelah puas membaca buku bersama, aku dan Hilman memutuskan pergi ke cafe untuk menikmati coklat panas.
"Sepertinya kamu sangat menyukai coklat panas itu, Zana."
"Biasa saja."
"Bohong."
"Serius."
"Aku sedang mempunyai satu ide."
"Apa itu?"
"Tentang seorang perempuan yang menyukai coklat dan suatu hari perempuan itu menemukan suatu tempat di mana di dalamnya terdapat banyak coklat, tetapi perempuan itu tidak tahu siapa pemilik coklat itu. Dis berada di tempat yang asing, dia tidak tahu kemana harus pulang dan yang paling penting dia sedang kelaparan yang sangat luar biasa. Dia ragu apakah harus memakan coklat itu atau tidak. Ibunya, pernah bilang jika ; Sesulit apapun keadaannya, dia tidak boleh mengemis apa lagi mencuri. Dia dilema dan pada akhirnya dia memutuskan untuk membawa satu coklat itu dan berdoa semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Akan tetapi, karena rasa nafsunya dia tidak hanya memakan satu coklat melainkan banyak coklat, ketika hawa nafsu menguasai diri seseorang maka, perempuan itu melupakan semuanya, melupakan petuah orang tuanya dan melupakan dosanya."
"Lalu?"
"Lalu, setelah rasa laparnya hilang, dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan membawa beberapa batang coklat kedalam tasnya. Setelah beberapa jam mencari jalan keluar, akhirnya perempuan itu menemukan jalan keluar dan betapa bahagianya dia keluar dari tempat asing itu. Tapi, apakah kamu berpikir bahwa hidupnya baik-baik saja? Ketahuilah, hidup tidak sesederhana itu Zana."
"Tunggu, tunggu sebenarnya apa yang kamu bicarakan ini? Aku sungguh tidak mengerti."
"Aku sedang membicarakan tentang hawa nafsu Zana. Jangan sampai hawa nafsu menguasa dirimu. Ini tentang pertemuan kamu dan Dito, aku bisa melihat matamu yang memancarkan suatu pengharapan. Jangan sampai hawa nafsu itu merusak hubungan kita Zana, jangan biarkan sesuatu yang salah menguasai hati kamu." Aku terdiam mendengarkan ucapan Hilman itu, rasanya aku tidak bisa bernapas dengan lega, rasa sesak tiba-tiba menguasai hati, aku menatap wajah Hilman yang masih memancarkan ketenangan dan kesejukan, Hilman mengapa dia begitu hebat menyembunyikan rasa cemburunya?
"Maafkan aku-"
"Kamu tidak salah Zana. Tugasku adalah mengingatkan jika kamu salah."
"Terima kasih untuk selalu mengingatkanku, Hilman."
"Itu adalah tugasku, Zana."
"Aku sungguh tidak memikirkan perasaanmu sebelumnya."
"Tidak apa-apa. Sudahlah, jangan memikirkan hal itu lagi. Asalkan, kamu mau mendengarkanku maka tidak ada yang salah, Zana."
"Terima kasih."
"Oh ya, kamu pernah bermain ke dunia fantasi?"
"Waktu SMA sih pernah. Memangnya kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu kesana, kita bersenang-senang. Anggap saja, kita mengulang masa-masa SMA kita."
"Aku baru lulus SMA Hilman, bilang saja kamu ingin mengulang masa-masa SMAmu."
"Ya, aku rasa selama ini, aku terlalu serius dengan deadline naskah novelku."
"Jangan berlebihan yang berlebihan itu tidak baik."
"Baiklah, baiklah aku akan memberikan waktu untuk melakukan banyak hal denganmu."
"Contohnya?"
"Membaca buku bersama atau membersihkan rumah bersama."
"Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali."
"Menurutku sesuatu yang romantis itu bukan makan malam mewah dengan lilin dan biola yang mengalun merdu. Romantis, untukku adalah bagaimana kita bisa merubah sesuatu yang sederhana menjadi istimewa. Salah satunya, adalah membawa buku bersama dan membersihkan rumah bersama. Selama, kita bisa bersama, di situlah bahagia kita."
"Boleh aku mengatakan sesuatu?"
"Ya."
"Aku bahagia."
"Bahagia karena apa?"
"Karena bisa memilikmu dan menjadi milikmu."
"Ternyata, kamu bisa romantis juga."
"Hehe, aku ingin bisa berkata-kata puitis."
***
Pernah merasakan bahagia yang luar biasa? Dengan Hilman sesuatu yang sederhana bisa berubah menjadi istimewa dan dari Hilman aku belajar bahwa bahagia yang sederhana adalah ketika kita bisa bersama dan sama-sama bersyukur.
Sore ini dengan hujan yang turun dengan sangat deras aku dan Hilman berada di dalamnya, mengucap syukur yang sebesar-besarnya, kemudian berdoa dalam hembusan napasnya.
Aku tidak harus menggambarkan bahagia itu seperti apa lagi. Sore itu, halaman rumah menjadi saksi bahwa Hilman sumber dari kebahagiaan.
Dalam diam, aku tersenyum. Tidak ada kata lagi yang dapat aku ucapkan, cukuplah hati yang merasa dan hati yang semakin mencinta.
"Aku mencintaimu, Zana."
Untuk Hilman, yang telah mencintaiku dengan segala kekuranganku, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Bersambung...
WiwitWidianti
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.