MELATI PUTIH
Oleh : Galih Belva Risandy (G.B.R. Gabeldy)Setiap hari, Setiap dipagi hari, kusiram dirimu dengan air yang menyejukkan. Tanah yang membuatmu kokoh berdiri kini telah basah dan menyalurkan nutrisi untuk akar panjangmu serap. Harum aromamu tidak pernah berubah, bahkan sejak enam bulan yang lalu kau berpindah tangan padaku.
Kelopak putihmu melambangkan kesucian, seperti rasa cintaku pada wanita itu yang tulus dan murni. Kini dia telah pergi ke suatu tempat yang jauh, yang bahkan kedua tanganku tak akan sanggup menggapainya. Hanyalah kata-kata singkat didalam ponsel yang tetap membuat kami saling terhubung satu sama lain.
Dalam pesanmu kau berkata...
(“Disini sangat dingin. Bagaimana kabarmu disana?”)
Sungguh senang sat aku tahu bahwa dirimu masih mencemaskan diriku disana, walau harus menahan suhu yang dingin itu. Kuharap jaket dan mantel hangat bisa membuatmu hangat, dimanapun kamu berada.
Keberadaanmu membuatku bersemangat dalam menjalani hidup. Aku bekerja, dan bekerja setiap hari. Menabung banyak uang untuk menemuimu, ditempat yang jauh itu. Tidak sabar rasanya aku ingin bertemu denganmu. Hatiku berdebar-debar antara merasa senang dan khawatir.
Akankah dirimu akan merasa senang jika kita bertemu?
Bohong jika pertanyaan itu tidak menghantuiku. Semakin lama, rasa cemas sini semakin besar. Namun, pesanmu yang berikutnya membuat sedikit beban yang melekat padaku melayang entah kemana.
(“Aku merindukanmu.”)
Hanya itu saja yang kubutuhkan. Tekadku tak akan goyah, meski harus diterpa badai dan melalui jalan penuh duri. Aku akan tetap menjaga perasaanku padamu.
Enam bulan lagi telah berlalu sejak kepergianmu, kini melati putih yang kau titipkan padaku telah tumbuh menjadi bunga yang indah dan harum. Aku terus menyiraminya dengan teratur dan memberikannya pupuk. Harum bunga melati ini mengingatkanku akan aroma tubuhmu yang membuatku melayang. Oh, aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengamu.
Hingga suatu hari, ayahku jatuh sakit dan membutuhkan banyak uang untuk membayar biaya pengobatannya. Ibuku sudah memakai uang simpanannya, dan itu masih belumlah cukup untuk menutupinya. Dengan senyuman, aku berkata kepada ibuku bahwa aku juga akan membantu melunasi biaya pengobatan ayah.
Bagiku, uang tidaklah berarti apa-apa jika yang kulakukan hanya membiarkannya berdebu didalam tabunganku. Dengan begitu, masalah biaya pengobatan ayah sudah selesai. Meski hampir semua tabunganku terpakai, aku tidak masalah dengan itu, karena tidak ada rumah yang terbaik selain keluarga. Kehangatan yang mereka berikan tidak bisa dibandingkan dengan beberapa rupiah.
Pada tanggal 10 September, aku mengirim pesan padamu...
(“Maafkan aku, mungkin pertemuan kita akan sedikit terlambat. Kuharap nyanyianku bisa mengurangi rasa rindumu kepadaku.”)
Aku menyanyikan sebuah lagu yang kutulis sendiri diatas kertas, berisikan seluruh perasaanku untuk gadis yang aku cintai. Goresan tinta hitam itu, adalah wujud dari perasaanku padamu. Meski kita tidak bisa bertemu, kuharap suara dan perasaanku bisa tersampaikan padamu. Sehingga dirimu tahu, seberapa besar cintaku padamu.
Petikan senar gitar ini, adalah pengantar. Mengiringi rasa sepiku yang melayang pergi tanpa adanya dirimu disisiku. Tanpa sadar, air mataku telah menetes membasahi kedua pipiku. Meski diriku mencoba untuk tegar, kecemasan dan kegelisahan selalu menghampiriku.
Betapa memalukannya diriku, sebab pernah meragukanmu. Betapa bodohnya diriku, sebab pernah mencoba untuk menyerah padamu.
Meski begitu, cintaku tetap tak akan goyah. Hanya dirimu, dan hanya pada dirimu cinta ini kuberikan. Kuhapus air mataku dengan selembar tisu, dan menatap pantulan wajahku pada cermin bulat yang menempel dilemari pakaianku.
Wajah itu adalah wajah seorang pujangga cinta. Seorang pejuang cinta yang rela melakukan apa saja demi cintanya. Ku tepuk kedua pipiku untuk menyadarkan diriku, bahwa sekarang bukanlah waktunya untuk merenungi keadaanku dan memikirkan masa lalu yang tidak akan pernah bisa berubah.
Disini, saat ini, yang ada didalam kamar ini hanyalah diriku, dan diriku yang ada dimasa yang akan datang. Jadikanlah masa lalu sebagai pedoman, dan jadikan penderitaan sebagai pengalaman, demi masa depan dimana kebahagian akan membelaiku dalam sayap kehangatan.
Pada tanggal 26 Desember, setelah hampir tiga bulan tanpa kabar, pesan darimu membuat nafasku tercekat. Dalam pesan itu tertulis kata-kata yang mengoyak hatiku. Sebuah pesan dari ponselmu yang ibumu gunakan untuk mengatakan padaku bahwa kamu, keberadaan yang memberiku semangat untuk menjalani kerasnya kehidupan, sekarang telah pergi lebih dulu menuju kesisi-Nya.
Aku sedih, sangat sedih. Air mataku tak bisa berhenti untuk mengalir. Aku menangis dalam pelukan ibuku, yang juga menangis merasakan kesedihan yang sama seperti yang kurasa. Dalam bayanganku, aku melihat sosok dirinya. Paras wajahnya yang cantik jelita, dan senyuman indahnya. Ditengah hamparan bunga melati yang putih bersih, sosok dirinya perlahan menghilang, dan sekali lagi, tanganku tak sanggup untuk menggapai dirinya.Judul : Melati Putih
Nama Akun Wattpad : Gabeldy
Facebook : Galih Belva Risandy
Instagram : -
Tanggal Pembuatan : 20 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Member
Short StoryCerpen berlian karya grup member whatsapp : Kuy, Write! Indonesia Karya singkat para penulis muda.