***Nathaniel masih saja terus menggenggam tangan gadis di hadapannya, mengelus cincin yang tersemat di jari manis kanan itu, cincin pertunangan mereka. Terbersit keinginan dalam hatinya memberikan cincin baru, melamar Eleanor kembali dengan cara yang benar.
Ia tak pernah menyadari bahwa keberadaan cincin itulah yang kini menyadarkan dia dari logika-logika yang ia tentang sebelumnya.
Jika saja sandiwara pertunangan itu tidak pernah terjadi, apakah ia tetap akan menyadari perasaannya? Jika saja Eleanor tidak memintanya menjauh setelah mengakui perasaannya, apakah ia juga tetap tidak bisa membedakan apa yang hatinya rasakan saat ini?
Satu hal yang ia akui dan sadari, bersama dengan Eleanor bukanlah hal yang dulu ia kira hanya sebagai teman bermain dan bercanda, juga bukan hanya sekedar adik perempuan yang lucu dan menggemaskan. Semuanya lebih dari itu, apa yang terpatri di otaknya akan kedekatan mereka selama ini adalah salah. Nyatanya keceriaan gadis itu, senyum dan tawanya, sikap kekanakan dan manjanya adalah sesuatu yang memberikan kehangatan tersendiri pada dirinya. Seolah menemukan teman untuk saling bercanda dan bermanja, hal yang ia rindukan sebelum semuanya hilang dikendalikan oleh papanya.
“Kak Iel, supirnya udah nungguin dari tadi tuh,” sela Eleanor membuyarkan lamunan Nathnaiel, tapi ia enggan melepas genggaman tangannya. Tak rela kebersamaan mereka cepat berakhir.
Eleanor memang telah meminta ijin kepada Talita untuk pulang ke rumahnya setelah makan siang tadi, tapi Nathaniel menolak keinginan gadis itu dan menahannya lebih lama. Disinilah mereka berada sekarang, teras rumah kediaman Yusuf Akbar. Nathaniel duduk menggunakan kursi roda yang tadi pagi dibawa oleh perawatnya. Ada tiang kecil di bahu belakang untuk menyangga infusnya.
Ia tak menghiraukan kondisinya yang masih lemah dan kepalanya terasa berputar, ada hal lain yang cukup membuatnya gelisah sekarang. Nathaniel menghela napas lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.
“Kamu beneran mau pulang? Kok gak nemenin aku sampe sembuh?” ucap Nathaniel pelan dengan wajah memelas.
“Kakak nih kalo sakit nyebelin, ihh.”Eleanor menarik tangannya lalu memasang wajah marah, tangan bersidekap di depan dada, dan bibir mungilnya mengerucut.
Nathaniel terkekeh meliat aksi merajuk Eleanor, ia memang enggan melepas gadis itu pulang ke rumahnya. Apalagi hatinya masih belum tenang sejak pengakuan perasaanya tadi pagi. Eleanor hanya mendiamkannya tidak mengungkit pembicaraan itu seolah tidak ada yang terjadi antara mereka. Itu yang membuat hati Nathaniel resah, tidak memedulikan fisiknya yang sedari tadi minta untuk beristirahat kembali.
“El nggak bisa nemenin terus, Kak. Ngerti dong. El beberapa bulan lagi udah mau Ujian Akhir, loh. Nggak bisa main-main lagi.” Eleanor kembali meyakinkan Nathaniel.
“Aku pasti akan kesepian kalau kamu nggak datang lagi ke sini, El,” lirih Nathaniel.
Kini berganti Eleanor yang menghela napasnya, “Makanya cepet sembuh. Biar bisa anter jemput El lagi, ketemuan kapanpun Kakak mau. Lagian nanti kalau El ikut-ikutan sakit kayak Kakak gimana? El sudah mau ujian loh.”
Nathaniel mau tak mau mengangguk lemah menyadari perkataan gadis itu, ada masa depan penting yang harus diraih Eleanor dalam waktu dekat. Namun, entah kenapa ada rasa ketakutan di sudut hatinya, takut gadis itu akan meninggalkannya.
“Lalu bagaimana dengan hubungan kita?” tanya Nathaniel kembali menatap ke dalam mata Eleanor, ia menangkap mata indah itu sempat terkejut dengan pertanyaanya.
“Bisakah kita bicarakan itu nanti? Ada prioritas lain yang harus El utamakan sekarang. Biarlah kita berjalan seperti hari-hari sebelumnya,” balas Eleanor dengan raut wajah lelah yang menyentil ego Nathaniel saat melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
E L L e : My Wonderwall
Teen FictionHidup Eleanor terlihat sempurna, semua orang mengagumi dan menyayanginya, terlepas dari segala tingkah manja dan kekanakkan nya. Ia gadis cantik juga baik hati. Dibalik kesempurnaanya, ada satu hal yang tidak bisa ia miliki, Nathaniel Adlian Akbar...