Mampu Bersyukur

14 0 0
                                    

Nama: Attania Rachma Fourida
Nama akun WP: atnrachida_19
Isi:

Hujan telah reda, seorang anak kecil berusia 7 tahun masih berteduh di depan toko baju sambil membawa koran yang masih banyak belum terjual.Dengan baju lusuhnya, hawa dingin sesekali menusuk kulit hitamnya. Sungguh malang nasibnya, di saat-saat seperti ini seharusnya anak seumuran dia itu bermain bukan bekerja keras untuk membiayai hidupnya. Dia tinggal sebatang kara, orang tuanya hilang ketika dia terpisah di pasar malam. Bisa makan sehari saja, sudah bersyukur baginya.
Malam tiba, kakinya menelusuri jalan berbatu dengan bantuan alas kaki seadanya yang setidaknya bisa mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Rumah kardus tempat tinggalnya, di bawah jembatan tempat berkumpulnya anak jalanan. Mengais rezeki di mana saja ia berada, asalkan bisa ia tetap menjalaninya. Bukan mudah hidup seorang diri, tidak kenal siapapun dan harus berusaha mempertahankan hidupnya. Berharap suatu saat Tuhan mengubah alur kehidupannya dan mempertemukan dengan kedua orang tuanya.

Ketika beranjak tidur, tak sengaja matanya menatap arah luar dan seketika jantungnya terpompa lebih cepat. Bayangan sosok berjubah hitam mengintai dirinya. _Siapakah dia_ , batinnya. Bangkit dari tidurnya, lalu keluar untuk melihat sosok misterius itu. Namun, ketika dilihatnya sosok itu menghilang entah halusinasinya saja atau realita yang ia lihat saat ini. Hatinya was-was, matanya mengantuk tapi logikanya masih takut dengan apa yang dilihatnya tadi. Lelah berjaga-jaga, akhirnya pun tertidur juga. Dipeluk tubuhnya untuk menghilangkan rasa dingin yang terasa sampai ke tulang-tulang.

"Eeeunnghh" erangnya sambil menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
Saatnya kembali beraktivitas, tak lupa mandi meskipun air bersih yang ia punya terbatas. Suara hiruk pikuk di atas jembatan kembali terdengar. Menandakan bahwa pagi sudah tiba. Matahari bersinar seperti biasanya, embun sejuk yang setia dengan kehadirannya. Orang-orang sudah kembali menjalankan aktivitasnya masing-masing. Seperti kegiatan sebelumnya, dia memgambil beberapa puluh koran di agen langganannya untuk dijual di lampu merah atau terminal.
"Semoga hari ini koranku laku semua" harapannya.
Di kota pagi-pagi jalanan sudah padat, jalan raya yang mayoritas diisi dengan kendaraan beroda empat. Banyak sekali orang-orang berdasi yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Dia berjalan ketika lampu merah menyala, menawarkan beberapa koran yang dibawanya.
"Korannya Pak" tawar dia.
Orang itu tak menanggapai, dicoba lagi di mobil yang lain. Meskipun banyak yang menolak, dia tetap menawarkan korannya kepada setiap pengguna jalan raya. Lampu lalu lintas kembali ke warna hijau, kembali lagi untuk menggu lampu merah sembari menatap kanan dan kiri. Tatapan rindunya kembali terlihat ketika dia melihat seorang ayah yang sedang mengantar anaknya ke sekolah. Dia benar-benar rindu akan kehadiran sosok kedua orang tuanya. Namun dia tetap yakin, entah cepat atau lambat pasti akan dipertemukan mereka.

"Sudah makan belum?" tanya Pak Abdul.
"Belum, Pak." jawabnya sambil menggelengkan kepala.
"Ayo ke sana, kita makan dulu" kata Pak Abdul.
"Nggak usah, Pak. Nanti Bapak telat kerjanya" tolak halusnya.
"Ini masih pagi, lagian saya juga nggak bakal telat kok" kata Pak Abdul.
Dia pun menuruti kata Pak Abdul, bukannya sombong tetapi dirinya sudah banyak dibantu oleh Pak Abdul. Sudah lama juga bayangan hitam itu tidak meneror dia lagi. Dia dan Pak Abdul sudah sampai di warung makan, dipesannya nasi dengan lauk telur dan ayam serta minumnya teh hangat karena masih pagi. Ketika makan tak ada pembicaraan baik dari dia maupun Pak Abdul, memang ketika makan adabnya harus diam tidak berbicara untuk menghormati nikmat yang diberi oleh Tuhan berupa makanan. Selesai membayar, Pak Abdul pamitan untuk kembali bekerja.
"Kamu hati-hati , saya pergi dulu" pamit Pak Abdul.
"Iya, Pak, Terima kasih banyak bantuannya. Hati-hati juga di jalan" jawabnya.
Pak Abdul mengangguk dan menjalankan mobilnya. Dia kembali ke aktivitasnya menjual koran. Kehidupannya mampu ia syukuri, setidaknya dia masih bisa bertahan walau harus hidup sendiri tanpa kasih sayang orang tua yang biasanya dulu selalu mengiringi. Senyumnya dia tampilkan setiap hari, menutupi rasa sedih yang sedang dia hadapi. Meskipun jiwanya kuat, tetapi hatinya terkadang sangat rapuh. Seharusnya dia lebih berhati-hati dulu, tidak ceroboh. Tetapi siapa tahu, anak kecil seperti dia pasti sangat senang melihat berbagai permainan sehingga dirinya lupa di mana dia menginjakkan kakinya saat itu. Di tempat yang ramai dan berdesakan dengan banyak orang.
Sinar matahari semakin panas ditambah lagi dengan polusi udara yang sedang meninggi saat ini. Di kota, hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari yang harus dinikmati. Korannya masih tersisa empat, dilanjutkannya untuk menawarkan sisa-sisa koran itu. Sore ini terlihat berjalan sangat lambat, buktinya dia sudah berjalan-jalan memgelilingi kota ini meskipun tidak seluruhnya. Sambil menunggu petang, dia mampir dulu ke warung untuk membeli nasi bungkus jatah makannya malam ini.
Berlari-lari kecil dengan senyuman khasnya dan dibawanya kantong plastik berisi nasi bunhkus miliknya. Kakinya hari ini tidak terasa capek, suasana hatinya juga sedang mendukung. Ditelusurinya jalan kecil berbatu itu, hampir sampai di rumahnya.
Sesampai di rumahnya, dia bingung dengan beberapa sepasang sepatu yang ada di pintu rumah kardusnya itu. Pintunya terbuka, di tengoknya dari celah-celah pintu dan hatinya seketika tercampur aduk. Sungguh kejutan yang luar biasa, di mana dia saat ini tengah melihat orang yang sering membantunya dan dua orang yang sangat dia cintai. Yap, mereka adalah Pak Abdul dan orang tuanya. Segera dipeluk bapak ibunya. Menangis ekspresi yang saat ini mampu dia perlihatkan.
"Bapak, Ibu" panggilnya di sela-sela tangisannya.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu ketemu Nak" ucap Ibunya.
Belum berhenti dari menangisnya, kedua oramg tuanya dan Pak Abdul pun menenangkan dia. Sungguh kejutan di luar dugaannya. Kemudian, bapaknya menceritakan awal dari rencana mereka yang telah mencari dia ke berbagai tempat, namun tak ada satupun informasi yang menjelaskan keberadaanya. Akhirnya, mereka dipertemukan sama Pak Abdul rekan kerjanya dan menceritakan masalahnya itu, alhasil Pak Abdul teringat tentang dia dan meminta kedua orang tuanya untuk bertemu dengan dia. Sekarang hidupnya tak lagi sengsara, roda selalu berputar. Apapun masalah yang ditimpanya pasti ada hikmah istimewa di balik itu. Seperti dia, kehilangan orang tua dan dipertemukan lagi dengan cara dikirim seseorang dalam hidupnya. Tuhan Maha Mendengar segala keluh kesah kita. Karena itu, bersyukur dalam keadaan apapun hingga tiba saatnya yang biasa menjadi luar biasa.

"Korannya, Pak" tawarnya pada pemilik mobil itu.
"Berapa dek?" tanya si pemilik mobil itu.
"Satunya sua ribu saja, mau beli berapa Pak?" tanyanya.
"Satu saja, ini uangnya dan kembaliannya kamu ambil saja" ujar si pemilik mobil itu dengan senyumnya.
"Alhamdulillah. Wah, makasih ya Pak" balasnya.
Si pemilik mobil itu mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya. Dia amat bersyukur, kini ditangannya ada selembar biru yang mampu untuk mencukupi kebutuhannya beberapa hari ke depan. Namun, anehnya si pemilik tadi menatap lekat dirinya saat membeli koran. Lupakan saja, mungkin itu sebagai ekspresi rasa ibanya kepada para anak jalanan yang bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Nyatanya si pemilik itu baik, bahkan mau menyempatkan waktunya untuk membeli koran yang dia jual dan tak seharusnya kita berpikiran buruk kepada seseorang yang baru saja kita kenal.
Waktu terus berjalan, pagi yang berubah menjadi petang. Dia sangat bersyukur dan senang, karena hari ini korannya terjual habis. Berjalan pulang dengan garis lengkung ke atas di wajahnya sambil membawa sebungkus nasi untuk jatah makannya hari ini. Sesampai di rumah kardusnya, dia membersihkan badan dan makan.
"Krekk" suara ranting patah.
Aktivitas makannya terhenti, kembal terlihat lagi bayangan hitam itu. Dia diantara rasa bingung dan takut, bingung dengan tujuan orang itu dan takut karena selalu mengawasinya ketika malam tiba meskipun hanya sesaat. Dia bangkit dari duduknya dan keluar, tak ada seorangpun yang melintas di depan rumahnya itu. Mungkin itu hanya orang iseng yang sengaja menakuti dirinya, pikir dia. Lalu, dilanjutkan aktivitas makannya yang tadi terhenti. Setelah selesai makan ia pun beranjak tidur.
Udara malam ini lebih dingin dari biasanya, mungkin ini efek dari musim penghujan ditambah dengan rumahnya yang dekat dengan sungai. Suara aliran air yang deras pun terkadang mengganggu tidur pulasnya, tetapi inilah resiko dia membangun rumah di bawah jembatan dekat sungai. Masih untung pemerintah tidak menggusurnya. Kalau saja digusur, biarlah Tuhan yang menentukan alur kehidupannya.

***
Beberapa hari ini dia sering bertemu dengan Pak Abdul, pemilik mobil itu. Entah sengaja atau tidak, Pak Abdul sangat baik padanya. Mulai dari sering membeli korannya, memberikan baju baru, dan lainnya. Mungkin saat ini Tuhan sedang memberikan kemudahan bagi hidupnya, karena tak akan diberi cobaan yang melampaui batas kemampuannya. Pak Abdul juga sering menanyakan tentang kejadian waktu di pasar malam. Dia harap Pak Abdul mengenal kedua orang tuanya, tetapi takdir berkata lain yang tidak sesuai dengan harapannya. Tak apalah yang terpenting yakin suatu saat akan disatukan kembali oleh Sang kuasa.

Kaliwungu, 2 Maret 2019

Kumpulan Cerpen MemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang