"Satu, dua, tiga!"
Aku memberi Lisa bentuk gunting dengan jemariku, Lisa memberiku kertas. Dia langsung menutupi wajahnya, tahu kalau dia kalah.
"Omo... Aku mau mengulanginya lagi!"
"Tidak mau!"
"Aish," dia menghela, menerima kekalahannya, "Mau bagaimana lagi."
Aku tersenyum lebar sambil memberikan bukuku kepada Lisa, perjanjiannya siapapun yang menang akan dibacakan dongeng dan dibiarkan tidur duluan, sedangkan yang tidak menang akan berusaha untuk tidur tanpa bantuan siapapun, itu sulit, percayalah. Ini yang sering kami lakukan ketika tidak bisa tidur.
Lisa membuka halaman demi halaman dari bukuku, mencari bagian yang bagus dan mulai membacanya, "The best love is the kind that awakens the soul and makes us reach for more, that plants a fire in our hearts and brings peace to our minds. And that's what you've given me. That's what I'd hoped to give you forever" Lisa membalik halamannya lagi, "So, it's not gonna be easy. It's gonna be really hard. We're gonna have to work at this every day, but I want to do that because I want you. I want all of you, forever, you and me, every day."
"Yah, Lisa-ya." aku membuka mataku yang hampir terpejam, "Kamu hanya membaca quotes saja, tidak mendongengkanku."
"Ini novel, bagaimana aku harus mendongengkanmu dengan ini?" dia menaruh bukuku di meja,
"Lupakan saja. Aku mau tidur. Selamat malam."
Aku membungkus diriku dengan selimut, kupaksa kedua mataku terpejam. Lisa masih dalam posisi duduk di kasurnya, mungkin dia bingung mau melakukan apa. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara panggilan, Lisa mengangkatnya sebelum aku bisa membuka mataku, paling itu keluarganya dari Thailand. Tapi setelah itu, yang aku dengar bukan aksen dan bahasa Thailand-nya, melainkan omo dan suara bisik-bisikkan. Aku yang penasaran mulai membuka mataku, dan terkejut ketika Lisa menaruh ponsel Jungkook di kasurku dan lari keluar kamar seperti dikejar anjing bulldog.
"Lalisa! Mau kemana kamu?! Kembali kesini!"
Aku mengambil ponsel Jungkook dan terkejut ketika melihat wajahnya di layar, setelah sadar ternyata kami berdua sedang terkoneksi dalam videocall, aku spontan menutup wajahku dengan bantal, menyisakan hanya mataku untuk melihat apa yang dia lakukan. Dia hanya tertawa melihat tingkahku.
"Annyeonghaseyo, Park Chaeyoung-ssi." aku tidak menjawabnya, "Singkirkan bantal itu, aku mau melihatmu."
"Andwae!" aku meremas bantalku, "Mau apa kamu?"
"Singkirkan bantal itu dulu."
"Tidak mau!"
Dia tertawa, "Kenapa tidak mau?"
"Aku tidak pakai make up."
"Lalu? Kamu takut aku melihatmu tanpa make up? Aku sudah melihatnya dari beberapa minggu yang lalu di Vlive."
"Mwo?!" mataku melotot, terkejut mendengarnya, "Jadi kamu selama ini..."
"Sebagai fans, iya, aku selalu mencari tahu tentang idolaku."
"Kamu bukan fansku." aku melihat kearah lain, tidak sadar telah menjatuhkan bantalku untuk menyangkal pernyataan bodohnya itu, jadi aku langsung menarik bantalku lagi,
"Kamu cantik. Kamu pasti tahu itu, kan? Setiap hari orang-orang selalu memujimu." dia mendekatkan wajahnya ke layar lalu berbisik, "Apa kamu tahu kalau pujianku selalu tersisip diantaranya?"
Pipiku memerah, aku tidak mungkin bisa menyingkirkan bantal ini dari wajahku, "Langsung saja. Apa maumu? Aku pikir kamu tidak mau berurusan denganku lagi setelah pesan singkatmu yang menjengkelkan itu."
"Nah," dia tertawa kecil, "Aku juga datang untuk menjelaskan hal itu. Aku tahu kamu marah."
"Aku tidak marah! Aku hanya... Kesal." aku tidak menatapnya kali ini, "Aku sudah menulis banyak, melakukan spam bodoh itu dan kamu hanya menjawabnya dengan tiga huruf? Siapa yang tidak kesal? Aku merasa tidak dihargai."
"Dan ini caraku untuk menghargaimu sekarang. Lihat aku."
Aku tetap tidak menatap layar ponselnya, "Tidak mau."
"Lihat aku."
"Tidak."
"Setidaknya lihat layar ponselku yang ada digenggamanmu."
Aku mendelik sedikit dan melihat pemandangan yang indah, membuatku menjatuhkan bantalku untuk fokus melihat gambaran di genggamanku.
"Kamu dimana?""Hotel, di New York. Pernah kesini?"
Aku menggelengkan kepalaku, aku tahu dia masih bisa melihatku, "Aku mau lihat yang lainnya."
Dia memutar kamera ponselnya-ponselku ke segala arah, memperlihatkanku kota New York yang megah, "Cuacanya sedang bagus."
"Aku mau lihat yang lain lagi."
"Apa? Aku sudah memperlihatkan setiap sudutnya."
"Wajahmu. Aku mau lihat wajahmu."
Dia membalik kameranya, pipinya memerah tapi dia masih bisa menatapku seperti lelaki sejati, "Lalu apa?"
"Posisikan dirimu di depan pemandangan tadi, perlihatkan aku dirimu diantara pemandangan itu." aku tertawa kecil, tahu apa yang akan kulakukan,
Dia melakukannya, sekarang dia seperti menyatu dengan keindahan. Ah, tidak, maafkan pikiranku yang terlalu frontal ini.
"Nah, begitu lebih baik."
Dia terdiam untuk beberapa menit, tataan rambutnya sudah dihancurkan angin, akhirnya dengan malu-malu, dia bertanya, "Apa aku seperti pemandangan?"
"Aniya, wajahmu jadi gelap." aku menertawai candaanku sendiri, "Disitu saja biar aku tidak bisa melihat wajahmu."
Dia menatapku dengan wajahnya yang cemberut, "Tidak lucu, Chaeng." tapi beberapa detik kemudian, dia ikut tertawa,
Malamku terasa seperti hari baru dimulai. Tapi karena Jungkook selalu mengkhawatirkanku seperti induk ayam kepada anak-anaknya, dia terpaksa menyudahi videocall lima menit setelahnya, sebelum dia benar-benar mematikan panggilannya, dia menyanyikan lagu Euphoria.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Notification • rosekook
Fiksi PenggemarPonsel Jungkook dan Rosé tertukar, inilah pasang surut mereka untuk mendapatkan ponsel mereka kembali. © yoohyeont