Beberapa tahun lalu kenangan bersama Dito.
Hari-hari itu adalah puncak dari kebahagian, itu adalah pertama kalinya aku merasakan apa yang namanya cinta dari seorang pria yang bernama Dito, saat itu Dito memang dekat denganku, namun aku tak menyangka bahwa dia mencintaiku, karena yang dulu aku ketahui adalah aku yang mencintainya, tetapi tidak dengannya.
Dengan bantuan teman-teman sekelas akhirnya Dito bisa menembakku untuk menjadi pacarnya, saat itu dia sedang merayakan kemenangan tim basketnya, aku menerimannya dengan malu-malu, dia adalah pria yang baik menurutku, dia tidak pernah macam-macam padaku, dia menghormatiku, sebagaimana dia menghormati ibunya dan guru-guru perempuan di sekolah.
Suatu hari untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis terisak menceritakan masa lalunya, aku hanya bisa memandangnya prihatin, tak bisa mengusap punggungnya walau sekedar memberi kekuatan apalagi memeluknya, dia akan marah jika aku melakukan itu.
"Dari kecil sampai sekarang, Ibu aku terus berjuang demi menghidupi aku, aku nggak pernah tau siapa Papa aku, menurutku itu nggak penting karena Ibu adalah segalanya."
"Jangan gitu Dit, kamu bilang kalo Ibu kamu nggak pernah cerita apa-apa tentang Papa kamu sama kamu, bisa jadi Papa kamu ninggalin Ibu kamu karena alasan tertentu, aku yakin semua orang tua menyanyangi anaknya, tetapi caranya yang berbeda." Aku terus mengungkapkan pendapat serta nasihat-nasihat bijak yang mungkin bisa membuatnya bangkit dan berhenti membuatnya membenci papanya sendiri, tidak ada yang tahu alasan mengapa Papa Dito meninggalnya begitu saja, aku memilih berprasangka baik meski Dito tidak akan suka.
"Kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu nggak ngerasain semuanya, kamu nggak pernah tahu gimana perasaan aku."
"Dit bukan gitu maksud aku, tapi-"
"Ini buat kebaikan aku? Aku tahu kamu punya niat yang baik Zan, tapi maaf kalo yang satu ini aku nggak bisa, aku tetep benci papa aku." Dito terlihat menyerka air matanya kasar, aku sadar betul bahwa Dito sangat terkekan dengan ini, namun tak banyak yang bisa aku lakukan sebagai pacarnya. "Sampai nangis gini, aku lebay banget ya." Dia terkekeh pelan, kekehan yang begitu menyakitkan ketika aku yang mendengarnya.
Dito menurutku adalah pangeran berkuda putih yang dikirimkan Tuhan untukku, aku bersyukur karena suatu hari aku pernah merasa bahagia bersamanya, meski sekarang aku harus melepaskannya, orang bilang meninggalkan tanpa kenangan itu lebih menyakitkan, tetapi aku tidak setuju bagaimana pun juga kenangan pernah membuat kita berbahagia.
"Kamu pilih kalung mana? Kalung yang gantungannya benih dandelion atau Bulan?" Dito memberikan pilihan saat kami sedang jalan-jalan kepasar malam, aku berpikir aku menyukai keduanya, tetapi aku tak mungkin memilih keduanya, bukankah akan selalu ada pilihan dalam hidup? Jika aku memilih keduanya aku rasa itu adalah sikap egois, aku harus memilih salah satunya, seperti apa yang terjadi hari ini, dengan terpaksa aku harus meninggalkannya karena aku telah memilih sebuah pilihan yang sulit tetapi membuat Mama bahagia, mungkin itu satu-satunya cara agar aku bisa menebus segalanya.
"Aku pilih kalung yang gantungannya bulan Dit."
Dia tersenyum, senyuman yang begitu manis dan rasanya saat itu aku ingin waktu berhenti saja, aku ingin tetap berada di posisi seperti itu, memilikinya dan menatap senyuman manis yang menyenangkan.
"Kenapa pilih kalung ini Zan? Padahal aku lebih suka kalo kamu pilih kalung yang gantungannya dandelion."
Aku mengenyitkan kening, bukankah tadi dia yang memberikanku pilihan? Lantas kenapa dia memberikanku pilihan, jika akhirnya dia membeli kalung dengan gantungan dandelion, dia memang sewaktu-waktu bisa menjadi aneh seperti ini, tetapi tak mengapa buktinya aku menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Memilihmu
SpiritualCinta itu seperti api, ketika api itu hidup setetes, maka dia akan membesar, menghabiskanmu.