[-Stadium 3.]

141 13 1
                                    


"Tidak boleh," mama menolak mentah-mentah permintaanku.


Rachell yang berada di belakangku, hanya bisa terdiam menundukkan muka. Ia memang tidak pernah membantah ucapan papa dan mama. Aku tahu apa yang ia rasakan, sekalipun kami sudah lupa bahwa dia hanyalah anak angkat, ia masih merasa sungkan dalam hal memperjuangkan apa yang ia inginkan seperti anak-anak lain pada umumnya. Tapi sebagai ganti dari diamnya, ia pasti akan menunjukkan kekecewaannya dengan mogok melakukan apapun.

Aku sudah berunding dengan mama. Aku sudah blak-blakan menceritakan bahwa aku sudah menjual beberapa mainan kami untuk mengumpulkan pundi guna membelikan adikku hadiah ulang tahunnya yang berupa seri konsol terbaru keluaran Sony. Aku juga sudah mengutarakan niatku untuk meminta mama agar ia mau membantu sedikit uang untuk menambal kekurangannya.

Tapi mama menolaknya.

Bahkan, ia melarangku untuk membelikan konsol itu buat Rachell.

Aku membuang nafas berat di depan mama. Kesabaranku sudah habis.


"Mama menolak memberi uang bukan karena uangnya mau dibelikan konsol, 'kan?" tanyaku. "Mama menolak karena mama masih kesal sama adek, karena adek menolak masuk ke fakultas pilihan papa sama mama, 'kan?" aku merentet pertanyaan kepada mama. "Kalian boleh saja kesal sama adek, tapi Rachell jangan sampai kena getahnya, mah!" kataku. "Ini 'kan untuk hadiah ulang tahunnya. Apa salahnya membelikannya sekali untuk Rachell? Lagian uang yang adek minta dari mama engga banyak," kataku.

"Lho, uang di ATM adek yang dua juta sekian itu 'kan uang dari mama sama papa juga. Kok enak saja bilang engga banyak. Engga banyak dari mana itu?!" tanya mama tegas. "Kamu sudah 18 tahun, mestinya kamu tahu, apa yang lebih baik buat adikmu!" mama mencoba membalik keadaan.


Mama tidak menyinggung fakultas yang dipaksakan kepadaku. Ia menggunakan berbagai alasan untuk berkelit. Itu artinya, papa dan mama benar-benar tidak mau diajak berunding untuk fakultas yang harus aku ambil di universitasku kelak. Skak mat untukku.

Aku kembali melihat adikku. Raut mukanya memerah. Ia pasti sudah memikirkan bahwa usahaku ini tidak akan berhasil. Ia sudah terlarut ke dalam kekecewaan.

Sudah. Tidak ada gunanya lagi berunding dengan mama. Jika ia sudah bilang 'A', maka ia akan kukuh dengan pilihannya. Bahkan jika adikku mogok pun, ia tidak akan gentar.

Aku meraih tangan adikku.


"Ayo, Rachell! Kita pergi ke kamarmu," pintaku.


Kami menyerah. Perang dimenangkan oleh mama. Aku rasa, jika berunding dengan papa, hasilnya juga akan sama saja, bahkan, kami akan terpukul mundur lebih jauh lagi.

**

Aku berbaring di atas ranjang Rachell. Ia duduk di sebelahku sambil melipat kedua lututnya. Ia meletakkan dagunya di atas lutut kakinya. Memasang pandangan kosong.


"Sudahlah, jangan terlalu didengarkan kata-kata mama," kataku. "Masih ada koko, nanti koko pikirkan cara lain," ujarku.


Ia menoleh ke arahku.


"Koko mau bagaimana...?" katanya dengan intonasi lesu.


Aku menerawang ke langit-langit.


"Koko bisa gadai laptop koko," kataku.


Ia tidak menanggapi ideku. Mungkin ia merasa bersalah saat ini, kemauannya membuatku harus menggadai laptop sebagai usaha terakhirku.

Saat itulah, aku mendapatkan notifikasi dering dari telepon pintarku yang menandakan bahwa aku mendapatkan pesan baru di aplikasi pengirim pesan Whatssap.

Aku membukanya.


Mas, bisa datang ke rumah?


Itulah bunyi pesan tersebut. Datang dari kontak yang tidak aku simpan, tapi aku bisa melihat sebuah nama di sana: Emmanuel.

Aku mengira jika itu adalah pesan iseng seperti 'mama minta pulsa' atau pesan yang salah kirim saja. Akan tetapi, ketika aku membuka kotak masuknya, ternyata masih ada history percakapanku dengan nomor asing tersebut.

Aku langsung sadar, itu adalah om-om yang membeli mainan kami di etalase belanja tokped.

Seketika aku mempunyai firasat buruk: Aku diminta datang ke rumah, apa beliau ingin melakukan retur lantaran mainan kami tidak sesuai gambar? Atau, apa ternyata mainan kami ada yang rusak di bagian-bagiannya?

Aku panik. Aku yakin, kami sudah mengetes ulang sebelum kami mengemasnya kemarin. Mainan kami masih bekerja dengan baik. Masih bisa melontarkan peluru karet dengan akurat. Pegasnya juga masih bagus. Keseluruhan badan mainannya juga masih terlihat 95 persen baru.

Tapi, apa jangan-jangan memang ada yang salah?


Baik om.


Aku membalas pesan tersebut dengan segera.

Sepertinya, transaksi ini tidak cukup sampai kemarin saja. Proses perniagaan ini belum berakhir sampai di situ.

Sekali lagi, benar-benar transaksi yang epik.

Sepertinya, aku memang harus ke sana. Tentunya, aku harus membawa uang hasil penjualan kemarin untuk berjaga-jaga akan adanya permintaan retur dari beliau.

Aku tidak akan bilang kepada Rachell mengenai hal ini. Jika ia sampai tahu bahwa mainan kami akan di retur, pasti ia akan sangat sedih. Karena itu artinya, uang kekurangan untuk membeli konsol itu kembali membesar.


...Mama tidak mau memberi sedikit bantuan untuk kami

...Pun barang dagangan kami akan kena retur

...Apakah keputusanku memperjuangkan keinginan adikku itu merupakan sebuah kesalahan...?

Oh Tuhan..., semoga ini bukan sebuah dead end...

...


--▬ ஜ۩۞۩ஜ ▬--

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang