[-Stadium 6.]

137 15 1
                                    


"Koko jadi babysitter anak SD?!" seru adikku ketika ia menanyakan aku akan kemana.


Aku cepat-cepat membungkam mulutnya. Bahkan saking buru-burunya, hidungnya pun ikut terbungkam oleh tanganku.


"Jangan bicara keras-keras. Jika papa sama mama sampai tahu, rencana koko untuk mengumpulkan uang, bisa gagal!" kataku pelan.


Ia menyingkirkan tanganku.


"Apa koko bisa?" tanyanya, kali ini dengan pelan dan hati-hati.

"Pekerjaannya gampang, tinggal nungguin sama ngajak main ajah, sih," jawabku.


Ia memandangku dengan tatapan meragukanku. Sepertinya ia tidak percaya jika aku akan sanggup melakukan pekerjaan itu.


"Kamu ga percaya?" tanyaku. "Koko beneran bisa, kok, jagain bocah. Emang kamu dulu siapa yang jagain kalo bukan koko?" tanyaku. "Dia ga ada bedanya sama kayak kamu, jadi, koko yakin kalo koko bisa kerja 'kek gitu," kataku sambil menggoyang-goyangkan dagu adikku dengan tangan kananku.


Ia terdiam ketika aku berbicara seperti itu.


"Selama sebulan ini, dari siang ini sampai sore, koko akan berada di sana. Jadi kamu bakalan di rumah sendiri. Nanti kalo sewaktu-waktu papa atau mama nanyain 'koko ke mana', bilang saja kalo koko lagi main," pesanku. "Pokoknya jangan sampai mereka tahu kalo koko cari uang dengan cara kek gini," tambahku.


Ia mengangguk.


"Lalu jangan sebut pekerjaanku ini menjadi babysitter. Karena yang koko akan jagain itu sudah bukan bayi lagi. Bahkan sudah bukan balita lagi," kataku. "Ya seumuran kamu waktu pertama kali datang ke sini, lah," kataku sambil mencolek hidung adikku.


Hmm, jangan sebut itu babysitter. Karena kesannya 'kek mbak-mbak yang dipekerjakan untuk menjaga bayi.

Lalu apa? Mannies? Male nannies? Aku geli dengarnya. Nannies itu lebih parah, seperti bibik-bibik pengasuh bayi. Atau terdengar seperti nenek-nenek yang sedang mengasuh bayi.

Aku lebih suka jika pekerjaanku ini disebut dengan pramusiwi. Sebut saja begitu. Pengasuh bocah.


"Koko bakalan jadi pramusiwi. Hahah!" tawaku renyah. "Sudah, kamu tenang-tenang saja. Tepat di hari ulang tahunmu nanti, koko sudah bisa belikan kamu konsol baru," kataku. "Koko berangkat sekarang,"


**


Empat puluh lima menit aku menempuh perjalanan dengan mobilku. Membutuhkan waktu yang lumayan lama dari hari kemarin karena aku terjebak macet. Jam siang seperti ini memang menjadi penghambat bagi siapa saja yang sedang ada keperluan di luar rumah.

Sebelum berangkat tadi, aku sudah memberi kabar kepada Om Emmanuel jika aku akan datang tepat jam satu siang. Tapi semua terjadi tidak seperti yang aku katakan—aku datang jam setengah dua kurang tujuh menit. Aku terlambat dua puluh tiga menit di hari pertamaku kerja menjadi pramusiwi.

Gold Ribbon: Dunia Kecil ItonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang