[-Stadium 5.]

146 16 1
                                    


Sendirian aku berjalan mendatangi kamar anak bernama Iton. Bagiku, itu sama seperti saat mencoba memasuki 'rumah hantu' yang kerap ada di perayaan Sekaten.

Seperti kemarin, pintunya seperempat terbuka. Aku mengetuknya dua kali. Membukanya perlahan. Dan...

Kembali kudapati anak itu hanya mengenakan kaos singlet putih serta celana dalam sebagai pelindung bagian bawah. Hanya saja kali ini, celana dalam itu berbeda warna dari yang ia pakai kemarin—sekarang ia pakai yang warna biru muda, kemarin merah.

Tanpa basa-basi lagi, aku menyapanya langsung.


"Halo, adek. Kakak boleh masuk, ya?" tanyaku meminta izin.


Anak itu menengok sekilas, lalu kembali membuang muka.

Aku tidak berani untuk duduk di atas ranjang tidurnya—mengingat sifatnya yang tidak acuh seperti itu. Aku memberanikan diri memasuki kamarnya dan duduk di kursi yang ada di depan meja belajarnya.

Aku melempar pandangan sekitar. Kamar ini berantakan dengan mainan yang kebanyakan berupa kepingan jigsaw puzzle. Di dekat pintu balkon kamar anak ini, aku melihat dua mainan tembak-tembakan yang aku jual kemarin tergeletak begitu saja. Mereka sudah dikeluarkan dari kotak, artinya anak ini sudah memainkannya kemarin ketika aku pulang.

Hah, seingatku kemarin, anak ini berkata bahwa ia tidak menginginkan mainan ini kepada ayahnya. Ujung-ujungnya ia merasa tertarik dan memainkannya juga. Lihat, pelurunya ada di mana-mana. Bahkan, ada yang masih menempel di tembok dan pintu kamarnya. Aku rasa, pelurunya akan cepat hilang jika seperti ini cara memainkannya.

Aku berdiri, mengambil inisiatif untuk merapikan mainan-mainan miliknya. Sekali lagi ia menengokku, melihat apa yang aku lakukan, lalu kembali membuang muka.


"Aku juga punya adik," kataku seraya merapikan mainan-mainannya. "Ia juga sama sepertimu, punya mainan banyak," tambahku. "Tapi aku selalu menyuruhnya untuk merapikan mainnannya ketika ia usai memainkannya. Kalau tidak, aku akan memarahinya," kataku dengan pelan.


Aku memunguti satu demi satu kepingan jigsaw puzzle yang ada di lantai kamarnya. Saat aku melihatnya, ia kembali membuang muka.


"Mainan itu juga harus dirawat. Jika ia dibiarkan berantakan seperti ini, pasti akan ada satu kepingan yang hilang nanti. Jika ada yang hilang, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan jigsaw puzzle ini nantinya," kataku.


Aku mengambil semua peluru karet dan memasukkannya ke mainan tembak-tembakan yang sekarang sudah menjadi miliknya. Aku meletakkan mainan itu di sebuah kotak plastik berukuran sekitar 90x60 cm.

Kini, kamar ini terlihat lebih bercahaya karena aku sudah merapikan semua mainan yang berceceran di lantai kamarnya.

Aku melihat anak itu, ia masih tengkurap.


"Kamu pendiam sekali, ya?" kataku.


Aku iseng mengambil salah satu jigsaw puzzle miliknya dan mulai menyusun kepingan-kepingannya satu demi satu. Selama hampir 5 menit, aku memberikan jeda keheningan karena aku fokus dengan jigsaw puzzle yang aku susun ini. Ternyata seru juga. Jigsaw puzzle adalah mainanku sewaktu aku masih duduk di taman kanak-kanak dulu. Seingatku, aku sangat jago memainkannya dulu.

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang