Diibaratkan seperti kata yang tak dapat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Dan seperti isyarat yang tak sempat diungkapkan awan kepada hujan. Kata yang sangat sederhana namun bermakna.
Aku sering bertanya pada Allah setiap kali aku berdoa. Kenapa kehilangan dan Keikhlasan seolah tak pernah terpisahkan. Dan kapankah aku bisa benar-benar bisa memaknai arti kehilangan dan keikhlasan itu ?
Pertanyaan-pertanyaan itu sampai saat ini masih selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku.
Namaku Ardini, Aku punya Ayah yang lebih suka ku panggil Doraemon, karena dia selalu mengabulkan segala permintaanku. Bagiku tak ada punggung dan tangan senyaman Ayah, yang akan selalu ada untuk bersandar dan menggenggam. Dialah lelaki yang menjadi cinta pertamaku, yang tak akan pernah meninggalkanku membuatku mengerti bahwa kehilangannya sungguh sangat memupuk sepi.
Malam itu dingin sekali. Seingatku, aku masih menjadi bocah enam tahun yang tak mau mengalah kepada apapun. Karena aku punya ayah yang mungkin tak pernah dipunyai oleh orang lain. Ayahku yang punya kantong ajaib Doraemon, mengabulkan segala permohonanku.
Hujan rintik-rintik tak akan pernah menghalangi keinginanku. Malam itu, Ayahku sedang beristirahat, terlihat raut mukanya sangat lelah. Hebatnya, Ayahku tak pernah mengeluh selalu saja menghadiahi senyum untukku setiap harinya.
"Di luar hujan," kata Ibu kepadaku. Ibu menggenggam tanganku. "Kamu di rumah saja malam ini, besok kita baru ke rumah Nenek."
Aku menggeleng berusaha untuk meminta Ayah mengantarkanku ke rumah Nenek yang berjarak cukup jauh walaupun di luar sana sedang hujan.
Lagi, seperti permintaanku yang lain, Ayah tetap mengabulkannya.
Malam semakin gelap. Ibu menatap kami di depan pintu. Membiarkan aku dengan egoku pergi bersama Ayah ke rumah nenek.
Sepanjang jalan aku memeluknya. Tubuhnya yang hangat selalu membuatku merasa nyaman. Lelaki ini memang seperti malaikat pelindung jiwaku. Di matanya, aku menemukan dunia yang selalu menawarkan bahagia untukku.
Setelah 15 menit, kami tiba di rumah nenek. Ayah sedikit berbincang dengan Nenek, lalu tersenyum ke arahku yang memang sedang asyik dengan duniaku sendiri.
"Kamu yakin mau nginep di rumah Nenek ?" Aku mengangguk.
Entah mengapa, malam itu aku benar-benar ingin menginap di rumah Nenek.
Sekali lagi sebelum pulang, Ayah tersenyum dan menatapku dengan tatapan teduhnya. Aku bisa melihat ketulusan dan begitu banyak cinta untukku di sorot matanya.
"Ayah pulang, ya. Kamu jaga diri baik-baik." Ia mengusap rambutku.
Aku tersenyum sambil melambaikan tangan, "Hati-hati di jalan, Ayah."
Aku selalu ingin memberitahu dunia kalau aku sangat bahagia memiliki Ayah seperti Ayahku. Aku yakin Ayah akan selalu bersamaku, sampai kapanpun. Bahkan aku percaya, Ayah akan terus mencintaiku tanpa pernah lelah dan tak akan pernah membuatku kecewa. Bagiku, Ayah adalah Ksatria baja hitam dan Ibu adalah Malaikat tanpa sayap. Bahagia dan sempurnalah hidupku.
Dan dua jam kemudian, Ibu menelpon ke rumah Nenek. Memintaku untuk segera pulang ke rumah. Akhirnya aku pun pulang di antarkan Uwa yang rumahnya berdekatan dengan rumah Nenek.
Dan semuanya terasa sangat menyakitkan. Malam itu menjadi malam yang paling kejam untukku. Malam yang telah merenggut kebahagiaanku. Lelaki yang aku cintai, lelaki yang selalu ku panggil Doraemonku, terbujur kaku di ruang tengah rumahku. Ayah bahkan tak lagi bercerita kepadaku kenapa dia tidur seperti itu, tidak biasanya. Apa Ayah terlalu kelelahan ?
"Ayah..." panggilku lirih.
Namun tak ada jawaban, Ayah hanya diam tak bersuara. Ku lihat banyak orang menangis menatapku pilu.
"Ayah... Kenapa Ayah diam saja ?" ucapku pelan.
Aku semakin yakin jika Ayah memang sedang kelelahan , makanya dia tertidur sangat pulas hingga tak mendengarkan aku.
Aku menghampiri Ibu, "ssssuttt ... Jangan menangis, Bu. Ayah sedang tidur nanti terbangun karena Ibu menangis."
Tangisan Ibu pecah , aku tak mengerti dengan semua ini hingga ibuku memberitahu sesuatu yang seolah mencekikku. Aku masih saja diam, tak pernah menyangka dengan apa yang sudah terjadi.
Ku ingin marah ? Tentu saja. Menyumpah langit dan seluruh takdir yang sudah tertulis di lauhul mahfudz ? Tidak ada yang lebih percuma selain menyumpahi takdir. Berharap segalanya sesuai keinginanku ? Tentu saja. Tapi manusia terlalu bebal untuk mengerti banyak hal.
Kehilangan adalah satu dari tiga orientasi hidupku. Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku kala itu.
Hari itu orang-orang silih berganti datang ke rumah, satu dua orang hanya diam, dan lebih banyak lagi yang ikut terpukul dengan kepergian Ayahku. Jika orang lain merasa tidak percaya dengan kepergian Ayah apalagi aku dan Ibu ?
Aku mencoba meraba-raba makna dari kata 'ikhlash' yang selalu Ibu katakan kepadaku. Makna 'Ikhlash' yang sesungguhnya meneguhkan hati menerima segalanya.
Kini, Cinta pertamaku. Doraemon yang ku miliki sudah tiada. Aku hanya mendo'akannya dalam setiap sujudku. Ku sampaikan salam rinduku untuknya.
"Ayah, tenanglah di sana. Aku selalu ingin memelukmu. Hingga nanti Allah swt mengabulkan do'aku, aku akan memelukmu. Melepaskan semua rindu yang kadang terasa menyesakkan untukku."
Judul: Sejuta cinta untuk Ayah
Nama akun wattpad: Itsunirarianti
Facebook unira rianti ruwinta
Instagram @itsunirarianti
Tanggal pembuatan: Jum'at, 19 oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Member
Historia CortaCerpen berlian karya grup member whatsapp : Kuy, Write! Indonesia Karya singkat para penulis muda.