Nama: Dewi Setiawati
Akun wp: DipsiTeletubbies
Judul: Bukan salahmu
Isi:
Hari itu cuaca tengah tidak bersahabat. Tapi, bagaimanapun itu adalah rahmat Tuhan. Hujan disertai gemuruh yang menakutkan. Dwita yang entah mengapa lebih akrab disapa Tia, sedang berteduh di sebuah gardu di pinggir jalan. Ia sedang dalam perjalanan menuju rumah seseorang. Karena nekat membawa motor daripada mobil, inilah akhirnya. Padahal tadi ayahnya sudah memperingatkan.
“Iya, Yah?” sapa Tia ketika mengangkat panggilan telepon dari ayahnya. Ayahnya pasti khawatir, mengingat jarak dari rumahnya dengan tempat yang Tia tuju kira-kira memakan waktu 30 menit. Sedangkan ia baru saja keluar dari rumah selama 10 menit, ditambah 5 menit ia diam berteduh. Untungnya dia tidak sendirian, karena ada beberapa pengendara motor lainnya yang ikut berteduh. Tia meringis ketika menyadari ia satu-satunya perempuan yang ada di situ.
“Nggak pa-pa, Yah. Iya ini lagi neduh. Enggak, ada orang kok.” Tia tersenyum karena ayahnya yang terlalu khawatir menurutnya. “Hehe, maaf, Yah,” ujarnya ketika ayahnya marah karena ia tidak menurut. “He-em, dah Ayah.”
Tia memasukkan ponselnya ke dalam tas kecilnya setelah panggilan dimatikan. Ia mendongak dan menengadahkan salah satu tangannya. “Udah terang kayaknya,” gumamnya. Lalu ia mendekati motornya dan melanjutkan perjalanannya. Tia membalas tersenyum ketika tak sengaja bertatapan dengan seorang lelaki. Mengenakan helm, Tia mulai melaju. Sebelumnya Tia sempat melirik jam tangannya dan sekarang sudah pukul 16:40.
●●●
“Assalamu'alaikum,” ucap Tia lalu tanpa menunggu jawaban ia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
“Wa'alaikumussalam,” jawab seorang wanita yang masih terlihat muda dengan statusnya sebagai seorang ibu dengan tiga anak.
“Kok sepi, Mah?” tanya Tia setelah menyalami wanita yang meminta dipanggil Mamah itu.
“Rendi sama Rika ada acara di sekolah” jawab Mamah. “Kalo Divan, kamu ke kamarnya aja, ya.” Mamah mengusap lembut rambut Tia. Lalu Tia menyadari lebam di tangan Mamah yang putih.
Tia mengedarkan pandangannya, ruang tamu terlihat baik-baik saja. Kemudian ketika Tia berjalan menuju kamar Divan dan melewati dapur, tampak kacau dan benar-benar berantakan di sana. Tia menggigit bibir bawahnya membayangkan apa yang telah terjadi dan apa yang sedang dilakukan Divan di kamar.
“Van?” panggilnya sambil mengetuk pintu. “Divan, buka, heh!”
Pintu terbuka, sedikit karena Divan hanya mengeluarkan kepalanya. “Apa?”
Tia mengernyit. “Apa apanya?” Mata Tia menyipit lalu ia mendorong paksa pintunya agar terbuka. Tia langsung masuk dan berbalik menutup pintu mengabaikan Divan yang meringis karena terjengkang karena ulahnya. Divan mengumpat. Sebenarnya ia terjatuh di kasur, tapi tangannya yang terluka...
“Divan!” Tia menjerit tertahan setelah menyadari luka di tangan Divan. Kamarnya berantakan dan Tia melihat sebuah pisau tergeletak di lantai. Sepertinya Divan langsung melemparnya dan menghentikan aksinya setelah mendengar suara Tia.
Tia lantas mengambil kotak P3K yang tesedia di kamar Divan dan berlutut di bawah Divan yang terduduk di kasur. Ia meraih tangan Divan yang terluka dengan kasar.
“Akk, auh, pelan-pelan, hei!”
Tia mengabaikan Divan yang kesakitan. Ia mengusap kasar pipinya yang basah oleh hujan dan air mata. Tia mengobati luka-luka di tangan Divan dengan lembut. Meski matanya agak buram karena ia terlanjur menangis. Divan menghela napas mendengar isakan Tia. Divan mengangkat satu tangannya dan hendak menenangkan Tia dengan mengusap kepalanya, tetapi, Tia menepisnya. Divan meringis. Tia menoleh, dan ternyata kedua tangan Divan terluka.
“Haishh!” geram Tia. Ia kembali mengusap air matanya menggunakan lengannya yang terbalut jaket berwarna merah.
Divan terkekeh. Tia terlihat lucu setiap kali sedang panik. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia terluka. Melukai diri sendiri lebih tepatnya. Tia bangkit setelah selesai dengan pekerjaannya. Ia menatap tajam pada Divan yang hanya menyengir. Tia bersedekap.
“Ngapain kamu?!”
“Ampun, Nyonya!” Divan mengatupkan kedua tangannya. Memasang ekspresi ketakutan berniat menggoda Tia.
Tia mendongak, ia menyisir rambutnya yang menempel di wajahnya menggunakan tangan. Tia menarik napas laku menghembuskannya dengan berat. Ia lalu menuju pintu. Divan melotot ketika menyadari Tia marah dan sepertinya berniat pulang. Divan lalu berdiri dan langsung menarik Tia agar berbalik ketika tangannya menyentuh gagang pintu. Tia membuang muka dan Divan menunduk.
“Maaf ...” lirih Divan.
Tia cuma menggertak, Divan tau. Mana mungkin ia meninggalkan lelaki yang dicintainya ini, yang sudah seharusnya Tia di sisinya, menemani. Walaupun ia sendiri tidak yakin cara berpikirnya ini benar atau tidak. Divan masih mengenggam tangan Tia. Tia bukan perempuan yang mudah luluh ketika marah, karena sebenarnya, ia tidak pernah benar-benar marah. Divan menarik Tia agar duduk di kasur.
“Kamu tadi liat, kan?” Divan menunjuk pintu. Tia mengangguk mengerti. “Mamah sama papah berantem lagi,” lanjutnya sambil tersenyum. Tia tau. Tetapi, ia tetap tidak bisa bersikap biasa ketika kejadian ini terulang.
“Untung Rendi sama Rika nggak di rumah,” ujar Divan.
“Van,”
Divan terkekeh. “Aku tau, Tia. Tapi, kamu tau aku nggak bisa berhenti,” kata Divan. Mengingat sudah terlalu sering Tia memberinya wejangan yang hanya mendekam di kepala dan tidak bisa menghentikan aksinya.
Ponsel Divan berdering di atas nakas. Ia meraihnya lalu melirik Tia setelah melihat nama pemilik nomor yang tertera di sana. “Halo, Tiw?” samar yang Tia dengar. Tia berdiri dan mulai merapikan kamar Divan ketika lelaki itu keluar kamar demi mengangkat panggilan. Tia tersenyum tipis sambil melipat selimut dan menyusun bantal. Air matanya kembali jatuh ketika ia membereskan barang-barang yang lainnya.
“Masa gara-gara ini bakal bikin aku main pisau juga,” gumamnya ketika ia meraih pisau. Tia mengusap pipinya dan berbalik. Divan sudah berdiri di pintu dan bersandar sambil menatapnya.
“Apa?” tanya Tia. Ia berjalan dan hendak keluar kamar untuk mengembalikan pisau ke dapur. Lagi, Divan mencekal tangannya. “Divan, not now,” kata Tia dengan lirih. Divan lalu melepaskannya.
Tia menghampiri Mamah yang terlihat sedang membereskan kekacauan yang ia buat bersama suaminya. “Kubantu, Mah.”
Mamah tersenyum. “Kamu nggak pa-pa, Sayang?”
“Kenapa, Mah?”
Mamah memandangnya lekat.
“Emm, om-eh, maksudnya papa, kemana?” tanya Tia yang berusaha mengalihkan topik. Tetapi pada akhirnya ia merutuki kebodohannya. “Nggak usah dijawab, Mah,” kata Tia. “Otakku lagi nggak bener, nanti kubawa ke bengkel, deh.”
Mama terkekeh. “Ada-ada aja kamu,” jawabnya. “Tia, nggak mau ganti baju? Itu basah kayaknya.”
“Enggak usah, Mah. Tia langsung pulang aja, ya,” ujarnya ketika telah selesai membereskan dapur. Entah apa yang kedua oramg tua ini ributkan kali ini, hingga bertengkar di dapur.
“Loh? Langsung pulang?” Tia mengangguk. “Divan! Antar Tia pulang!” terika Mamah.
Tia tertawa. “Nggak usah, Mah. Ngapain, deh. Nih,” Tia menunjukkan kunci motornya.
●●●
Tia baru saja kembali dari minimarket. Ia membeli minumannkaleng dan makanan ringan karena teman-temannya akan berkumpul di rumahnya malam ini, sekarang. Bersamaan dengan ia menutup pintu, suara klakson dari kendaraan motor teman-temannya memenuhi halaman rumah. Tia tergelak ketika ia membuka pintu.
“Kalian ini! Berisik tau, ganggu tetangga!”
Mereka tertawa. Ada Wulan, Tiwi, Fikri dan Divan. Tia lalu mengajak mereka semua masuk. Mereka masuk ke dalam ruangan khusus tempat biasa mereka berkumpul. Setelah tadi memberi salam pada ayah dan ibunya Tia yang sedang menonton televisi.
Divan menghempaskan tubuhnya ke kasur diikuti oleh Fikri. Wulan menyalakan televisi lalu duduk di lantai bersebelahan dengan Tiwi dan Tia.
“Hmm, mau ngapain kita?” tanya Tiwi.
“Tidur,” jawab Fikri sambil menguap.
“Yee, dasar kelelawar!” sahut Wulan.
“Apa hubungannya?” tanya Divan yang mendudukan diri.
“La, kelelawar kan kalo malam tidur kalo siang melek,” jawab Wulan dengan pedenya.
“Kebalik, oy!” Fikri melempar bantal ke arah Wulan dan tepat mengenai mukanya. Cewek itu memberengut. Lalu bangkit dan membalas Fikri dengan mencubitnya.
Mereka semua tertawa. Divan meraih gitar yang disandarkan ke dinding. Ada dua gitar, lalu Tiwi meraih yang satunya.
“Kamu udah jago, Tiw? Eh, gimana? Ada perkembangan?” tanya Tia penuh antusias.
“Gimana bisa jago kalo latihannya cuma di sini pas kumpul doang,” kesal Tiwi sambil mencebik.
“Sini aku ajarin. Atau aku jadi guru private kamu aja kali, ya, Tiw?” Divan menerawang. “Surat lamaran kerja belum ada kabar. Di rumah nganggur, males banget kalo Cuma dengerin dua manusia adu mulut.” Divan menggenjreng gitarnya.
“Kamu mau kusate, Van?”
“Hah?” sahut Divan tak mengerti maksud Wulan. Begitupula Tiwi.
Tia meringis. “Eh, dvd film yang aku ceritain waktu itu udah sampe tadi siang.”
●●●
Tia melambaikan tangannya pada teman-temannya yang kini telah meninggalkan rumahnya. Jam menunjukkan pukul sembilam malam. Tia menoleh pada Divan yang masih diam di sampingnya.
“Kamu kenapa?” tanya Tia tanpa menatap wajah Divan. Ia meraih tangan Divan untuk melihat bekas luka tempo hari. “Udah kering,” gumamnya. Kali ini ia mendongak.
“Berhenti cinta sama aku, Dita,” pinta Divan memakai nama panggilan Tia yang lain. Ia menatap dalam-dalam mata yang penuh rasa sayang itu.
“Kenapa?” Tia berusaha sekuat mungkin untuk tetap menatap Divan. “Apa yang aku lakuin dan bikin kamu ngomong kayak gitu?” tanyanya tercekat.
“Semuanya,” jawab Divan. “Semua yang kamu lakuin itu bikin aku ngerasa bersalah,” lanjutnya. Divan meraih kedua tangan Tia.
Tia tersenyum. Sorotnya kini memancarkan ketakutan. Ia takut kehilangan Divan, takut dibenci Divan, takut jika lelaki ini memilih meninggalkannya. “Aku, kan, udah bilang kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu.”
“Tia, aku bakal nyakitin kamu,” Divan menggeleng. “Bukan, aku udah nyakitin kamu. Dan ini bakal lebih sakit, Tia ...” Divan menunduk.
Tia lalu mengusap pipi Divan, ia tersenyum lembut. “Kamu nggak pernah nyakitin aku, aku udah sering bilang, kan?” ia balik mengenggam tangan Divan. “Sekarang bilang, ada apa?”
Divan mengangkat kepalanya. Dan mengucapkan kata-kata yang keluar dari mulutnya demgan ragu. Tetapi, Divan berusaha jujur. “I'm falling in love ....”
“Wow! Iya? Bagus dong, kamu normal,” Tia terkekeh.
“Karena itu aku minta kamu buat move on. Jangan bikin aku ngerasa bersalah karena nggak bisa bales perasaan kamu.”
“Divan, kapan aku minta kamu balas perasaan aku?” tanya Tia. “Hei, aku nggak pa-pa,” katanya. “Masa aku sedih kalo liat kamu seneng? Aku pasti ketularan seneng dong,” ujarnya lagi sambil tersenyum lebar.
Lagi-lagi Divan menunduk. “Kamu-"
“Sstt, udah-udah. Kamu lebay, deh. Akunya seneng gini kok. Eh, siapa cewek itu? Aku kenal nggak? Oh, dia tau nggak kalo kamu suka? Nanti cerita ke aku, ya. Ha! Bagus, nih! Aku bakal bantu kalian jadian!” seru Tia terlalu bersemangat.
“Tia-"
Tia berdecak. “Ish, gimana, sih! Aku cemberut, nih. Aku nggak sakit, Divan!” geramnya. “Aku cinta kamu, aku sayang kamu, nggak berharap timbal balik. Aku cuma mau kamu bahagia, aku pasti bahagia liat kamu bahagia.” Tia mencebik. “Finish pokoknya. Udah, kamu sekarang pulang udah malem.” Tia mendorong Divan menuju motornya. “Babay,” ucapnya setelah mendaratkan kecupan di pipi Divan, seperti yang biasa ia lakukan. Mungkin ini yang terakhir.
Tia masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia duduk diam di kasur, pundaknya luruh. Ia mendongak, matanya panas. Tia menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di depannya. Lalu ia lihat dengan jelas bagaimana bulir bening itu berjalan pelan di pipinya. Juga matanya yang memerah. Tia turun dari kasur dan meringkuk di lantai. Tia meremas rambutnya dan isaknya tak tertahan. Ia terbatuk karena tangisnya tak keluar dengan sempurna.
“Nggak boleh sakit,” gumamnya sambil menekan dadanya. “Nggak boleh sakit, Divan harus seneng. Divan harus seneng.”
Lalu perempuan yang terlihat kuat itu tetap menangis. Perempuan yang tidak pernah marah itu berbalik miring. Perempuan yang berbohong tidak pernah sakit itu menyandarkan kepalanya pada kasur. Matanya terpejam, mungkin akan hujan malam ini, karena kamarnya terasa dingin. Air matanya mendahului air langit yang masih berbentuk gumpalan mendung. Gadis itu terus terisak, hingga ia tertidur dengan posisi duduk.
Dengan bentuk hati seperti kertas yang diremas. Kusut, tetapi masih bisa dipakai untuk menulis. Atau air sungai yang kotor karena lumpurnya yang naik berkat hujan terlalu deras, tetapi masih bisa digunakan ketika lumpur itu kembali menggumpal di bawah. Ini bukan akhir. Tia akan tetap menyayangi lelaki itu dengan kewarasan otaknya. Meski dengan sengatan lebah di hatinya. Karena sakitnya, bukan salah lelaki yang dicintainya.
ENDTitimangsa: Balikpapan, 29 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Member
Short StoryCerpen berlian karya grup member whatsapp : Kuy, Write! Indonesia Karya singkat para penulis muda.