[-Stadium 8.]

110 18 1
                                    


Hari berganti hari. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak terasa, aku sudah semakin akrab dengan anak bernama Iton. Ia selalu menyambut kedatanganku di rumahnya. Bahkan, tidak jarang, ia sendiri yang membukakan pagar rumahnya untukku. Hari ini, genap dua minggu sudah aku bekerja menjadi pramusiwi di rumah Om Emmanuel.

Mereka berdua—Om dan Tante Emmanuel, juga baik sekali kepadaku. Tidak jarang ketika aku pulang, aku selalu dibawakan lauk kesukaannya Iton—semur telur ayam. Hal itu membuatku selalu ditanya oleh mama: 'ini dapat dari mana?'. Tentu saja aku harus berbohong untuk menjawab pertanyaan itu. 'Iseng beli di jalan'. Itu adalah jawaban yang cukup logis aku rasa.


"Lah, serantangnya juga?" mama terheran-heran.


Begonya, aku lupa jika Tante Emmanuel membungkuskan lauknya menggunakan rantang.


"Rantangnya kebawa,"


Aku hanya bisa berkelakar yang tidak diambil pusing oleh mama.

Ini adalah hari Sabtu keduaku selama aku bekerja di sini. Seharian tadi, agenda kami adalah membereskan kamar Iton agar tampak rapi. Aku mengajarinya cara merapikan kamar dan mainan-mainannya. Aku mengajarinya disiplin dan kerapian. Bagiku, kamar yang bersih dan rapi, akan selalu nyaman ditinggali. Aku mau Iton seperti itu, selalu disiplin menjaga kebersihan dan kerapian kamarnya.

Dari situ pula aku menyadari, setiap mainan dan barang yang ada di kamar Iton, terdapat stiker yang bertuliskan 'Punya Iton'. Lucu sekali konsep stiker itu. Ia berbentuk karakter beruang Pooh dari film kartun Winnie The Pooh. Tempelan stiker itu menyatakan bahwa barang yang ada tempelannya stiker itu, artinya adalah milik Iton sepenuhnya. Tidak bisa dipinjam-pinjamkan. Tidak bisa dijual-jualin tanpa seizin Iton.

Kedua mantan mainanku pun, sekarang sudah terdapat stiker itu di bagian popornya. Pertanda, itu sudah 100 persen menjadi milik Iton.

Namun walau begitu, aku boleh meminjam mainan itu. Asal jangan dibawa pulang, katanya.

Selama dua minggu ini, aku mulai terbiasa melihat Iton yang hanya mengenakan kaos singlet dan celana dalam saja. Tante Emmanuel berkata, bahwa ia lebih nyaman jika memakai pakaian alakadarnya seperti itu. Pun kalau malam, ia juga tidak pernah berganti pakaian dengan piyama yang aku tahu, ada banyak di dalam lemari pakaiannya. Ia tidak suka mengenakan piyama. Itu akan sangat membuatnya tidak nyaman ketika tidur.

Sore telah menjelang. Om dan Tante Emmanuel juga sudah tiba di rumah. Aku sudah memandikan Iton. Aku memang sudah sering melakukannya. Aku juga sudah terbiasa. Bahkan, aku sudah hafal bentuk lekuk setiap badan Iton yang mungil. Aku juga sudah memberikannya bedak bayi sehingga mukanya cemong-cemong. Kini waktuku untuk pulang. Hanya saja...

Iton tidak memperbolehkanku untuk pulang!

Papa-mama nya sudah melerai agar aku diperbolehkan pulang olehnya, tapi ia malah merengek—aku tidak diperbolehkan pulang sampai menemaninya tidur.

Om dan Tante Emmanuel hanya bisa bergeleng-geleng dengan kelakuan anaknya ini. Mereka berdua berkata, Iton tidak pernah seperti ini sebelumnya.


"Ya begini, mas, kalo Iton sudah akrab sama orang, pasti sukar dipisah," kata Tante Emmanuel. "Mohon tinggal sebentar lagi ya, mas?" pinta beliau.


Tentu saja aku menyanggupinya, sekalipun aku sudah menerima upahku sore itu. Aku tidak keberatan jika harus bekerja ekstra. Pun aku menolak upah tambahan yang diberikan oleh Om Emmanuel. Aku tulus ingin menemani Iton menghantar tidurnya.

Setelah makan malam, mereka berdua membiarkanku berada di dalam kamar Iton untuk menemani Iton sampai ia tertidur.


"Kakak, kalo besok Iton sama kakak udah ga sama-sama lagi, bagaimana?" tanya Iton. Ia terbaring di atas ranjang kamarnya. Aku pun begitu, rebahan di sampingnya.


Iton menyelimuti setengah bagian tubuhnya dengan selimut. Tentu saja jika kita buka, kita bisa melihat bahwa ia hanya mengenakan celana dalam saja sebagai pelapis bagian bawahnya.

Aku mencerna pertanyaan anak itu. Memang benar aku hanya akan dipekerjakan selama satu bulan yang waktu itu genap berisi empat minggu saja. Aku sudah menjalani profesi dadakanku sebagai pramusiwi selama 2 minggu. Aku sudah setengah perjalanan rupanya.


"Jika Iton sama kakak sudah engga sama-sama?" tanyaku mengulangi pertanyaan Iton untuk memastikan. "Maka kita berdua akan baik-baik saja, Iton," jawabku.


Iton terdiam. Kedua matanya menatap eternit kamarnya.


"Maksud Iton, jika suatu saat, Iton berada di tempat lain?" tanyanya.

"Berarti kalo saat itu tiba, artinya kakak udah engga bisa jagain Iton lagi, dong?" aku menjawab pertanyaan Iton dengan sebuah pertanyaan.

"Iton bagaimana, nanti siapa yang jagain Iton. Siapa yang mau ngajarin Iton?" tanyanya.


Sejenak ia membuatku tertegun dengan rentetan pertanyaannya. Aku memandangnya dengan lembut.


"Yang jelas, ingat apa pesan kakak," kataku. "Jika tiba saatnya kita berpisah, dan tidak ada waktu untuk saling berjumpa di hari esok..., Iton harus ingat, Iton itu lebih berani dari yang Iton percaya. Iton lebih kuat dari yang Iton lihat. Dan lebih pintar dari pada yang Iton kira, jadi jangan biarkan teman-teman Iton membuat Iton sedih lagi," kataku. Aku masih belum bilang kejadian seminggu yang lalu ketika aku menguping penolakan teman-temannya kepada Iton...

"Tapi yang paling penting adalah..., sekalipun kita terpisah..., kakak akan selalu bersamamu..." tambahku.


Aku dan Iton saling bertatapan.

Tidak berapa lama, dia membuka selimutnya dan bangkit turun dari ranjang. Menuju meja belajarnya. Membuka laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

Itu sebuah stiker berbentuk beruang Pooh bertuliskan 'Punya Iton'..., dan ia menempelkannya di bajuku.

Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Bukankah ini berarti, aku adalah milik Iton? Aku tidak boleh dipinjam-pinjamkan tanpa seizinnya. Aku juga tidak boleh dijual-jualin tanpa seizinnya? Aku milik Iton sepenuhnya sekarang. Hahah.

Kemudian ia mengulurkan sesuatu ke tanganku. Itu adalah sebuah kepingan jigsaw puzzle.

Aku mengamati kepingan jigsaw puzzle itu. Dari bentuknya, aku ingat bagian mana itu. Itu adalah bagian terakhir dari jigsaw puzzle yang dulu aku susun. Sebuah jigsaw puzzle yang bergambar kartun anak-anak yang membentuk segitiga dengan susunan barisan 1, 2, 3, 4, 5, dst.

Aku beranjak dan mengambil jigsaw puzzle yang aku maksud dan meletakkan kepingan terakhirnya di sana.

Sekarang jigsaw puzzle itu telah utuh. Aku bisa melihat gambar kartun anak-anak dengan senyumnya yang ceria. Anak paling depan berjenis kelamin laki-laki. Tampak di bagian dadanya, ia mengenakan pita emas. Itu adalah bagian terakhir kepingan jigsaw puzzle yang diberikan oleh Iton kepadaku tadi. Kepingan yang diberikan Iton tadi memang berwarna emas. Rupanya, aku tidak melihat bahwa itu adalah sebuah pita emas. Dan aku baru sadar, ternyata semua anak yang ada di dalam gambar ini, mengenakan pita emas di dadanya. Aku rasa, mereka satu sekolahan.

Selepas itu, aku hanya bisa melihat jika Iton membelakangiku.

Aku merapikan selimutnya. Menunggu sejenak sampai terdengar suara nafas Iton mulai teratur.

Saat itulah aku beranjak bangkit dan meninggalkannya. Aku harus pulang.


--▬ ஜ۩۞۩ஜ ▬--

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang