Lima

2.3K 89 0
                                    

"Kamu duduk di belakang." Ujar Hilman ketika aku hendak membuka pintu mobilnya.

"Kenapa? Kamu kan calon suami aku bukan sopir pribadi aku."

"Aku nggak enak aja di liat orang kalo kita berduaan di dalam mobil, apalagi bersebelahan, jadi kamu di belakang aja ya." Sebenarnya aku hendak menolak, tetapi aku tak mau menjadikan hari pertama mengenalnya menjadi buruk, aku harus menghormatinya.

Di mobil hanya ada hening yang menyergap, aku sampai menguap beberapa kali saking bosannya, di depan sana Hilman terlihat memperhatikanku dari kaca depan. "Jangan tidur, nanti bisa jadi fitnah." Gumamnya.

"Jangan suudzon sama orang lain."

"Jangan juga buat orang lain suudzon terhadap kita."

Aku menghela napas pelan, kembali menguap. "Kalo boleh tau kenapa kamu panggil aku kakak, kesannya aku kayak kakak kamu." Ujarnya membuka suara, aku bersyukur dia membuka topik obrolan, berharap rasa kantukku akan hilang, berhubung aku tak berani membuka suara.

"Umur kamu lebih besar dari aku kan? Jadi aku wajar manggil kamu kakak."

"Terus kalo kamu manggil aku kakak aku juga harus manggil kamu adek?"

"Eh?" Aku kebingungan sendiri, benar juga, berasa kakak-adik bukan calon suami-istri.

Dia tertawa renyah, pipiku sudah panas sekali. "Becanda, jangan di pikirin."

Aku hanya tersenyum pipis saja. "Aku harus manggil kamu apa?" Aku bertanya malu-malu, aku memang orang yang cenderung pendiam dan mempunyai tingkat malu yang sangat tinggi saat mengobrol dengan orang lain yang belum sangat dekat denganku, tetapi saat aku mengobrol dengan Dito, tidak ada lagi rasa malu yang aku punya, yang ada hanya rasa rindu saat mengingat kembali masa-masa terindah dalam hidup.

"Hilman."

"Aku nggak enak manggil nama kamu." Aku keberatan.

"Aku juga nggak enak manggil kamu 'adek'." Aku tersenyum seketika. "Kenapa senyum ada yang lucu?" Dia bertanya, menyengitkan keningnya.

Aku menggeleng. "Aku bakal coba panggil kamu Hilman." Dia mengangguk, kembali tersenyum, senyumannya masih sama.

"Hilman ada yang pengen aku bicarain sama kamu." Aku memberanikan diri menceritakan keadaanku juga perasaanku yang masih milik Dito. Aku tak mau menutupi-nutupi semuanya dari pria yang berpredikat sebagai calon suamiku.

Hilman terlihat berpikir, kemudian kembali tersenyum, murah senyum sekali pria di depanku ini. "Itu masa lalu kamu, aku nggak berhak hakimin kamu atas masa lalu kamu, kamu yang berpacaran dan kamu yang bisa memperbaiki segalanya, ini bukan tentang perasaan kamu yang masih belum bisa melupakan Dito, tetapi ini adalah tentang bagaimana kamu bisa berubah, kamu sudah besar, sudah bisa berpikir dengan baik. Dalam islam tidak ada yang namanya pacaran. Allah swt berfiman dalam surat (Al-'Isrā'):32 - Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Kamu sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, aku harap kamu tidak hanya mengetahuinya saja tapi dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari." Aku terdiam seketika, mendengarkannya bicara panjang lebar membuatku merasa di ceramahi olehnya. "Zan kamu nggak tidurkan karena denger aku ceramah kan?" Dia bertanya, menatapku lewat kaca depan.

"Aku nggak tidur." Mobil yang kami naiki sudah memasuhi gerbang rumahku, aku bersiap turun, mama dan papa sedang mengobrol di kursi yang berada di depan rumah, sesekali mereka tertawa bersama. Pemandangan yang segera membuatku sedikit gerah.

Aku segera membuka pintu mobil, membawa kantong kresek berisi buku, Hilman melangkah lebih dulu menyalami mama dan papa, pamit segera pulang.

"Aku pulang dulu Zan, Assalamualaikum."

Ketika Cinta MemilihmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang