[-Stadium 4.]

134 14 1
                                    


Sesuai permintaan customer—Om Emmanuel, aku kembali mendatangi kediaman beliau. Namun sepertinya, rumah beliau sedang berada dalam keadaan sepi. Pagar, pintu rumah, garasi, jendela kamar atas dan bawah, semuanya tertutup rapat. Jeep Wrangler Rubicon milik beliau pun tidak ada di dalam pagar rumah ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah ini.


Saya sudah sampai di depan rumah om. Kok sepi2 saja ya om?


Aku mengirimi sebuah pesan Whatssap ke beliau.

Tidak menunggu lama, pesan dariku mendapatkan 'dua centang biru'. Dan...


Sebentar lagi kami sampai rumah, mas. Ditunggu sebentar ya.


Demikian bunyi pesan balasan tersebut.

Aku kembali masuk ke dalam mobilku dan memarkirkan mobilku dengan benar—memberikan cukup ruang kalau-kalau mobil beliau ingin parkir di depan rumahnya.

Dari arah pintu masuk perumahan, terlihat sebuah mobil jeep yang ku maksud tadi. Sebuah jeep dengan badan berwarna putih, kontras sekali dengan keempat rodanya yang berwarna hitam. Garang. Pun elegan. Dua aspek yang menyatu pada konsep jeep tersebut.

Benar saja. Mobil jeep tersebut berhenti tepat di ruang yang ku sediakan untuk parkir. Dari jeep tersebut, turun 3 orang yang kutemui kemarin—Si om, Si tante, dan Iton anaknya.


"Sudah lama, mas?" tanya beliau seraya mengulurkan tangannya.

"Baru saja, om!" jawabku sambil menjabat tangan beliau.

"Ayo kasih sapa dulu ke kakak," pinta istri beliau ke anaknya.


Ia yang berada dalam gendongan ibunya, menyembunyikan mukanya di pundak ibunya. Tidak memberikan respon baik kepada ibunya. Anak itu tidak mengacuhkanku.


"Habis disuntik, mas," kata Si tante. "(Jadi manja)" ucap beliau tanpa mengeluarkan suara.

"Ohh," gumamku sambil tersenyum sok ngerti. "Jadi bagaimana, om?" tanyaku menanyakan alasan 'kenapa aku disuruh ke sini'. Aku sudah bersiap mental jika beliau minta mainan kami untuk diretur.

"Masuk dulu saja, mas!" pinta beliau.


Aku menjadi bingung. Dari gelagat beliau, sepertinya ada hal penting selain retur yang ingin beliau sampaikan. Itu yang membuatku menjadi penasaran dengan segudang pertanyaan yang timbul—Ada apa ini? Kenapa aku disuruh datang lagi ke sini? Mau diapain?


**


Seperti kemarin, segelas syrup jeruk tersaji di depanku. Bedanya, kali ini Om Emmanuel yang membuatkannya untukku. Di sofa seberang, beliau sedang duduk menghadap ke arahku.


"Ada apa ya, om? Apa mainan kemarin ada yang rusak?" tanyaku.

"Ah tidak rusak kok, mas. Mainannya masih bagus gitu, kok!" timpal beliau.


Di situ, aku merasa lega. Ternyata mainan kami baik-baik saja. Tapi di sisi lain, aku malah semakin bingung—jika bukan karena mainan, untuk apa aku disuruh datang kemari???

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang