TOD 22

15.7K 1.6K 424
                                    


Linggar melihat ke arah ponselnya yang bergetar dan menyala-nyala menandakan kalau sekarang ada orang yang menghubunginya.
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak ada niat untuk mengangkatnya meski dirinya tau Rendilah yang saat ini sedang berusaha menelfonnya.

Linggar sesekali menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya.
Pemuda itu berusaha menahan sakit hatinya, dia berjuang untuk tetap kuat.
Tapi apa daya, kenyataan yang tadi di dengarnya dari Rendi dan Irwan tak pelak meluluh lantahkan benteng hatinya yang pernah bersumpah tidak akan menangis karena laki-laki.

Linggar menekan pedal gas semakin dalam hingga mobil itu kian cepat melaju.
Air matanya meleleh tak henti, berapa kalipun dia menghapus butiran itu maka butiran baru akan keluar dari pelupuk matanya.

"Brengsek...!!!"
Teriak Linggar sambil memukul kemudinya, pemuda itu membanting setir ke kiri tiba-tiba padahal dia saat ini berada di jalur cepat.
Untung saja sebuah truk besar tidak sampai menabrak mobilnya.

Sopir truk besar itu terdengar membunyukan klaksonnya dengan sangat keras.
Namun Linggar sama sekali tidak perduli, dia menghentikan mobilnya tepat di bahu jalan.

Pemuda itu menunduk dengan tubuh bergetar hebat.
Dia meremas dadanya yang terasa sangat sakit hingga membuatnya tidak mampu bernafas dengan benar.

"Huuuuaaaaaa.......!!!!"
Teriak Linggar lantang, pemuda itu menangis terisak-isak.
Rasa sakit hatinya seperti membelah dadanya, rasanya ia ingin membuka pintu mobilnya dan langsung berlari menerjang kewarasannya menuju ke arah kendaraan yang banyak berlalulalang.

Biarkan saja tubuhnya di sambar kendaraan dan terhempas jatuh.
Setidaknya dirinya tidak akan merasakan luka di hatinya.

Jika tidak ingat orang tuanya hanya memiliki dirinya saja, pemuda itu tidak akan berfikir dua kali untuk melakukan kegilaan itu.

"Apa sih salah gue, apa karena gue itu gay makanya gua ga' pernah pantes jatuh cinta...??"
Ucap Linggar di sela isaknya.
"Padahal gue sendiri ga' bisa ngendaliin perasaan ini.
Kalau gue tau bakal kek gini harusnya gue ga' pernah pacaran lagi..."

Linggar menyandarkan tubuhnya kebelakang pemuda itu menutup wajahnya dengan tangan.
Lama Linggar menangis sesungukan sendiri, pemuda itu mencoba untuk tegar.
Walaupun dirinya masih meneteskan air mata, tapi saat ini ia lebih tenang.
Pemuda itu mendesahkan nafas yang membuat dadanya sedikit lega.

Sepertinya air mineral yang di teguknya beberapa waktu lalu cukup berhasil membuatnya tenang.

Mata Linggar terlihat berubah garang, dia segera menyalakan mobilnya.
Pemuda itu melajukan lagi kendaraannya menuju ke rumah Arga.

Mungkin jika dirinya perempuan dia tidak perlu sungkan datang ke tempat kerja Arga untuk meminta penjelasan.
Tapi mengingat dia seorang pria, berkonfrontasi dengan Arga di tempat kerjanya hanya akan membuat malu dirinya sendiri.

*****

Anya berdiri di dekat pintu dengan sesekali melihat ke arah ponselnya.
Gadis itu tampak gusar, dia berjalan mondar mandir dengan wajah kebingungan.

Suara ponselnya membuat raut wajah  adik Arga itu menegang seketika.
"Mas Arga...!"
Panggil Anya kala orang yang di nanti-nanti menghubunginya.

"Iya dek...?"

"Mas bisa pulang sekarang ga...?"

"Emang kenapa....?
Ibu drop lagi ya...?"

Anya menoleh ke belakang dan sedikit menjauh dari pintu, gadis cantik itu berjalan menuju ke teras rumah.
"Mas Linggar dateng ke rumah, Anya ga' tau kenapa tapi kayaknya Mas Linggar habis nangis.
Dia nunggu Mas pulang tuh"

Truth or Dare (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang