[-Stadium 9.]

146 16 1
                                    


Aku mengira, semuanya akan baik-baik saja. Rupa-rupanya tidak. Aku telah menunggu-nunggu datangnya Hari Senin di minggu ketiga ini. Padahal, baru kemarin Sabtu aku bertemu Iton, pun aku menungguinya hingga ia tertidur. Tapi aku sudah merasa rindu dengan anak itu. Namun, semua tidak sejalan dengan apa yang aku inginkan.

Pagi ini, aku mendapat kabar dari Om Emmanuel bahwa aku diminta untuk libur dulu selama satu minggu penuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Itu terlalu tiba-tiba menurutku. Hal itu malah membuatku berprasangka yang tidak-tidak—apa aku telah berbuat kesalahan?

Aku mereview pekerjaanku selama dua minggu terakhir ini. Aku memang berulang kali mengajaknya main di luar, tapi aku sama sekali belum pernah bilang kepada mereka jika aku mengajak Iton main di luar. Jangan-jangan, ia tidak diperbolehkan main di luar rumah? Jika Iton bilang 'boleh', dia pasti berbohong kepadaku. Atau, apa karena aku terlalu sering memandikan Iton? Sebelum aku bekerja di sana, setiap harinya, Iton memang bisa mandi sendiri. Dan selama aku berada di sana, kadang memang setiap sore, akulah yang memandikannya. Bahkan aku senang sekali ketika memandikan Iton. Apa itu dianggap sebagai sebuah kesalahan bagi mereka?

Aku ingin menanyakan sebab kenapa aku diminta libur selama satu minggu. Tapi jika memang benar aku telah melakukan kesalahan, membayangkan untuk mencoba bertanya kepada orang tua Iton saja, aku sudah tidak berani. Ini pengalaman kerja pertamaku dengan orang. Di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa menuruti apa kata majikanku.

Namun walau begitu, aku mencoba untuk berpikir positif.

Om Emmanuel berkata jika upahku seminggu ini akan dirapel. Aku akan dibayar tanpa harus masuk semingguan ini. Dan upahku pun, tiba masuk ke rekeningku selang 5 menit setelah aku mendapatkan kabar dari beliau pagi ini. Andai kata beliau memberikannya langsung kepadaku, aku mempunyai celah untuk menolaknya. Tapi jika seperti ini, akan sangat tidak sopan jika aku mentrasfer balik uang tersebut.

Tapi bukan itu intinya, aku dibayar tanpa harus bekerja, itu artinya, aku memang tidak berbuat kesalahan atau kerjaku dua minggu kemarin bukannya terkesan tidak mengecewakan. Mungkin selama satu minggu ke depan, jadwal sekolah Iton menjadi padat. Jadi aku tidak harus datang ke sana.

Pun di dalam pesannya tadi, Om Emmanuel tidak memberi alasan buruk kenapa aku diliburkan. Jadi aku rasa, memang tidak ada masalah dariku.


**


Hari ini adalah hari Rabu. Bagiku, empat hari tanpa melihat tingkah Iton, sudah mampu menghidangkan kehampaan pada hidupku. Aku sudah terbiasa menjadi pramusiwi, rupanya. Ah bahkan, jika aku bukan pramusiwi pun, aku tetap akan merasa rindu kepada Iton. Ada suatu hal di dalam dirinya yang mampu mengetuk hatiku. Aku tidak bisa menjelaskannya secara rinci kepada kalian. Karena aku sendiri pun, tidak tahu apa itu.

Baju yang ditempeli stiker oleh Iton pun, aku gantung di dinding kamarku. Aku tidak mencucinya. Karena aku takut, perekat pada stiker tersebut akan hilang daya rekatnya. Aku tidak ingin stiker pemberian Iton terlepas dari baju itu. Ia bisa marah jika stiker itu terlepas. Karena stiker itu menandakan bahwa aku adalah milik Iton.

Hari ini, rasa rinduku kepada anak itu menjadi sebuah keresahan. Aku merasa tidak tenang. Aku ingin melihat Iton. Aku ingin datang bertandang ke rumahnya. Aku tahu, hari Rabu dan Jumat adalah hari di mana biasanya aku tidak diminta datang. Tapi, aku ingin sekali berjumpa dengannya saat ini. Aku rasa, tidak akan menjadi masalah jika aku datang. Karena aku sudah dibayar, bukan? Aku tidak ingin makan gaji buta. Aku akan datang ke rumah Iton siang ini.

Setelah aku memanaskan mobilku, aku langsung berangkat menembus jalanan perkotaan untuk menuju ke rumah Iton. Aku sama sekali tidak mengabari keluarga anak itu jika saat ini aku tengah menuju ke rumahnya.

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang